Kehilangan yang benar-benar tak menyisakan harapan untuk kembali. Jeritan itu seketika lenyap saat sang pemilik suara luruh ke lantai tak sadarkan diri. “Astaga!” Aku segera mengangkat tubuh wanita yang baru beberapa jam lalu ku kenal itu dan membawanya ke luar dari kamar yang berpenghuni kesunyian itu.
Perawat memintaku untuk membaringkannya di salah satu ranjang ruang UGD. Kukatakan pada Dokter yang memeriksanya kalau dia pingsan usai melihat jenazah pacarnya di kamar mayat.
Tak semua orang bisa mengendalikan kesedihan, tak semua orang kuat menghadapi kenyataan, mungkin inilah yang terjadi pada Ansara, ada rasa bersalah karena aku ditakdirkan terlibat sebagai pembawa berita duka. Ingin kukatakan ribuan maaf, tapi sayangnya aku tak bersalah apa-apa, lalu buat apa aku meminta maaf?
Perlahan kedua mata gadis itu terbuka, mata sendunya mengedar, entah mencari siapa yang ada di sini hanya aku, orang yang dianggap gila olehnya, mungkin aku terlalu sensitif, tapi sebenarnya tak masalah, aku memang sudah nampak seperti orang gila di hari pertama Radit meminta tolong agar aku menemui kekasihnya untuk mengabari ini.
“Aku mau pulang,” lirihnya pelan, nyaris tak terdengar.
Aku mengangguk. “Aku antar kamu pulang.”
“Aku bisa pulang sendiri,” ucapnya.
Baik, aku tidak akan memaksa, lagi pula aku harus ke kantor menyusun berita terkait ini. “Aku pesankan taksi,” tawarku.
Dia menggelengkan kepala. “Nggak usah.”
Oke, tak masalah, aku hanya berusaha untuk membantunya, kalau dia tidak mau menerima bantuanku, lalu untuk apa aku segitu ingin membantu orang yang tidak ingin dibantu.
“Aku mendapat kabar, kalau nanti malam Polisi akan mengantar jenazah ke Semarang.”
Dia terdiam menatapku, namun, kedua matanya berembun dan air mata jatuh tanpa permisi, jangankan izin bilang saja tidak. Sedari tadi kulihat kesedihan itu semakin berpendar dan enggan pergi dari wajah wanita itu. Aku tak pandai menenangkan orang yang tengah bersedih selain memberinya waktu untuk sendiri.
“Aku akan pergi ke Semarang bersama Polisi. Liputanku harus selesai,” kataku. Dia tiba-tiba menahan tanganku. “Aku ikut,” katanya.
Aku terpaku menatapnya, ingin kutanyakan apa dia yakin, apa dia akan kuat, tapi, ah, tidak usah, lagi pula kalau dia ingin ikut berarti dia memang kuat, yang mampu meredam kesedihan itu ya dia sendiri, bukan orang lain, apalagi aku.
“Sebelum berangkat kamu bisa, ‘kan, jemput aku ke rumah?” tanyanya. Aku mengangguk mengiyakan permintaannya, kudengar ucapan terima kasih itu bercampur kesedihan, hingga membuat rasa iba dalam hatiku bergetar dan merinding.
Dia kemudian duduk tegak dan mengayun kakinya untuk turun dari ranjang. Aku segera bergeser memberi jalan. “Aku harus pulang.”
“Ya ….”
“Terima kasih karena sudah membantu,” ucapnya. Aku segera mengangguk menanggapi ucapan terima kasihnya. Lalu aku berjalan mengikutinya dari belakang. Bahunya bergerak naik turun, wanita itu tampaknya masih bersedih.
Aku ulurkan tangan dan kuusap bahunya. “Sabar,” ucapku pelan. Dia berbalik dan menatapku, sedetik kemudian aku merasa tubuhku hampir koyak saat dia memelukku erat, lalu menangis sejadi-jadinya.
“Aku takut,” begitu katanya. Entah apa yang dia takutkan. Bukankah dia masih memiliki orang tua dan Radit bukanlah satu-satunya orang yang dia miliki di dunia ini. Perlahan tanganku teracung, aku membalas pelukannya bukan untuk mencari kesempatan, tapi untuk menguatkan.
“Kapanpun kamu butuh bantuan, katakan! Siapa tahu aku siap membantu.”
Dia diam tak bersuara, hanya ada isakan yang terasa semakin mengoyak jantung. Betapa rasa kehilangan tak bisa dia kendalikan. “Kamu harus berpikir jernih, Radit tidak akan suka melihat kamu meratapi kepergiannya seperti ini.”
Perlahan pelukannya melonggar, lalu dia menjauh dariku. “Maaf,” lirinya sembari tertunduk.
“Kenapa harus minta maaf?” tanyaku sembari memiringkan wajah hendak melihat wajahnya. Namun, sepertinya dia tidak mengizinkanku melakukan itu, hingga dia memilih berbalik dan kembali berjalan. Aku lekas mengikutinya dan mengimbangi gerak langkah kakinya yang aku yakini dia hanya mencoba kuat, padahal saat ini langkahnya terasa gamang, seperti apa yang kualami saat kehilangan papa.
Bagiku tak ada yang lebih menyedihkan selain keluarga yang tak bisa bersama-sama lagi. Perpisahan tak melulu terjadi karena maut, sebuah perceraian menjadi hal yang paling menyakitkan yang pernah aku alami, di mana saat itu aku tak dapat lagi bersama kedua orang tuaku dan tak bisa lagi menghabiskan makan malam bersama dengan Papa, Mama dan Deris. Dunia benar-benar terasa seperti dibagi dua. Aku sama Papa, sedangkan Deris bersama Mama.
“Aku nggak pernah merasakan hal sesakit ini,” ucap Ansara tanpa menoleh kearahku. “Setahun kami lewati dengan mudah, hingga kami benar-benar siap dan berniat untuk menikah.” Dia kembali tertunduk dan menatap kakinya yang terus berayun menuju tempat parkir.
“Kamu masih punya keluarga untuk kamu bisa berbagi semua duka kamu. Semua yang kamu rasakan.”
“Tempatku berbagi rasa hanya Radit,” ucapnya.
Aku terdiam menatapnya yang kini berhenti di depanku. “Raditlah satu-satunya orang yang mengerti aku.”
Aku tak habis pikir, kenapa ada perempuan seperti itu, aku memang tidak tahu bagaimana kondisi keluarganya sampai dia berani mengatakan hal itu, sementara bagiku tak ada yang lebih mengerti aku selain Tuhan, diriku sendiri dan Mama.
Dia berhenti di depan pintu masuk rumah sakit. “Aku nunggu taksi di sini,” ucapnya.
“Kamu yakin?” Aku berdiri di sebelahnya sembari menatap lurus ke depan, kendaraan tampak melaju dari satu arah. “Aku anterin aja, takutnya kamu pingsan di mobil,” tambahku sembari menoleh dan menatapnya. Dia tengadah menatapku, rupanya sedari tadi dia terus seperti itu, aku yakinnya begitu, entahlah, mungkin aku hanya terlalu merasa.
“Kenapa kamu baik sama aku?” tanyanya.
“Berbuat baik tak harus pada orang yang sudah akrab. Begitupun menerima bantuan tak harus dari orang yang sudah sangat akrab dan tahu luar dalamnya kamu.”
Dia mengalihkan pandangannya. “Aku hanya ingin tahu kenapa kamu baik padaku?”
“Aku nggak tahu, aku hanya ingin membantu. Jika kamu menganggap cuma Radit satu-satunya orang yang mengerti kamu, itu hak kamu, tak akan ada yang bisa merubah keyakinan kamu terhadapnya, tapi kamu harus membuka mata, kamu masih punya keluarga, teman, sahabat.”
Dia tak menoleh padaku dan hanya tertunduk.
“Aku bukannya sok tahu, tapi--”
“Taksiku sudah datang.” Dia melambaikan tangan pada taksi yang lebetulan hendak melintas di depan kami. “Aku tunggu kamu di rumah, sebelum berangkat tolong jemput aku.” Dia kemudian membuka pintu mobil, lalu masuk, sebelum mobil melesat pergi, dia menurunkan kaca jendela dan menatapku. “Sebelumnya terima kasih, semoga Tuhan membalas semua kebaikanmu.”
Beberapa detik setelah aku mengangguk. Mobil melesat pergi dari depanku. Wanita itu tak mengucapkan apa-apa setelahnya. Aku segera kembali dan masuk ke dalam mobil, aku harus menyelesaikan pekerjaanku dan mengajak Arka untuk pergi bersamaku ke Semarang.
***
Sesuai permintaannya, kini aku menunggu Ansara di depan rumahnya, tapi dia tidak akan tahu aku datang, aku tak punya nomor teleponnya, jadi kuputuskan untuk turun dan mengetuk pintu rumahnya.
Seorang wanita berusia lebih tua dari ibuku, berdiri di depan pintu yang sudah terbuka. Aku meninggalkan tanda pengenalku sebagai wartawan di dalam mobil. Bukan sengaja, tapi aku lupa tidak memakainya.
“Cari siapa?” tanyanya. Aku segera meraih tangannya dan bersalaman. “Saya Oji, Bu. Ansaranya ada?” Aku mengenalkan diriku sebagai teman Ansara, bukan sebagai orang asing yang baru kenal beberapa jam yang lalu, aku hanya tidak ingin mereka menanyakan hal di luar batas kewajibanku untuk menjawabnya.
Aku hanya sedang berhati-hati untuk tidak ikut campur ke dalam kehidupan wanita itu dan keluarganya beserta mendiang pacarnya.
“Ada. Masuk yuk.” Aku mengikutinya masuk ke dalam rumah. Aku bersalaman sembari mengenalkan diri pada ayahnya yang ternyata sangat ramah dan menyambut kedatanganku. Tak seperti yang Ansara bilang kalau dia tidak punya siapa-siapa, tak ada satupun yang mengerti dirinya selain Radit, aku meragukan ucapannya setelah aku melihat kehangatan keluarga ini.
Aku juga bersalaman dengan wanita yang kutemui tadi pagi, lagi-lagi aku mengenalkan diri sebagai teman Ansara. Ternyata wanita itu adalah kakaknya Ansara.
“Sengaja main ke sini?” tanya Om Andi selaku ayahnya Ansara.
Aku mengangguk. “Kebetulan habis dari kantor langsung ke sini.” Aku tak katakan kalau aku datang ke sini juga merupakan urusan pekerjaan.
“Baru kali ini Ansara bawa laki-laki ke rumah. Kenapa nggak dari dulu dia kenalkan kamu ke kami.”
Keningku mengernyit mendengar penuturan Om Andi. “Loh, pacarnya?” tanyaku agak sedikit canggung.
“Kerja apa?” tanya Om Andi mengalihkan pembicaraan, seperti ada sesuatu yang ditutupi, entah apakah ini soal restu, seperti aku dan Putri yang tak kunjung mendapat restu, atau apa aku tidak tahu karena ini hanya dugaanku saja. Tante Maya, ibunya Ansara tiba-tiba datang, dia baru saja meletakkan segelas air di meja.
“Reporter, di salah satu media berita,” ucapku menjawab pertanyaan Om Andi.
“Waw. Suka mencari berita apa aja?” tanya Tante Maya penasaran sembari duduk di sebelahku. Aku mengukir senyum, tak pernah kutemui minat seperti ini dari orang yang baru tahu profesiku.
“Banyak,” kataku. “Biasanya kami mengulas berita dari kesuksesan para pengusaha inspiratif, lebih ke rahasia sukses dan perjalanan hidup dari zero to hero,” imbuhku nyaman tanpa melibatkan kegugupan karena aku datang benar-benar mengaku sebagai teman Ansara, entah jika aku datang mengaku sebagai orang yang baru kenal, apakah akan diakui atau tidak, apakah aku akan disambutnya seperti ini atau tidak, yang jelas aku tidak yakin akan hal itu.
“Keren ya, Yah,” ucap Tante Maya pada suaminya.
Aku senang jika ada yang mengakui profesiku seperti itu.
“Iya,” sahut Om Andi berwibawa. “Kita nggak akan tahu berita terhangat apa, tanpa adanya si pemburu berita.”
Aku mengangguk. Itu yang kuyakini selama ini, itulah sebabnya aku bangga dengan profesiku ini. “Ke sini-ke sini kami juga mulai meliput beberapa berita kriminal, kasus kecelakaan dan lain-lain untuk di siarkan secara langsung di salah satu televisi nasional.”
Binar itu kembali terbit bahkan aku tidak mengerti apakah Ansara tidak bilang apa-apa soal Radit pada kedua orang tuanya karena kulihat tampaknya tak ada kesedihan sedikitpun di rumah ini, bahkan dari para penghuninya selain Ansara.
“Ada pengalaman lucu apa?” tanya Tante Maya.
“Pengalaman lucu?” Aku menggaruk kening.
“Iya, dari semua orang yang kamu wawancarai, kira-kira ada pengalaman lucu apa?”
“Banyak, salah satunya saat saya hendak mewawancarai pengusaha jamur tiram, saya dan tim sudah mengajukan beberapa pertanyaan, tapi yang saya wawancarai ternyata sopirnya.” Aku mengakhiri ceritaku dengan tawa.
“Kok bisa?” tanya Om Andi sembari tertawa kecil.
“Soalnya gaya sopirnya lebih bos dari bosnya sendiri.”
Kali ini tawa itu menggema, Om Andi dan Tante Maya benar-benar tertawa mendengar ceritaku. Aku sampai heran dibuatnya, ada beberapa kejanggalan dari apa yang dikatakan Ansara dan dari kehangatan keluarganya.
“Om, Tante, Ansaranya masih lama nggak ya?” tanyaku sembari mengedarkan pandangan, lalu berakhir di arlojiku.
“Oh, lagi dipanggilin sama Mbaknya. Tunggu aja. Ngomong-ngomong jangan panggil Om sama Tante, panggil Ayah sama Bunda aja.”
Aku tercenung mendengar pemaparan Tante Maya yang justru langsung disetujui suaminya. Apa seperti ini perlakuan mereka pada semua teman Ansara? Kalau iya, itu artinya mereka benar-benar ramah sekali dan begitu hangat.
Aku menangguk seraya tersenyum.
“Eh yang tadi, yang kamu bilang gayanya lebih bos dari bosnya, itu gimana kok pada akhirnya kalian bisa tahu kalau dia bukan orang yang seharusnya kalian wawancarai?” tanya Om Andi.
Aku kembali tersenyum jika ingat kejadian itu, kuceritakan saja yang sebenarnya kalau aku belum melihat profil orang yang hendak aku wawancarai itu. Kebetulan waktu itu aku baru pulang liputan Pameran Buku di Bandung dan langsung menggantikan Novan yang mendadak diare, sialnya Novan hanya memberikan file beberapa pertanyaan yang harus kuajukan, tapi dia tidak memberikan profil lengkapnya untung aku bisa mengatasi itu tanpa kegugupan apapun.
“Nak Oji keren ya, sudah terlatih,” komentar Tante Maya, sedangkan Om Andi mengangguk. “Sejak kapan jadi wartawan?”
“Sejak lulus kuliah sekitar kurang lebih sepuluh tahun yang lalu.”
“Wah, wah sudah lama ternyata.”
Aku mengangguk seraya tersenyum, lalu kuambil gelas berisi segelas kopi yang dari aromanya aku tahu kalau ini capucino.