Aku tak ingin berharap pada sebuah pertemuan. Bagiku pertemuan akan berakhir dengan sebuah perpisahan. Hanya saja tergantung seberapa banyak waktu yang Tuhan berikan untuk tetap dipertemukan dan mengulang kembali setiap pertemuan itu.
Meski aku terus menyeka air mata ini, nyatanya tak ingin berhenti dan terus saja mengalir mengirim duka dan lara dalam setiap tetesnya. Entah berapa lembar tisu yang aku buang ke sembarang tempat, hingga berantakan dan berserakan tanpa aturan. Aku seolah ingin puas dengan perasaanku sendiri.
Manusia memang hanya bisa berencana, selebihnya Tuhan yang menentukan. Aku tahu itu, semua orang juga tahu itu. Aku segera berbalik, lalu bangkit saat mendengar di balik pintu Mbak Kirani memanggilku seraya mengetuk. Dia kemudian menyembulkan kepalanya usai membuka pintu. “Teman kamu dibawah nungguin.”
Aku mengangguk dan melenggang pergi ke kamar mandi. “Aku mandi dulu, minta dia buat nunggu,” ucapku seraya pergi ke kamar mandi dan membelakangi Mbak Kirani. Aku berusaha keras menyembunyikan kesedihanku dari seisi rumah. Aku segera mengunci pintu kamar mandi. Lalu menanggalkan pakaian, beberapa detik setelah itu aku merasa air dari shower membasahi tubuhku dari ujung kepala hingga ujung kaki. Setiap aku memejam mata, bayangan Radit yang terbujur kaku di ranjang rumah sakit singgah di pikiranku, hingga aku mencoba mengerjap dan mengusap kasar wajahku. Tak ingin berlama-lama, aku segera menyambar handuk dan mengeringkan tubuhku.
Kecelakaan memang membuat kondisi Radit tak bisa dikenali, tapi aku sangat mengenal kalau itu memang dia. Aku tak bisa meredakan isak ini, hingga aku merasa dadaku sesak dibuatnya. Aku dan Radit sudah merencanakan konsep pernikahan impian kami, bulan madu ke Bangkok, menikmati matahari terbit dan terbenam bersama-sama.
“Ra.” Aku terkesiap saat Mbak Kirani mengetuk sembari memanggilku. Mungkin dia dapat mendengar suara tangisku dari luar. Aku memutar kunci, lalu ke luar dari kamar mandi dengan hanya mengenakan kimono handuk. Sesaat dia mematung menatapku. “Kamu kenapa?” tanyanya.
Aku hanya bisa menggeleng.
“Ya udah, Mbak tinggal ya?” Mbak Kirani lalu pergi dan menutup pintu kamar, aku segera bersiap sebelum malam semakin gelap. Setelah semuanya selesai, aku berjalan ke luar dari kamar. Saat sudah sampai di ujung tangga, aku tercenung menatap Bapak Reporter yang terlihat akrab mengobrol dengan Ayah dan Bunda. Perlahan aku mendekat pada mereka.
“Ra.” Ayah menatapku seraya tersenyum.
Aku membalas senyuman itu dengan kerutan di dahi. “Ngobrol apa?” tanyaku heran melihat ayah yang begitu sumringah menyambut Bapak Reporter itu, begitupun dengan Bunda.
“Ini loh ….” Bunda menyahut semari tersenyum. “Oji ceritain beberapa kejadian lucu saat dia meliput berita.” Bunda lalu mendekat padaku. “Kamu mau pergi?”
Aku mengangguk, lalu menoleh pada Oji, ya, aku baru tahu kalau dia biasa dipanggil Oji, aku kira mungkin Al, Fian, atau Alfi, atau-- sudahlah, tidak penting.
“Siap?” tanya Oji seraya bangkit. Aku kembali mengangguk. Lalu menatap Ayah sama Bunda. “Yah, Bund, kami mau ke Semarang.”
“Loh kalian mau pergi ke Semarang mau apa?” tanya Bunda.
Aku dan Oji mengangguk bersamaan. “Saya mau nganter Ansara, dia yang ada urusan, Tant.”
“Ih, sudah dibilangin panggil Bunda, jangan tante-tante ah, nggak cocok.” Aku melongo menatap Bunda yang mengutarakan keinginannya seperti itu. Kenapa Oji bisa langsung akrab dengan kedua orang tuaku? Dan kenapa Ayah sama Bunda begitu menyambut kedatangannya. Sementara selama ini, aku begitu takut mengenalkan Radit pada mereka.
“Kok ayah nggak tahu, kalian ada urusan apa?”
Aku menenggak liurku susah payah, memang aku tidak cerita perihal aku yang kehilangan Radit dengan cara yang sangat mengenaskan “Ada urusan pekerjaan, Bund. Kebetulan, Bapak Reporter juga sedang ada liputan di sana.”
“Oh, begitu,” sahut ayah dan Bunda bersamaan. “Ayah sama Bunda nitip Ansara ya, Nak Oji,” ucap ayah seraya menepuk bahu Oji. Ah, aku benar-benar tidak mengerti dengan keadaan ini. Bisa-bisanya ayah terlihat begitu manis, kesan tegas dan galak tak tersemat ketika dia berbicara pada Oji.
“Iya.” Nampak Oji pun sedikit mengernyit, mungkin kedua orang tuaku terlihat aneh, jangankan Oji yang baru bertemu dengan mereka, aku saja yang sudah mengenal mereka dari lahir merasa kalau hari ini mereka begitu aneh.
Aku menggosok telingaku yang mungkin saja sudah memerah. Sungguh terdengar geli di telingaku. Kenapa tiba-tiba kedua orang tuaku meminta Oji yang jelas-jelas baru sekali bertemu untuk menyebut mereka Ayah sama Bunda. Sudahlah!
“Keburu malam,” ucapku. “Kami berangkat.” Aku kemudian mengecup punggung tangan Ayah dan Bunda bergantian. Oji pun melakukan hal yang sama sepertiku.
“Oh iya, sebentar, Bunda ambilkan makanan untuk bekal di perjalanan.”
“Nggak usah, Bund, kita bisa beli,” sahutku.
“Tengah malam, atau dini hari, takutnya kalian laper. Terus mau jajan di mana?” tanya Ayah di akhir kalimatnya.
Tak berapa lama Bunda kembali membawakan goodie bag. “Buat ngemil di jalan.”
Aku melongok ke dalam goodie bag. “Banyak banget, Bund? Ini pasti punya Rasya sama Arsya”
“Nggak apa-apa, itu Mbak Kirani sendiri yang masukin.”
“Iya, bawa aja,” sahut Mbak Kirani. “Biar besok aku ajak Rasya sama Arsya buat beli lagi.”
“Makasih, Mbak.” Meski sebenarnya tidak usah membekali kami secara berlebihan seperti ini. Namun, sulit menolak keinginan Bunda dan Mbak Kirani.
“Kalian hati-hati.”
Aku mengangguk. “Kami pamit, Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Setelah berpamitan kini kami sudah berada di dalam mobil dan aku siap untuk mencecar pria itu dengan beberapa pertanyaan yang sedari tadi mengganjal di benakku. “Kenapa?”
“Apa?” tanya Oji sembari memasang sabuk pengaman.
Mungkin pertanyaanku kurang jelas. “Kamu mengenalkan diri kamu sebagai apa sama ayah dan bundaku?”
Pria itu menoleh dan mengangkat satu alisnya. “Sebagai apa? Manusialah.” Dia kemudian melirik ke kanan dan ke kiri sembari memutar roda kemudi, apa pertanyaanku masih terlalu ambigu, sehingga dia memberikan jawaban yang sangat menjengkelkan. “Memang kamu pikir aku apa, siluman?!”
Aku mendengkus. “Maksudku, kamu mengenalkan diri kamu sebagai temanku, ‘kan?”
“Ya, iyalah, masa musuh disambut hangat,” gerutu Oji seraya melongok ke depan menatap jalan. “Sudah tadi siang disebut orang gila, lalu sekarang kamu menuduhku yang aneh-aneh.”
“Aneh-aneh?” Aku menghela napas. “Alien?!”
Dia kemudian menginjak rem dan menatapku tajam. “Kamu mau aku anter, nggak?” Seketika satu alisku terangkat, namun, aku tergemap, kenapa dia begitu berbanding terbalik dengan keramahan yang ditunjukkannya pada Ayah dan Bunda.
“Perlu kamu tahu aku lebih tua dari kamu, jadi kamu harus bersikap seperti yang aku tunjukkan sama kedua orang tuamu.”
“Begitu?”
“Ya, panggil Kak Oji.” Dia mengeja namanya. “Panggil apa?” tanyanya.
“Kak Oji,” jawabku pelan.
“Yang keras, aku nggak dengar,” pintanya.
Astaga! Ada loh orang yang kayak gini.
“Kak Oji,” ucapku satu oktaf lebih tinggi dari sebelumnya.
“Sambil senyum coba, bilangnya yang ramah.”
Aku menarik kedua sudut bibirku sesuai dengan keinginannya. “Kak Oji,” sahutku ramah. Sepertinya dia sedang mengerjaiku saja.
“Bagus, tapi lain kali yang ikhlas,” ucapnya seraya memutar roda kemudi, sesaat kemudian mobil melaju menuju rumah sakit.
Aku menghela napas sembari menyandarkan kepala pada sandaran jok. Sesaat aku lupa dengan kesedihanku dan malah teringat terus dengan sikap menyebalkan Kak Oji.
Mobil sudah cukup jauh meninggalkan kediamanku. Kak Oji kemudian melirik sekilas ke arahku. “Kamu belum pernah mengenalkan Radit pada mereka?”
Aku menggeleng.
“Pantes mereka sama sekali nggak sedih, seharusnya kamu cerita pada mereka. Biar kedua orang tuamu tahu, kalau kamu sedang berduka.”
Aku mengangguk. Sungguh ku hargai nasehatnya, tapi dia tidak akan mengerti kalau selama ini kedua orang tuaku tidak tahu aku punya pacar, kalau mereka tahu mereka akan memintaku untuk segera menikah dan sialnya aku belum siap.
“Kenapa?”
“Aku belum siap menikah. Di saat aku sudah siap, Tuhan sudah ambil Radit.”
“Orang tuamu bilang, katanya, aku pria pertama yang dibawa kamu ke rumah.”
“Aku nggak bawa kamu ke rumah, kamu sendiri yang datang.”
“Iya, kurang lebih seperti itu.” Kak Oji kembali fokus pada jalan gelap yang hanya diterangi lampu-lampu jalanan.
“Kamu mengenalkan diri kamu sebagai siapa?” tanyaku masih penasaran.
“Astaga itu lagi.” Kak Oji kemudian tertawa. “Teman, memang kamu anggap aku siapa, musuh?”
Aku menghela napas. Lalu apa yang Ayah sama Bunda pikirin tentang Kak Oji, kenapa mereka bisa langsung akrab?
“Orang tuamu ramah,” puji Kak Oji sembari tetap mengemudi. “Masa aku diminta untuk ganti kata tante sama om jadi ayah sama bunda.” Kak Oji kembali tertawa. “Apa semua temanmu memanggil mereka seperti itu?”
Aku segera menegakkan tubuh. Pertanyaan Kak Oji kujawab dengan gelengan kepala. Memang tak ada orang yang diminta untuk menyabut kedua orang tuaku seperti aku menyebut mereka, selain dia meminta Kak Oji melakukan itu.
Sialnya aku memang tidak bisa menebak apa yang orang tuaku pikirkan, pasalnya aku belum pernah membawa teman laki-laki ke rumah, jadi aku tidak bisa mengartikan sikap ramah mereka, kalau aku kenalkan Radit apa sambutannya akan sama?
“Aku cerita soal aku yang salah mewawancarai orang, aku kira bosnya, ternyata itu sopirnya.” Kak Oji terus saja tertawa.
“Diam! Aku sedang berduka.”
Kak Oji tergemap, dia menoleh sekilas ke arahku. “Oke, selamat berduka,” ucapnya.
Aku hanya bisa membulatkan mata.
“Aku cuma tidak ingin kamu larut dalam kesedihan, Radit juga tidak akan suka melihat kamu sesedih ini, kamu harus percaya Tuhan lebih sayang dia daripada kamu.”
Jantungku mencelus mendengar kalimat terakhir yang dikatakan Kak Oji. Aku pikir dia tengah menyepelekan kesedihanku. Ternyata dia sedang mencoba menghibur. “Makasih Kak Oji sudah mau menghibur, maaf karena sebelumnya aku udah nggak percaya sama Kak Oji.”
Dia mengangguk. “Tapi, kalau kamu nggak suka, aku akan diam. Jangan khawatir aku anak yang mudah diatur.”
Aku tak menyahut. Lalu tak berapa lama, mobil berhenti di depan rumah sakit. Di sana sudah ada sahabat-sahabat Radit yang kurang lebih berjumlah tujuh orang dan terdiri dari semua pria, mereka akan ikut mengantar jenazah pulang ke Semarang tempat kelahirannya. Lagi-lagi aku tak kuasa saat menyebutnya jenazah. Di sana juga ada beberapa orang polisi dan pria berseragam putih yang tengah berdiri di depan mobil ambulan.
Aku kemudian turun dan berjalan ke arah sahabat-sahabat Radit, lalu menangis dan tersedu di pelukan Gilang, hanya Gilang, sahabat Radit yang aku kenal.
Gilang menepuk-nepuk bahuku. “Sabar, Ra, ikhlasin.”
“Aku nggak percaya ini terjadi pada Radit, Lang.”
“Aku juga.”
“Selamat malam ….” Aku segera mengurai pelukan dari Gilang, saat mendengar suara tegas Pak Polisi. Kemudian aku mengangguk padanya. “Iya, malam, Pak.”
“Kamu harus tanda tangan di sini, terus isi alamat keluarga almarhum.” Entah sejak kapan Kak Oji ada di sampingku.
“Aku nggak tahu, Rt, Rw--”
“Isi yang kamu tahu aja.” Kak Oji menginterupsi. Pria itu kemudian bersalaman dengan semua sahabat-sahabat Radit dan memperkenalkan diri sebagai reporter. Aku akui dia memang ramah, meski menyebalkan.
Dibantu Gilang dan sahabat yang lain, aku mengisi data yang aku tahu saja. Setelah itu aku menyerahkan dokumen tersebut pada Polisi.
“Kita bisa langsung berangkat, ‘kan, Pak?” tanyaku.
“Iya, mari.” Briptu Adi mengayun tangannya ke depan. Aku menoleh pada mobil ambulan, yang di dalamnya terdapat peti mayat, kedua petugas berseragam putih itu menutup mobil bagian belakang. Jantungku mencelus. Kenapa aku harus mengantar Radit pulang dalam kondisi seperti ini? Sementara aku tahu, memang sebulan terakhir ini Radit belum pulang ke kampung halamannya.
Aku melewati Kak Oji sembari tertunduk dan menyeka air mata. Seharusnya kami mengabari keluarga Radit terlebih dahulu, agar jasadnya itu dijemput oleh keluarganya langsung, siapa tahu harus melakukan tes DNA untuk membuktikan keakuratan jenazah tersebut dengan keluarga Radit, tapi Kak Oji bilang kalau itu akan memakan waktu yang cukup lama, lagi pula, dia yakin kalau itu memang Radit, begitupun denganku.
Teman-teman yang lain masuk ke dalam mobil dan mengikuti ambulan serta mobil polisi yang sudah melaju di depannya. Sementara aku baru saja masuk ke dalam mobil Kak Oji yang hendak melaju paling akhir.
“Siap?” tanyanya seraya menoleh sementara kedua tangannya sibuk memakai sabuk.
Aku segera mengangguk.
Kak Oji memang sepertinya tidak ingin mengulur waktu, dia bilang tiga hari sudah cukup untuk merasakan kehadiran Radit, meski aku tidak mengerti dengan apa yang dia katakan, entah dia bercanda atau tidak, aku juga kurang paham, tapi aku tidak begitu penasaran.
“Men, lu bawa rokok?” tanya Kak Oji sembari melirik spion yang mengarah ke jok belakang. Keningku mengernyit, pada siapa dia bertanya?
“Astaga!” Aku terkesiap saat seorang pria berdehem dan menganjurkan satu batang rokok pada Kak Oji.
“Eh, sorry belum bilang, dia Arka, rekan seprofesi yang akan ikut perjalanan kita buat ngeliput berita ini. Lagi pula media Beritaku pengen kalau kasus kecelakaan ini diusut tuntas. Biar nggak menggantung,” tutur Kak Oji sembari menyalakan pemantik api dan mendekatkannya pada rokok, kemudian dia mengisapnya, seketika asap kelabu membumbung tinggi ke udara. Kak Oji kemudian meletakkan kembali pemantik api tersebut ke atas dashboard, lalu setelah itu dia menambah kecepatan laju mobilnya.
“Sudah jam sepuluh, Ji dan kita masih di Jakarta,” ucap teman Kak Oji.
“Hmmm, paling sampenya sebelum subuh,” sahut Kak Oji sembari membuang asap kelabu dari mulutnya.
Aku terbatuk saat tiba-tiba asap itu masuk ke tenggorokanku. Kak Oji segera membenamkan rokoknya ke permukaan asbak, yang membuat rokok tersebut seketika padam. Dia kemudian menurunkan kaca jendela. “Sorry,” ucapnya, mungkin dia menyadari kalau aku alergi asap rokok.
Sialnya batuk tak kunjung berhenti. Teman Kak Oji menganjurkan air mineral padaku. "Buat menetralkan," katanya. Aku segera menenggak air tersebut.
“Ji, gue tidur ya."
“Lu nggak perlu gue nyanyiin, ‘kan Men?”
“Nggak usahlah, suara lu sumbang, nanti malah bikin perut gue mules.”
Kak Oji terbahak. Sementara aku malah merasa risih, maka aku lebih memilih diam, tapi, aku bingung sejak kapan teman Kak Oji itu menyusup ke dalam mobil, hingga membuat aku merasa canggung seperti sekarang?