MAMD-02

1298 Words
"Biar kakak yang setir," Damar meminta kunci mobil kepada Danisha. "Katanya capek?" "Gak secapek itu. Masih kuat kalau cuma nyetir sampe rumah." Damar mengulurkan tangannya ke arah Danisha. "Terserah deh. Kasiin, Ra, kuncinya." Danisha memalingkan wajahnya ke belakang, ke arah di mana Ara dan Shafa berjalan mengikuti. Ara yang sedari tadi melamun, tak sadar sedang diajak bicara. "Ara!" Shafa menggamit lengan Ara. "Eh!" Ara terkesiap kaget "Lu ngelamun?" Danisha menghentikan langkahnya, mununggu Ara dan Shafa mendekat. "Ara? Kamu, Ara? Ya ampun, Dek ...," Damar tiba-tiba berseru heboh, kemudian terkekeh sambil mengusap kasar wajahnya sendiri. Danisha, Ara dan Shafa saling berpandangan bingung melihat Damar yang tiba-tiba tertawa. "Kakak gak ngenalin kamu tadi. Kirain teman barunya Danisha!" seru Damar masih tertawa sambil memandangi Ara dari atas ke bawah. "Astagaaa, Kakak!" Danisha memukul lengan Damar kesal, "Kirain apa, ih! Ya Ara lah ini, masa gak tanda. Kebangetan! Udah Ra, kasiin kunci mobilnya pada Kak Damar." Dengan keadaan masih bingung, Ara menyerahkan kunci mobil kepada Damar. Tadi memang Ara yang menyetir mobil pada saat menuju bandara. Saat Damar meraih kunci dari tangan Ara, tak disangka Damar malah sekalian menarik tangan Ara agar lebih mendekat padanya, kemudian merangkul bahu Ara dan mengajaknya melanjutkan langkah menuju tempat mobil terparkir. Danisha dan Shafa terpaku menatap kelakuan Damar. Saling berpandangan sesaat kemudian berjalan cepat menyusul Damar dan Ara. "Kak Damar! Main rangkul-rangkul aja, ih! Tadi sok gak kenal!" Danisha berdecik kesal. "Emang tadi kakak gak kenal! Sekarang kayaknya lebih putih ya?" Ya Tuhaan ... selamatkan jantungku! Ara tak bisa berkutik di dalam rangkulan Damar. Tak terbayang rona wajahnya saat ini. Untung cuaca sedang panas terik. Ara sewaktu SMP memang tomboy, dengan potongan rambut ala Dora, salah satu tokoh kartun kegemarannya dan hobinya bermain sepeda membuatnya selalu tampak kucel bin kumel. Penampilannya yang seperti itu berakhir kala ia duduk di bangku pertengahan SMA. "Ya donk, kami kan udah gede, udah ngerti ngerawat diri. Makanya sekarang kami makin cantik, 'kan?" Danisha yang menjawab. Jangan harap Ara, dia takkan sanggup, bernafas saja ia gugup. Damar terkekeh. "Iya, adek-adek kakak sekarang tambah cakep, bening-bening!" Kata-kata Damar sontak mendapat pelototan dari ketiga gadis yang berjalan mengiringinya. Bahkan Ara segera melepaskan rangkulan Damar dan menghindar ke arah Danisha sambil memeluk lengannya. "Kak Damar! Geli banget, ih! Apaan bening-bening. Kayak om-o*******g aja bahasanya!" teriak Danisha kesal. Damar malah tertawa lebih kencang sambil memegangi perutnya. "Tapi Kakak serius. Dibanding Shafa, kakak lebih lama gak ketemu Ara, 'kan? Jadi perubahannya beneran gak tau. Tiba-tiba udah cantik aja," Damar masih saja melontarkan pujian untuk Ara. Danisha dan Shafa berpandangan. Kemudian sama-sama melirik ke arah Ara. "Ish, alamat ni anak perawan bakal balik ngebucinin Kak Damar kalau terus dibaperin gini," gerutu Shafa pelan yang diangguki setuju oleh Danisha. Ara yang berjalan masih sambil memeluk lengan Danisha, tak bisa lagi menyembunyikan merah pipinya. Danisha dan Shafa yang menyaksikan perubahan wajah Ara hanya bisa pasrah. --- "Assalamualaikuuum!" teriakan Shafa terdengar hingga ruang keluarga kediaman Ara. Shafa dan keluarganya telah tiba. Siang nanti, ditambah dengan keluarga Danisha, ketiga keluarga ini akan berlibur keluar kota. Mereka akan berkumpul dulu di rumah keluarga Donni untuk kemudian berjalan beriringan menuju ke lokasi liburan mereka. "Wa'alaikumsalaaam!" Airina menjawab salam Shafa dengan tersenyum. Kebiasaan Shafa yang hobi berteriak kala mengucapkan salam, sudah biasa di telinganya. Shafa langsung mengambil tangan Airina dan menciumnya. "Ara mana Tante?" "Lagi di toilet," jawab Airina sambil menepuk pipi Shafa lembut. "Assalamualaikum!" kali ini Shafri dan Amira, orang tua Shafa, mengucapkan salam hampir berbarengan kala memasuki rumah. "Wa'alaikumsalam! Amiraa...! Kangen deh, lama gak ketemu," sambut Airina. Senyum mengembang di bibir masing-masing. Setelah kedua ibu-ibu itu melakukan cipika cipiki, Airina kemudian menyalami Shafri yang menanti di samping Amira sambil tersenyum. "Dinda dan Dewanto, belum sampai?" tanya Amira sambil memperhatikan sekeliling ruangan. "Belum. Mungkin sebentar lagi. Duduk dulu, yuk!" ujar Airina. Sambil menyilahkan tamunya untuk duduk, Airina berjalan menuju meja makan dan mengambil toples yang berisi cemilan untuk dihidangkan di meja tamu. "Ara lagi manggang makaroni, bentar lagi matang. Udah pada sarapan belum?" tanya Airina. "Udah sih, tapi pengen dong, ngerasai makaroni Ara," ucap Amira tersenyum sambil mengedipkan matanya ke arah Ara yang sedang berjalan, baru saja keluar dari toilet. "Eh ... Tante sama Om udah nyampe." Ara tersenyum lebar, langsung menghampiri papa dan mama Shafa kemudian mencium tangan keduanya. Ara tak menanyakan Shafa, karena sudah tampak olehnya Shafa sedang nangkring di stool yang terdapat di sisi luar kitchen island dapurnya. "Panggil Ayah, gih!" titah Airina pada Ara. "Okay!" Ara beranjak ke arah tangga, tapi sebelumnya Ara mampir dulu ke dapur untuk menarik rambut Shafa yang hari ini diikat ekor kuda. Shafa yang kaget, kontan menjerit dan berlari mengejar Ara yang sudah sampai di ujung tangga. "Heei, jangan berlari-lari di tangga!" teriak Amira yang jelas saja tak diindahkan oleh kedua gadis itu. Airina hanya tersenyum kecut sambil menggelengkan kepalanya ke arah Amira. Ting... Suara timer oven sudah berbunyi. Tandanya makaroni panggang Ara sudah matang dan siap untuk disantap. Ara yang setelah memanggil Donni tadi, langsung kembali turun ke dapur, mengambil sarung tangan ovennya dan segera mengeluarkan makaroni panggangnya yang telah matang. Harumnya langsung menguar di udara, bikin lapar. "Assalamualaikuuum!" satu lagi teriakan salam terdengar dari arah pintu masuk rumah. "Wa'alaikumsalaaam...!" jawab seisi rumah hampir berbarengan. Donni dan Airina segera bangkit dari sofa untuk menyambut keluarga Dewanto. Setelah para pria bersalaman dan para wanita bercipika-cipiki, Airina langsung mengajak tamu-tamunya untuk langsung menuju ke meja makan. Sambil berjalan, masing-masing saling bertanya kabar. Kali ini Damar yang jadi fokus utama. "Apa kabar, Damar? Lancar kerjaannya di sana?" tanya Donni yang sudah lama tak bertemu Damar. "Alhamdulillah lancar, Om!" "Betah kayaknya di sana, jarang pulang. Sudah kepincut sama bule?" tanya Donni lagi sambil meledek Damar. "Hahaha ... Om bisa aja. Gak lah, masih cinta produk Indonesia, saya Om!" tangkis Damar sambil menggaruk tengkuknya yang tiba-tiba terasa gatal. Semua tertawa mendengar jawaban Damar. "Good lah kalau begitu," ujar Donni, sambil menepuk nepuk bahu Damar pelan. "Sudah boleh cari calon menantu nih, Mas De!" kelakar Shafri, yang kembali memancing tawa para orang tua. Damar sudah memerah wajahnya. Pasrah diledekin para orang tua. Ara, Danisha dan Shafa terkekeh melihat perubahan wajah Damar yang menurut mereka lucu. Selama ini Damar yang selalu menjahili mereka, kali ini dia yang kena batunya. Ara dan Shafa yang sedari tadi berada di dapur, baru bertemu ayah dan bunda Danisha, langsung menyapa dan mencium tangan keduanya. Kepada Damar dan Danisha mereka cukup melakukan tos saja. Semua sudah berkumpul dan duduk di meja makan, Ara dan Shafa sudah menyiapkan piring-piring dan sendok guna menyantap makaroni panggang buatan Ara. Tak lupa disiapkan sebotol saus sambal untuk penambah selera. "Waah ...! Masakan Ara harum banget! Gak sabar pengen icip-icip," Amira memuji. "Ajarin Danisha masak juga dong, Ra. Biar gak main hape mulu bisanya," Dinda menyindir Danisha sambil melirik anaknya. Danisha memutar matanya malas mendengar komentar sang mama. Masakan Ara memang selalu enak, semua memberikan pujian. Termasuk Damar. Tentu saja hal tersebut membuat pipi Ara memerah sampai ke telinga. "Udah potongan ketiga aja nih, Kak Damar. Laper apa doyan?" Shafa takjub karena melihat Damar memotong lagi makaroni dari piring kaca, bahkan kali ini potongannya lebih besar dari yang sudah-sudah. Ara melirik ke arah Damar sambil tersenyum senang. Danisha mencebik. Para orang tua pun ikut terkekeh geli mendengar teguran Shafa pada Damar. Dinda bahkan tertawa sambil memukul pelan lengan Damar. Damar yang ditegur bukannya merasa malu, malah ikut tertawa. Ia menjawab sambil mengedipkan mata pada Shafa, "Habis enak sih, Fa!" Damar kemudian menoleh ke arah Dinda. "Ma, kalau cari calon istri untuk aku, nanti yang kaya Ara ya, yang pinter masak, jangan kayak Danisha," ucapnya sambil tertawa meledek ke arah Danisha. Uhuukk...! Ara tersedak mendengar ucapan Damar. . . . Tbc gaes ^_^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD