Bab 4

2041 Words
Awal pekan bukanlah hari yang dinantikan oleh semua orang. Kebanyakan dari orang-orang itu lebih membenci ketimbang menyukainya. Hari Senin adalah hari yang paling terkenal dak disukai. Jika ada ajang penghargaan untuk hari paling dibenci, tentulah akan jatuh pada hari Senin atau awal pekan. Sama seperti orang-orang di luar sana, Jeremia juga tidak menyukai hari Senin. Alasannya, sama juga dengan yang menjadi alasan orang banyak. Jari Senin terlalu dekat dengan hari Minggu yang merupakan hari libur. Sebagian dari mereka masih lelah setelah menghabiskan waktu libur dengan bersenang-senang, sebagian lagi beralasan belum puas menghabiskan waktu bersama keluarga mereka yang mana hanya omong kosong mereka saja. Mereka hanya malas untuk kembali beraktivitas, masih belum bisa menghilangkan euphoria akhir pekan. Sama seperti dirinya yang hari ini sangat malas bangun pagi. Padahal alarm dari jam digital yang diletakkan di atas nakas di sebelah kanan tempat tidurnya, sudah berbunyi sejak beberapa.menit yang lalu, tapi dia masih betah berada di atas tempat tidurnya di bawah selimut tebal berwarna biru muda yang lembut. Tak peduli dengan sinar matahari yang semakin meninggi, jeremia masih memejamkan mata. Dia masih sangat lelah dan mengantuk. Tadi malam Gabriel, kekasih Philip, merayakan ulang tahunnya yang ketiga puluh. Sebagai sahabat Philip, mau tak mau dia harus datang. Apalagi mereka berdua, Philip dan Gabriel, memberikan undangan yang dicetak khusu untuknya. Tak ingin mengecewakan Philip dan pasangannya, dia juga ikut berpesta dan pulang pukul tiga dini hari. Bisa dibayangkan berapa lama tidurnya, ditambah dengan fakta bahwa hari ini adalah hari Senin, awal pekan, hari di mana semua aktivitas dimulai, membuatnya semakin malas saja. Suara bel pintu yang ditekan tanpa henti memaksa Jeremia untuk bangkit dari tempat ternyamannya di seluruh dunia. Dia menyeret kakinya dengan malas keluar kamar, menuruni tangga dengan mata yang masih separuh terpejam, dan berjalan sempoyongan melewati ruang tamu untuk membukakan pintu. Terkadang Jeremia menyesali keputusannya yang tidak ingin mempekerjakan seorang pelayan pun di apartemennya. Di saat-saat seperti inilah jasa mereka dibutuhkan. "Astaga!" Pekikan tertahan terdengar kala Jeremia membuka pintu apartemennya. Dia sedikit melebarkan mata untuk memastikan jika yang datang adalah Philip. Setelah yakin, Jeremia masuk kembali ke dalam, meninggalkan Philip yang berkacak pinggang di depan pintu. "Jangan katakan padaku jika kau masih tidur!" Jeremia mengangkat tangan untuk menutupi mulutnya yang menguap. Dia duduk di sofa panjang dengan posisi setengah berbaring. "Aku sudah bangun, Phil," sahutnya serak. Sekali lagi dia menguap, kali ini Jeremia tidak menutup mulutnya, matanya sudah kembali terpejam. "Dan, sekarang kau akan kembali tidur!" Philip berdiri tepat di depan Jeremia, kedua tangannya terlipat di depan d**a. Pria itu berdecak melihat Jeremia yang tak meresponsnya, pastilah dia sudah kembali larut ke alam mimpi. Gemas, Philip memencet hidungnya, membiarkan Jeremia tidak bisa bernapas selana beberapa detik. Jeremia gelagapan. Mata birunya terbuka dengan cepat, dan terarah pada Philip. Tatapannya membunuh, kilatnya lebih tajam dari pedang. seandainya saja mereka tidak sedang berada di dunia nyata, tubuh tegap proporsional Philip pastilah sudah tercabik. "Apa yang kau lakukan, Bodoh?" Jeremia meraung sengit. Tangannya menepis tangan Philip kasar, menjauhkan tangan itu dalam jarak sejauh mungkin darinya. "Aku hanya membangunkanmu," jawab Philip santai dengan wajah tanpa dosa. Ia duduk dengan kaki menumpuk di single sofa di seberang Jeremia. Jeremia mendengkus kasar. "Berikan aku satu alasan agar tidak memecatmu!" belalaknya sengit. Dia mengembuskan napas kuat melewati rongga hidung. Hawa panas menerpa kulit bagian atas bibirnya yang terkena semburan napasnya. "Aku adalah karyawan terbaikmu?" Philip mengatakan itu sambil mengetuk-ngetuk dagunya dengan telunjuk kanannya. Ia tidak menatap Jeremia, tatapannya mengedar ke seluruh penjuru ruang tanu minimalis itu, mencoba mencari jawaban yang lebih tepat lagi. Jeremia berdecak. "Tak ada lagikah selain itu?" tanyanya pedas. Dia membenarkan posisi duduknya menjadi tegak. Menguap sekali lagi sebelum melemparkan bantal sofa pada Philip yang duduk di seberangnya. Sebuah meja berbentuk segi empat panjang berukuran lumayan besar menjadi pembatas antara mereka. "Aku adalah sahabatmu?" Kali ini Jeremia memutar bola mata. Philip memang sahabatnya. Satu-satunya sahabatnya yang masih tersisa dan bertahan di sisinya. Bukan, ketiga sahabat wanitanya yang lain tidak meninggalkannya. Hanya saja mereka sudah menikah dan lebah sibuk mengurus keluarga mereka masing-masing. Apalagi Catherine, dia dan Tim sudah memiliki anak sekarang, tidak bisa selaku bersama dengannya setiap saat. Tidak seperri Philip, walaupun sudah memiliki pujaan hati, tapi Philip masih menjadikannya sebagai salah satu prioritas. Philip selalu ada untuknya, bukan sebagai bawahan, tetapi sebagai sahabatnya. Sebenarnya, Jeremia terharu mendengar apa yang Philip katakan. Namun, dua terlanjur kesal, kepalanya masih sedikit berdenyut bekas pesta semalam. Dia tidak meminum alkohol yang disajikan di pesta, dia hanya kurang tidur saja. Dia masih mengantuk dan masih ingin melanjutkan tidurnya. Jeremia mengangguk, membenarkan semua yang dikatakan pria yang kini tengah fokus dengan tabletnya. tablet pintar itu berisi jadwal pekerjaannya setiap hari. Sebagai seorang sekretaris yang merangkap asisten pribadi. Philip sangat cekatan. Dia menyiapkan segalanya dan tak pernah lupa. Malah dirinya yang sering lupa jika tudak diingatkan okeh Philip. Itulah alasannya kenapa dia tetap mempekerjakan Philip, dan akan selalu memberikan pekerjaan itu untuknya. Dia hanya bercanda ketika mengatakan akan mencarinya. Sekalipun tak pernah terbersit dalam pikiran Jeremia untuk memberhentikan Philip dari pekerjaannya. Itu adalah hal terakhir yang akan dilakukannya. Philip terlalu berharga. Jeremia mendesah tanpa suara, tangannya memijit pelipisnya yang masih sedikit berdenyut. "Kupikir kau perlu ini, Jeremia!" Segelas air putih dan sebutir obat pereda nyeri diberikan Philip padanya. Jeremia menatap obat itu beberapa detik. Bukannya tidak memercayai Philip, dua hanya merasa sedikit ngeri Saha harus menelan benda berwarna putih-putih dan berbentuk bulat pipih. Ukurannya juga bisa dibilang kecil untuk sebutir obat. Sayangnya, dia tetap tidak menyukainya. Yang namanya obat tetap saja obat, rasanya tetap saja pahit. Sebelum menenggaknya saja Jeremia sudah merasakan pahit di pangkal lidahnya. Otaknya mengirimkan sinyal tentang rasa obat itu sehingga membuatnya semakin berkerut. "Ayolah, Jeremia, jangan seperti anak kecil!" Philip mengerang, meletakkan gelas di atas meja dan memberikan pil kecil itu ke tangan Jeremia. "Jangan membuat apa yang kulakukan menjadi sia-sia. Minum pilnya dan segera bersihkan dirimu. Ini hari Senin, kau memiliki satu pertemuan penting dengan relasi bisnismu yang dari luar kota, makan siang nanti." Sekali lagi Jeremia berdecak. Mendengar Philip membacakan jadwalnya hati ini, denyutan kecil kembali dirasakan di pelipisnya. Namun, kali ini Jeremia mengabaikan. Dengan teramat sangat malas dia bangkit dan melangkah cepat menuju ke dalam, tangga berada di ruang tengah. "Apa kau tahu, Phil, aku semakin tidak suka dengan hari Senin!" Dia berseru karena sudah berada di anak tangga kedua. "Tidak bisakah selalu hari Minggu?" Tawa Philip terlepas tanpa dapat ditahan lagi. Jeremia Rodriguez yang cekatan dalam berbisnis selaku menginginkan hari Minggu? Philip menggelengkan kepala. "Apakah kau sadar jika dirimu terdengar seperri anak kecil barusan?" tanyanya tanpa mengeraskan suara. Ia sudah berada di ruang tengah. Jeremia tidak menyahut. Dia hanya mengedikkan bahu tak peduli. Apa salahnya mengatakan apa keinginannya? "Aku akan membuat sarapan!" Philip berseru. Jeremia sudah berada di lantai dua apartemennya. Memang tidak terlalu jauh, anak tangga itu hanya berjumlah enam saja, tapi ia merasa memerlukannya. "Segeralah turun!" pintanya menatap Jeremia yang tak menanggapi. Meskipun bersikap seolah mengabaikan, ia tahu Jeremia pasti akan melakukannya. "Satu lagi, Tuan Putri. Dia hari lagi akhir bulan, kuharap kau tidak melupakan kebiasaanmu di akhir bulan." Langkah kaki Jeremia terhenti dengan sendirinya. Kaki kanannya mengambang di udara beberapa detik sebelum kembali ke tempat semula, urung untuk melangkah. Dia memutar tubuh sembilan puluh derajat, menghadap Philip. Kedua tangannya bertumpu pada pagar pembatas yang terbuat dari logam berukir kala tubuhnya condong ke depan. Posisinya sekarang setengah membungkuk. "Terima kasih sudah mengingatkanku." Suara Jeremia berubah, tak lagi sekencang tadi. Nada sedih sangat kentara di sana. Senyum manis itu juga terpaksa, tapi tidak ucapan terima kasihnya. Ia sangat mengenal Jeremia, persahabatan mereka sudah terjalin sejak lama. Jeremia yang kuat dan selalu percaya diri akan berubah menjadi sosok wanita lemah sehari dalam satu bulan, setiap bulannya. Dia akan menunjukkan sisi rapuhnya di depan makam tunangannya dan calon anak mereka. Philip pernah beberapa kali menemani, jika tidak ada pekerjaan penting, dan masih bisa ditangguhkan. Di sana, ia melihat bagaimana sakitnya menjadi seorang Jeremia Rodriguez yang harus bertahan hidup tanpa cinta. *** Jeremia menyandarkan punggung pada sandaran kursi kebesarannya. Dia baru saja menandatangani berkas terakhir yang dibawakan Philip. Inilah salah satu hal yang membuatnya tudak menyukai hari Senin, selain hal-hal yang sudah disebutkannya. Pekerjaan menumpuk dan harus diselesaikan secepatnya. Menjadi bertambah banyak karena digabung dengan pekerjaan yang belum selesai saat akhir pekan. Makian lirih keluar dari bibir yang dipoles lipstik berwarna merah bata. Jeremia mendongak, memejamkan mata, dan menutup muka dengan kedua tangannya. Dia menyesali dirinya yang melupakan aktivitas wajib yang dilakukannya setiap akhir bulan, semua karena kesibukannya yang semakin hari semakin menumpuk. Itu pun dia sudah dibantu mengerjakannya okeh Philip. Dia sering menyerahkan tugas yang tak sanggup dikerjakannya pada Philip, bukan karena tak bisa, melainkan tidak ada waktu untuk mengerjakannya. Sungguh, terkadang dia menyesali semuanya, dia seolah tak memiliki waktu untuk melakukan apa pun lagi. Namun, dia tidak memiliki cara lain untuk dapat melupakan semua kesakitan yang dirasakannya. Dengan menyibukkan diri dengan bekerja, fokusnya teralihkan. Jeremia memencet pangkal hidung. Sepertinya besok dia akan kembali menyerahkan semua pekerjaan kantor pada Philip, termasuk menghadiri pertemuan penting yang diadakan di perusahaan induk Collins Enterprise. Dia akan meminta izin pada Elizabeth untuk tidak menghadiri dan mewakilkannya dengan Philip. Dia yakin wanita itu pasti mengerti. Kegiatannya setiap akhir bulan tudak dapat ditangguhkan karena hanya pada hari itu dia bisa mengambil cuti dalam sebulan untuk mengunjungi kota kelahirannya. Mengunjungi kota kelahirannya, kemungkinan besar juga menjenguk Sang Ayah yang masih menetap di sana. Papa masih bertahan menjalankan bisnis keluarga mereka. Tak ada kemunduran, bisnis itu justru semakin pesat setelah beberapa orang teman ikut bergabung dalam perusahaan. Jeremia tahu, dia seperti seorang anak durhaka katena lebih memilih bergabung dengan perusahaan keluarga Collins ketimbang menjalankan salah satu anak perusahaan keluarganya. Namun, dia tak peduli, dia tak ingin berada di kota di mana seluruh kebahagiaannya direnggut. Dia tidak sanggup melihat semua yang berhubungan Jordan, dan seluruh Brandville mengingatkannya dengan almarhum tunangannya itu. Daripada hidupnya hancur, selalu berada dalam bayang-bayang penderitaan tak berujung, lebih baik dia meninggalkan Brandville. Memang terkesan seperti melarikan diri, tapi memang seperti itu kenyataannya. Dia bukan wanita yang kuat yang mampu bertahan di tengah terjangan badai, dia rapuh. Kenangan indah kebersamaannya dan Jordan bisa menghancurkannya dengan mudah, apalagi hal terburuk. Bukan tanpa pertimbangan dia memilih untuk pergi. Semua sudah menyetujui keputusannya, ayahnya bahkan sangat mendukungnya, sampai sekarang. Meskipun mereka jadi jarang bertemu karena jarak dan kesibukan masing-masing, Papa selalu memberikan dukungan dengan mengiriminya hadiah dan meneleponnya setiap akhir pekan. Papa juga mendukung keputusannya untuk tetap melajang diusianya yang sebenarnya sudah sangat matang. Tidak ada paksaan untuknya menjalin hubungan dengan seorang pria. Papa selalu berkata, lakukan jika kau siap, jika tidak tetaplah pada keputusanmu sebelumnya. Dukungan Papa dan semua orang yang dekat dengannya sangat berharga. Papa tak lagi memaksakan kehendak seperti dulu, Papa lebih mementingkan kebahagiaannya. Papa sudah menyadari, sesuatu yang dipaksakan hanya akan menyebabkan kesakitan. Jeremia mengembuskan napas melewati rongga hidungnya. Kedua tangannya terangkat, mengusap wajah dengan pelan. Sekarang sudah hampir sore, dia akan pulang saja dan meminta Philip mengirimkan berkas yang harus ditandatanganinya, melalui faksimile. Dia sangat lelah, tubuhnya sudah menjerit meminta untuk diistirahatkan. Kekekalan akibat pesta semalam masih dia rasakan. Dia jera berpesta sampai pagi, dia telah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak mengikuti saran dan perkataan Philip lagi, jika tidak menyangkut pekerjaan. Dia tak ingin kurang istirahat seperti ini terulang lagi. "Kau akan pulang?" Jeremia mendengkus kuat, dia memutar bola mata. Terkadang Philip bersikap tidak sopan dengan tudak mengetuk pintu ketika masuk ke ruangannya. "Kau sudah melihat apa yang sedang kulakukan," sahut Jeremia datar tanpa menatap. Dia masih sibuk membereskan barang-barangnya yang berserakan di atas meja, memasukkannya ke dalam tas selempang yang kini sudah tersampir di bahunya. Philip memeriksa jam tangannya, kemudian beralih pada jam dinding yang menempel di tembok sebelah kanan mereka. Alisnya bertaut, masih pukul setengah empat, masih terlalu cepat untuk pulang sebenarnya, tapi ia tudak memiliki hak untuk melarangnya. Ia hanya seorang sekretaris yang merangkap sebagai asisten pribadi Jeremia di kantor ini. Lagipula, kantor ini adalah miliknya, Jeremia bebas ingin pulang kapan saja. Hanya saja, yang membuatnya kesal adalah, Jeremia pasti akan memberikan pekerjaan yang lebih banyak padanya. "Aku perlu istirahat yang cukup sebelum bertolak ke Brandville lusa, Phil." Jeremia mengangkat wajahnya yang sejak tadi fokus pada meja kerjanya. "Kirimkan saja semua berkas yang perlu kutandatabgani. Satu lagi, kau yang akan menggantikanku pada pertemuan tahunan di perusahaan induk besok." Jeremia tersenyum manis, menepuk bahu Philip sebelum keluar dari ruangannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD