Bab 3

2056 Words
"Apa kau mau pergi ke klub bersamaku malam ini? Gabriel akan mentraktir kita." Philip tersenyum lebar menatap Jeremia, menaik-turunkan alisnya dengan maksud menggoda. Jeremia berdecak, memutar bola mata jengah. Philip seolah tak bisa selalu mengajaknya pergi keluar, walaupun selalu ditolaknya setiap kali pria itu mengajak. Jeremia tahu Philip bermaksud baik, ia hanya ingin menghiburnya. Apalagi tadi mereka sama-sama bersedih karena teringat dengan percintaan mereka, tak salah kalau Philip mengajaknya pergi. Namun, sepertinya pria itu harus kecewa lagi kali ini karena dia akan kembali menolaknya. "Haruskah aku menjawabnya lagi?" tanya Jeremia mengerang. "Karena aku yakin kau pasti sudah tahu jawabannya." Philip menatap Jeremia dengan mata menyipit. "Tidak bisakah sekali saja kau ikut bersama kami?" tanyanya. "Kau tidak pernah keluar pada malam hari selain menghadiri jamuan bisnis atau pesta yang berhubungan dengan bisnis dan pekerjaan. Tidakkah itu membuatmu bosan?" Jeremia mengangkat bahu. "Tidak!" jawabnya menggelengkan kepala. "Aku selalu menikmati hidupku walau bagaimanapun itu." Philip memutar bola mata bosan. Jeremia selalu menjawab dengan kata-kata yang sama setiap kali ia menanyakan hal itu. Iya, siapa pun tahu kalau hidup Jeremia itu menyenangkan. Sebagai menantu satu-satunya keluarga Collins, hidup Jeremia tidak akan pernah kekurangan meskipun dia tidak berkerja. Jeremia bahkan mendapatkan kehidupan seperti putri raja yang segala keinginannya selalu terpenuhi. Namun, tidakkah Jeremia bosan dengan kehidupannya yang serba monoton? Oh, ayolah, Jeremia tidak pernah bersenang-senang. Di musim panas pun dia tetap memilih untuk bekerja. "Baiklah, Tuan Putri yang selalu menikmati hidupnya. Tidakkah kau ingin bersenang-senang, sekali saja?" Philip tidak menyerah kali ini. Ia ingin menunjukkan pada Jeremia betapa indahnya bersenang-senang. "Astaga, Philip!" Jeremia memijit pelipisnya. Dia tidak sakit kepala, hanyaerasa.perlu melakukannya saja. "Kau sangat mengenalku, dan aku tidak menyukai kehidupan malam. Tidak akan pernah." Dia menggeleng. "Terserah kalau kau mau bersenang-senang itu hakmu, aku tidak akan melarangnya. Tapi, tolong, hormati hak dan keputusanku!" pinta Jeremia sungguh-sungguh. "Lagipula malam ini aku akan makan malam di rumah keluarga Collins." Philip mengangkat tangan. Ia menyerah kalau harus berurusan dengan keluarga Collins. Siapa pun tidak akan menang melawan keluarga itu. Jeremia tersenyum lebar, menepuk pipi Philip sebelum kembali duduk ke kursinya. "Kau perlu bercukur," ucapnya menunjuk Philip. "Jangan sampai Gabriel menjauhimu hanya karena pipimu ditumbuhi cambang." Jeremia tertawa geli setelah mengatakan itu. Philip mengerang. Jeremia paling tahu bagaimana membalasnya, dia selalu menemukan cara untuk itu. Gabriel lebih menyukai pria yang bersih tanpa cambang karena dirinya sudah memiliki cambang tipis, yang membuatnya semakin terlihat memesona. Philip tersenyum membayangkan kekasihnya itu. Jeremia ikut tersenyum melihatnya. Dia yakin sahabatnya sedang bahagia, dan itu membuatnya turut senang. Kehidupan yang dijalani Philip berkali-kali lipat lebih sulit darinya. Dia tidak pernah mengalami pembullyan dan siksaan seperti yang dialami pria itu. Yang dialaminya hanyalah patah hati karena ditinggalkan selamanya oleh orang yang dicintainya. Senyum di wajah Jeremia luntur, terganti tarikan napas panjang. Jeremia menyandarkan punggung pada sandaran kursinya, mendongak dan memejamkan mata. Nanti malam adalah saat yang sulit untuknya. Berkunjung ke mansion keluarga Collins selalu membuat dadanya sesak. Di mansion itulah Jordan dilahirkan, di sana juga ia menghabiskan masa kecil dan sebagian masa remajanya. Ada banyak foto Jordan semasa kecil sampai saat ia duduk di junior high school. Percayalah, melihat semua itu sangat tidak mudah untuknya. Dia berjuang keras menahan air matanya agar tidak tumpah. "Bersemangatlah seperti biasanya, Jeremia!" Jeremia membuka mata, menatap Philip yang tersenyum manis padanya. "Ayo!" Philip mengepalkan tangannya, menyodorkannya pada Jeremia. "Aku selalu mendukungmu!" ucapnya. Jeremia tersenyum. Menyambut kepalan tangan Philip dengan kepalan tangan juga. Dulu, saat masih sekolah, dia sering melihat Jordan melakukan hal seperti ini bersama teman-teman basketnya. Ketika kuliah, dia bersahabat dengan Philip, dan mulai belajar tos seperti itu. "Terima kasih, Kawan. Kau sangat mengenalku. Kau paling tahu kalau aku sangat membutuhkan dukungan seperti ini," ucap Jeremia sambil mencoba kembali tersenyum. Dia nyaris gagal ketika bayangan masa sekolahnya melintas. Yang paling indah di masa sekolah adalah saat dia bertemu Jordan. Jeremia tidak akan pernah melupakan kejadian di koridor saat mereka bertabrakan karena itu adalah awal dari segalanya. Awal dia mengenal bagaimana rasanya mencintai, juga kehilangan. Jeremia menarik napas panjang. Dia memerlukan banyak pasokan oksigen untuk paru-parunya yang terasa sesak. Untuk menghilangkan batu yang menghimpit dadanya. "Aku akan pulang sekarang, Philip," ucap Jeremia. Dia merapikan semua barang-barangnya, memasukkan ke dalam tas tangannya. "Bagaimana denganmu, apa kau juga akan pulang sekarang atau ...?" Philip menggeleng. "Aku akan pulang sebentar lagi," jawabnya. "Aku menunggu Gabriel menjemputmu. Kami akan langsung ke klub setelah dari sini." Jeremia mengangguk. Dia paham. "Gabriel libur malam ini." Philip tersenyum lebar. "Kami akan melewatkan malam panjang berdua." Jeremia memutar bola mata. Philip sedang memanas-manasinya, dia sadar akan hal itu. Sayangnya tidak akan mempan, dia sudah terbiasa. Lihat saja, besok pasti Philip akan bercerita sepanjang hari tentang malam panas mereka. Malam panas yang membuat semua pasangan sesama jenis di dunia akan iri, itu yang selalu dikatakan Philip sebagai kalimat pembuka. Jeremia berdecak menyadari betapa hafal dirinya dengan kebiasaan Sang Sahabat. "Ceritakan saja padaku besok karena aku tidak bisa bergabung bersama kalian," ucap Jeremia sebum keluar dari ruangannya. Philip mengantarkan sampai ke tempat parkir. Sepanjang jalan Philip selalu berbicara, mulutnya tidak pernah bisa diam. Philip baru berhenti setelah Jeremia memasuki mobil. "Sampai besok, Phil!" Jeremia melambaikan tangan sebelum melajukan mobil meninggalkan tempat parkir gedung kantornya. Dia akan kembali ke apartemen untuk bersiap-siap. *** Jeremia tiba di mansion keluarga Collins beberapa saat sebelum makan malam dimulai. Biasanya dia akan membuat hidangan penutup bersama Isabella. Hidangan manis yang hanya disukai mereka. Sementara William akan menghindarinya. Jangan pernah mengharapkan William akan memakan hidangan penutup kecuali pada perayaan hari tertentu. "Jeremia, Sayang, akhirnya kau datang juga." Isabella selalu memberikan sambutan terhangat pada menantunya. Jeremia dan almarhum putranya memang belum menikah, tidak sempat. Namun, dia sudah menganggap perempuan hebat di depannya ini sebagai menantu dan anak. Jeremia adalah perempuan tertabah yang pernah dikenalnya. Seandainya dirinya berada di posisi perempuan itu, kemungkinan besar dia tidak akan dapat bertahan. Dari Jeremia dia belajar ketabahan. Kalau Jeremia bisa kuat dan mampu bertahan sendirian dalam selama sepuluh tahun ini, dia juga pasti bisa kuat sepertinya. "Aku tidak terlambat untuk acara membuat kue kita, bukan?" tanya Jeremia tersenyum manis. Dia tahu kalau belum terlambat, pertanyaan itu hanya sekedar basa-basi. "Sangat tepat waktu!" jawab Isabella memeluk menantunya itu. "Ayo! Dapur sudah menanti kita!" Jeremia tertawa mendengarnya. Dia sudah menganggap Isabella sebagai ibunya sendiri. Perempuan rapuh dan kuat di saat bersamaan. Tanpa menjawab lagi Jeremia mengikuti Isabella yang menariknya menuju dapur. Masak selalu membuat Jeremia lupa akan semua beban hidupnya. Seluruh masalahnya seolah hilang. Awalnya Jeremia tidak suka memasak. Bukannya tidak suka, dia hanya tidak bisa. Terbiasa dilayani membuatnya sangat malas menjamah dapur. Namun, seiring berjalannya waktu, dan dirinya yang semakin dewasa, apalagi dia tinggal sendirian di apartemen membuatnya harus bisa dan terbiasa mengerjakan segala sesuatunya seorang diri. Yang awalnya sulit, akhirnya menjadi mudah. Lama kelamaan dia jadi menyukai memasak. Masakannya juga semakin lezat, tapi tetap saja dia malas untuk memasak kecuali saat hari libur, atau saat seperti ini. Makan malam bersama. Satu jam kemudian muffin yang mereka buat sudah matang, bertepatan dengan jam makan malam tiba. Jeremia bersama Isabella membantu Cameron, kepala pelayan mansion Collins, menghidangkan makanan. Isabella kalau ada di rumah tidak pernah membiarkan asisten rumah tangga bekerja sendiri. Dia akan turun tangan membantu mereka di dapur. Isabella yang memang sangat suka memasak selalu memanfaatkan hari liburnya dengan berada di dapur. Bukan hanya untuk menyalurkan hobi, Isabella melakukannya untuk melupakan apa yang terjadi pada keluarganya. Hanya dengan memasak dia bisa lupa kalau putra tunggalnya telah tiada. Kehilangan putra satu-satunya bukanlah hal yang mudah diterima. Walaupun sudah sepuluh tahun mimpi buruk itu tetap menghantuinya, selalu membuatnya terjaga dan sangat sulit untuk kembali melanjutkan tidur. Jordan adalah putranya, dia yang mengandung dan melahirkannya. Lalu, anak itu dengan mudah merenggut putranya.. Seandainya saja tidak ingat dengan hukum yang berlaku di negara mereka, dia pasti akan membunuh anak itu. Meski sudah mendapatkan hukuman yang setimpal, dia masih belum puas. Kehadiran Jeremia mengobati semuanya, membuatnya lebih kuat dan belajar ikhlas merelakan. Jeremia bukan hanya kehilangan orang yang dicintainya tetapi juga kehilangan calon bayi mereka. Sejauh ini Jeremia tetap kuat bertahan seorang diri, bahkan menolak siapa pun yang ingin menjadi pasangannya. Dari perempuan muda itu dia belajar. Jeremia selalu mengatakan Jordan tetap hidup di dalam hatinya, selalu mengawasi dan menunggunya di tempat terindah di atas sana. Sebagai Ibu dari Jordan, dia sempat merasa malu. Kalau Jeremia bisa setegar itu, kenapa dia tidak? "Kukira kalian membuat dessert lagi?" tanya William melihat hidangan yang disajikan istri dan menantunya. Isabella mengangguk. "Kami membuatnya," jawabnya singkat. "Lalu, di mana hidangan penutup itu?" William mengernyitkan kening. Ia tidak melihat satu pun makanan manis di atas meja makan. Semua hidangan yang tersaji adalah hidangan utama. "Untuk apa kau mencari sesuatu yang tidak akan kau makan?" Isabella balas bertanya datar. Bola matanya memutar kesal. "Aku hanya bertanya," balas William acuh. Menusuk sepotong daging kalkun, memindahkan ke piringnya. Kepalanya lantas mengangguk menikmati daging itu yang seolah lumer di dalam mulutnya. Ini masakan daging kalkun terlezat yang dimakannya dalam sebulan terakhir. "Siapa yang memasak kalkunnya?" tanya William mengangkat kepala. "Cameron tentu saja," jawab Isabella. "Dengan resep dari Jeremia." Dia menatap menantunya yang duduk di seberangnya. Jeremia yang sejak tadi diam mendongak. Mengambil air minum dan meminumnya sebelum bertanya. "Ada apa?" tanya Jeremia. "Apakah ada yang menyebut namaku?" Isabella tersenyum, Mengusap mulutnya menggunakan serbet makan sebelum menjawab pertanyaan itu. "William bertanya siapa yang memasak kalkunnya...." "Bukan aku!" jawab Jeremia cepat memotong perkataan Isabella. Dia tidak ingin disalahkan seandainya rasa kalkun tidak seperti yang diharapkan. "Aku tidak pandai memasak kalkun, tidak pernah mencobanya."Jeremia menggeleng. "Aku hanya memberikan resep yang kudapat dari sebuah saluran di media sosial, pada Cameron kemarin. Menurut orang-orang yang memakannya rasanya sangat enak. Aku penasaran.' "Rasanya memang enak," komentar William. "Kurasa Cameron berhasil memasaknya." "Eh? Benarkah?" Jeremia mengerjap tidak percaya. Dia sudah gugup kalau-kalau rasa kalkun tidak cocok dengan lidah William yang pemilih. Namun ternyata sebaliknya. Bolehkah dia bangga? William mengangguk. "Kalau begitu kau harus memberikan hadiah pada Cameron," ucap Jeremia mengusulkan. Dia tersenyum bangga karena tidak salah rekomendasi. Merasa tenang juga karena resep yang diberikannya pada Carmen berhasil sehingga wanita setengah baya itu tidak kena marah. "Jeremia benar," sahut Isabella tersenyum. "Kau memang harus memberikan hadiah untuk Cameron karena masakannya kali ini cocok di lidahmu yang sangat cerewet itu." Jeremia terbatuk menahan tawa. Isabella memang sedikit sadis dan pedas dalam berkata-kata, lidah cantiknya sangat tajam. Dengan lidah itu juga dia berhasil menambah hukuman Manhattan Jackson, pria yang sudah menyabotase mobil Jordan sehingga ia kecelakaan dan tewas, menjadi lebih lama dua kali lipat. Pengacara keluarga Jackson pun tidak berkutik. Bukan karena uang Isabella, melainkan karena lidah tajamnya. William hanya berdehem menanggapi perkataan istrinya. Percuma membantah karena Isabella juga yang akan menjadi pemenangnya. Lagipula, ia tidak ingin membantah sesuatu yang benar. Bukan salahnya sangat memilih dalam hal selera makan, salahkan koki yang kurang pandai mengolah bahan makanan. "Jeremia, bagaimana pekerjaanmu, Sayang?" tanya Isabella..Dia baru ingat belum menanyakan hal itu selama lebih dari satu jam kedatangannya. Meskipun sudah tahu jawaban Jeremia, dia tetap merasa perlu melakukannya. Makan malam memang selalu identik dengan pembicaraan bisnis. "Semuanya baik-baik saja," jawab Jeremia mengangguk. Bibirnya menyunggingkan senyum. "Tidak ada masalah dengan pekerjaan, Philip menangani semuanya dengan baik." "Syukurlah." Isabella tersenyum lega. "Sekretarismu itu sangat hebat. Aku mengagumi setiap pekerjaannya. Kau harus mempertahankan pria itu di kantormu." "Tentu saja." Jeremia mengangguk lagi. "Aku yakin Philip tidak akan ke mana-mana." "Apa dia masih berhubungan dengan kekasihnya yang ...." Isabella mengibaskan tangan kacau. Dia mengenal Philip dengan baik, benar-benar mengagumi kinerja pria itu, kecuali perilaku seksualnya yang menyimpang. Lagi-lagi Jeremia mengangguk. "Aku tidak ingin ikut campur masalah pribadi sahabatku terlalu dalam. Philip berjanji akan berubah," ucapnya. Isabella mengangguk. Dia juga tidak ingin mencampuri hubungan asmara seseorang. Tidak penting menurutnya. Lagipula, itu adalah hak Philip, dan dia menghormatinya sebagai seorang manusia. "Oh iya, aku ke Brandville akhir pekan kemarin." Jeremia mengalihkan pembicaraan. "Aku mengunjungi makam Jordan dan anak kami." Senyum Jeremia meredup. Sangat jelas kalau dia sedang berusaha menahan perasaannya. Isabella tertegun. Hal yang sangat jarang dilakukannya, dan itu menjadi aktivitas rutin Jeremia setiap bulannya. Bukan tidak ingin berkunjung atau apa, dia takut tidak dapat menahan diri lalu pingsan. Itulah yang membuatnya jarang berkunjung ke makam putra satu-satunya. Dia lebih menyibukkan diri dengan pekerjaan agar bisa melupakan semuanya. "Mereka baik-baik saja, makamnya terawat." Jeremia tersenyum di balik matanya yang berkaca-kaca. Dia selalu tidak dapat menahan air mata setiap kali mengingatnya. Jordan adalah cinta pertama dan akan menjadi cinta terakhirnya. Jeremia bersumpah akan hal itu, hatinya selamanya menjadi milik Jordan Collins.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD