1 ADISTIA

1547 Words
Apa dia bilang? Semua ini karena aku yang nggak tahu kondisi dan pekerjaan dia?! Enak saja, pria tengil itu! Sudah hampir enam tahun kita sama-sama, terus dia bilang aku nggak ngerti dia?! Ke laut saja sana! Biar dimakan ikan julung-julung dan sebangsanya. Aku melirik tumpukan baju yang ada di lemari. Mendesah kesal, dan kembali bersungut-sungut seraya memasukkan semua baju ke dalam koper putih besarku. Demi Tuhan, karena dia, aku harus kehilangan pekerjaanku di sini. Habis bagaimana? Kita sama-sama di kota ini tapi dia jarang menemaniku. Akhirnya, dengan berat hati jabatan sebagai editor di salah satu perusahaan penerbit di kota ini, aku lepaskan. Jangan katakan kalau aku terlalu cepat memutuskan dan bersikap kekanak-kanakan! Asal kalian tahu saja, aku memikirkan ini sejak delapan bulan terakhir. Hingga akhirnya, tiga bulan lalu aku mengajukan pengunduran diri sampai perusahaan mendapatkan penggantiku. Dan hal yang membuatku kesal adalah saat aku mengatakan sudah berhenti bekerja pada pria itu, "Kalau kamu mau berhenti kerja apa ndak sayang, Adis? Kamu kan sudah lama di perusahaan itu?" tanyanya seraya menatapku cemas. Aku tahu, dia hanya pura-pura. Dan itu sama sekali nggak mempan buatku. "Kamu tahu kan kenapa aku pilih berhenti kerja, waktu itu kita sudah bicarakan hal ini bukan?" dia menatapku lamat-lamat, berusaha mengingat. Namun hingga menit berganti, dia masih terdiam. "Sudahlah, Mas... Kamu saja nggak tahu aku bagaimana. Aku kira kamu ngerti apa alasanku dan mau berubah. Tapi ternyata, alasanku untuk berhenti kerja saja kamu nggak tahu." dadaku terasa sesak, ingin rasanya aku menangis namun semua itu kutahan. Aku tidak ingin terlihat lemah dihadapan pria yang selalu menyakitiku ini. "Lho... lho... lho.... Kok kamu ngomong begitu? Kamu kenapa, ada apa?" Aku semakin muak dengannya, Ya Tuhan, bagaimana mungkin aku menghabiskan tahun-tahun kemarin bersama pria seperti ini? "Astagfirullah, MAS! Aku harus bicara dengan cara apalagi sih sama kamu?!" Amarahku memuncak, aku tidak tahan lagi bersikap seolah tidak ada apa-apa dalam hubungan kami. Aku tahu, dia amat mencintaiku, dia setia padaku. Tapi hubungan ini tidak hanya berkutat dengan hal itu. Aku tahu, pekerjaannya sebagai Pilot disalah satu penerbangan domestik membuat dia hanya mempunyai sedikit waktu untukku. Aku mengerti, tapi tidak untuk hubungan kami yang sudah berjalan enam tahun ini hanya jalan ditempat. Aku tidak mengerti apa alasannya hingga dia terus mengulur waktu. Jika tentang biaya, itu tidak mungkin. Kami sama-sama bekerja dan penghasilan kami terbilang cukup bahkan lebih dan setiap bulan aku selalu menabung. Ganin tahu hal itu, tapi saat aku menyindirnya dia selalu mengatakan, "nanti kita bicarakan lagi". Sebenarnya apa salahku hingga dia terus menunda-nunda. Usiaku sudah tidak muda lagi, tahun ini saja aku berusia dua puluh tujuh tahun. Teman-temanku rata-rata sudah mempunyai anak. Lalu aku? "Kamu nggak harus bentak aku kan, Dis... Tenang dulu, kita bicarakan baik-baik." Ucapnya datar, aku tahu Ganin tengah menahan amarah. Tapi dia mempunyai pengendalian emosi yang baik. Terkadang aku salut dengannya, tapi kali ini... aku benar-benar muak! Seolah dia tidak peduli dengan semua yang terjadi padaku. Dadaku semakin sesak, hingga tanpa sadar setetes air mata jatuh di pipiku. "Aku mau pulang ke Bandung. Aku... aku... sudah nggak tahan dengan semua ini, Mas. Bukannya aku nggak ngerti kamu. Tapi...." "Dis... Kalau kamu bicara tentang waktuku buat kamu, kamu sudah tahu kalau pekerjaanku seperti apa. Aku mohon mengerti, Dis. Tolong." Air mata yang membanjiri pipi membuat kegiatanku terhenti. Bagaimana bisa aku berpura-pura baik-baik saja? Banyak kenangan manis yang sudah kami lewati tidak mungkin kulupakan begitu saja. Keputusanku untuk pulang ke Bandung memang sulit diterima Ganin. Sebenarnya aku pun demikian. Aku sudah terlanjur bermimpi menikah dengannya dan mempunyai anak-anak yang lucu bersama Ganin. Kalau dipikir secara kasar, pasti orang mengira aku wanita yang tidak sabar untuk segera dilamar. Tapi percayalah, sungguh beruntung jika kalian tidak berada posisiku. Ini sangat menyakitkan. Aku bagaikan berjalan sendirian, kebingungan dan tidak tahu apa yang harus kumengerti. Lalu setelah putus dari Ganin apa yang aku harapkan? Apakah dengan putus dengannya lantas aku akan mencari pria yang segera menikahiku. Tentu tidak! Aku punya hati, dan aku sangat takut jika aku tidak bisa mencintai lagi. Semua ini adalah keputusan sulit, dan Ganin tidak pernah mengerti hal ini. Yang dia tahu adalah aku yang tidak mengerti pekerjaannya. Aku yang manja dan selalu merajuk. Aku yang kekanakan dan cerewet. Aku yang.... Aku... Tangisku semakin lama semakin deras. Aku tidak menyangka, Ganin akan mengatakan kata-kata itu padaku. Memang aku kecewa dengannya. Tapi tidak seharusnya dia putus asa denganku, bukan? "Mungkin ada baiknya jika kita berjalan masing-masing terlebih dahulu. Kalau kamu memang bersikeras pulang ke Bandung, itu hak kamu. Maafkan aku tidak bisa membuat kamu bahagia." Itulah kata-kata terakhir yang Ganin berikan padaku saat aku menangis keras karena terlalu kecewa padanya. Perkataan itu ternyata jauh lebih buruk dari semua hal menyakitkan yang dia lakukan padaku. Ganindra Bimo.... Aku sangat mencintainya, lalu bagaimana hidupku jika aku tanpa dia? ***** Angin sejuk menerpa wajahku saat aku keluar dari Bandar Udara Husein Sastranegara. Bandung... Sudah berapa lama aku nggak pulang? Pasti Ibun kaget saat aku tiba di rumah. Memang kepulanganku ini tidak kuberitakukan pada orangtuaku satu-satunya itu. Beberapa hari yang lalu aku sudah curhat ke Ibun kalau aku sudah berhenti bekerja. Aku nggak mau Ibun terlalu khawatir sama aku. Jadi, aku hanya bilang kalau aku sudah tidak betah kerja di sana. Tuhkan, belum apa-apa aku sudah bohong. Bagaimana kalau Ibun tanya-tanya tentang Ganin. Hm... Sudahlah.... Lambat laun, aku pasti akan bicara sama Ibun tentang apa yang sebenarnya terjadi. Jadi untuk sekarang, lebih baik kita nikmati saja pulang kampungku ini. Banyak yang berubah di kota ini. Termasuk Bandara yang baru saja aku tinggalkan benerapa saat lalu. Dengan mengusung konsep Butik Bandara. Interior di dalamnya didesain dengan suasana seperti di galeri. Benar-benar sangat cantik. Taksi yang kutumpangi terus melaju ke daerah Dago. Jantungku berdegup tak karuan. Kira-kira bagaimana ya reaksi Ibun? Aku benar-benar penasaran. Lalu lintas yang tidak terlalu ramai membuat perjalananku terasa cepat. Tampak dari kejauhan bangunan bernuansa putih dan coklat membuat rinduku makin membuncah. Toko kue milik Ibun, dimana semua pemasukan keluarga kami berasal dari sana. Aku ingat bagaimana Ibun bersusah payah agar aku bisa bersekolah. Tiba-tiba sebuah rasa sesal menyelinap karena aku sudah melepaskan pekerjaanku hanya karena seorang pria. Tapi mau bagaimana lagi? Aku keluar dari taksi, dan langsung disambut oleh Pak Nanu, sopir andalan Ibun yang biasa mengantar pesanan-pesanan pembeli. "Neng Adis?" Wajah tua Pak Nanu terlihat bingung. Aku tersenyum yang dibalas dengan tawa Pak Nanu yang baru saja tersadar dari keterkejutannya. "Ibun ada, Pak?" Tanyaku pada Pak Nanu yang sedang membantuku membawa koper ke dalam toko. Tanpa bertanya pun sebenarnya aku tahu Ibun ada di sini. Maka dari itu, aku tidak langsung pulang dan memilih ke toko terlebih dahulu. Design toko Ibun yang merangkap sebagai Kafe dimana orang-orang bisa menikmati kue Ibun secara langsung tidak banyak berubah. Hanya cat berwarna coklat muda dan beberapa sofa baru yang menjadi pembeda. "Adistia...?" Ibun rupanya sedang ada tamu. Dia saat ini sedang duduk di salah satu meja sudut ruangan dekat dengan jendela. Beliau terbelalak melihat kedatanganku. "Tunggu sebentar ya, Bu Ambar." Ucap Ibun pada seorang wanita yang sedang duduk bersamanya. Ibun beranjak dan langsung menubruk tubuhku yang berdiri tidak jauh darinya, memelukku dengan hangat. Wangi Ibun... Hangatnya tubuh Ibun membuat air mataku membendung. Aku kangen Ibun. "Adis kangen Ibun...." Ucapku pada akhirnya. Setelah dihitung-hitung, aku sudah tidak pulang ke Bandung selama dua tahun. Waktu yang cukup lama bukan? Ah... Anak macam apa aku ini? Ibun hanya diam, namun aku bisa merasakan usapan lembutnya pada punggungku. Andai saja aku bisa menahan rasa yang menumpuk di hati, aku tidak akan mengeluarkan air mata kurang ajar ini. Putus dengan Ganin, alasanku berhenti pekerjaan, semua itu ingin aku ceritakan pada Ibun. "Ini anak gadis pulang-pulang kok malah nangis kayak anak kecil." Canda Ibun saat melepas pelukan kami. Aku tertawa kecil, namun air mata ini seakan tidak bisa berhenti. "Udah... Udah... Kenapa jadi mellow-mellow gini sih? Cup... Cup.. Cup..." Ibun masih saja bisa melucu disaat air matanya ikut mengalir. Aku mengusap air mata Ibun, dan kemudian Ibun mengusap pipiku. Kami tertawa bersama, betapa kami saling rindu tapi aku tidak pernah muncul. Segalak-galaknya Ibun ditelepon menyuruhku pulang, namun saat aku di sini Ibun tidak akan bisa marah. Yang ada malah seperti ini. Suara tawa merdu dari seseorang dibelakang kami membuatku tersadar. Tawa dari seorang gadis kecil yang sedang menikmati kue Ibun bersama Bu Ambar. Ya ampun, benar-benar memalukan. "Oma sama Tante lucu banget, nangis sambil ketawa-tawa." Celetuk gadis kecil itu yang membuatku meringis. Ditambah lagi dengan Ibun dan Bu Ambar yang tertawa. Mau dikemanakan wajahku ini? "Bu Ambar, ini lho anak bungsu saya. Namanya Adistia." Ibun mengenalkanku pada wanita paruh baya yang masih terlihat sangat cantik di usianya. Bu Ambar tersenyum lebar, dan aku pun membalasnya. "Halo, Tante Adis... Kalau aku Renggani." Gadis kecil itu mengucapkan namanya dengan cuek. Dia masih asik menyendokkan kue ke mulutnya. Setelah menaruh garpu makannya, dia melambaikan tangan padaku. Seolah memberikan ucapan salam kenal padaku. "Nah, Dis... Sekarang kamu duduk di sini dan ceritain ke Ibun kenapa kamu pulang nggak bilang-bilang." Ibun menghelaku duduk di sofa dekat dengan Bu Ambar. Aku sempat bingung dan sangat terkejut, karena Ibun menyuruhku bercerita di depan temannya. Namun aku bisa apa jika sudah berada di daerah kekuasaan Andina Galuh. Tapi tidak apa, justru saat-saat seperti inilah yang aku butuhkan. Ibun, dengan segala kasih sayang dan keunikannya. Aku harap, aku bisa menemukan kehidupan baru di sini. Hidup setelah sekian lama aku terbiasa dengan Ganin.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD