2 GANINDRA

1197 Words
Bandara Adisucipto, 22.30 WIB Penerbangan hari ini berakhir di kota Jogja, bagaimana aku tak bahagia walau lelah melanda. Setelah hampir sebulan tak bertemu perempuan yang menguasai pikiran dan hatiku, akhirnya aku memiliki waktu bertemu dengannya walau singkat. Karena besok aku harus terbang lagi dan entah kapan bisa bertemu lagi kecuali mengambil cuti. Teman-teman yang sudah hapal denganku hanya akan meledek jika melihat sikapku yang jadi cerah ceria jika mendapat penerbangan terakhir di Jogja. "Baru kali ini aku lihat pilot yang setia minta ampun," seru salah satu mekanik di penerbanganku. "Aku memang pria setia, tidak sepertimu," balasku penuh kebanggaan. "Jangan gede kepala dulu, maksudku setia berstatus lajang." "Ck, untung suasana hatiku lagi baik. Sampai jumpa kawan, aku ketemu calon pendamping dulu." "Jangan calon terus, yang ada disamber orang." "Sial, sudahlah. Aku nggak mau moodku berubah buruk lama-lama denganmu." Langkahku mantap ke luar bandara, supir taksi sudah menyapa untuk mengantarkan pada belahan hatiku. Kutepuk kepalaku karena lupa mengabari dia sebelumnya, semoga saja dia masih terjaga. Kubuka layar ponselku yang langsung memperlihatkan senyum perempuanku dengan lesung pipinya yang semakin membuatnya terlihat cute. Berulang kali kuhubungi tapi tak ada tanda-tanda telponku diangkat olehnya. "Pak, sudah sampai." "Oh ya, Pak. Makasih." Kupandangi rumah tingkat dua berwarna pink, dengan pagar menjulang berwarna coklat. Sebuah kost-kostan yang sudah bertahun-tahun sering kusambangi. Aku hanya bisa berdiri memandang rumah itu berharap Adistia mengangkat telpon dariku. Cukup lama aku berdiri hampir satu jam dan Adistia tak juga muncul atau sekadar mengangkat telponku. Suara motor mengagetkanku, mungkin penghuni kost yang baru pulang. "Ada apa Mas malam-malam di sini?" tanya salah satu dari mereka yang terlihat tomboy. "Oh, maaf Cuma mau ketemu pacar saya tapi dia nggak angkat-angkat telpon saya," jawabku jujur. "Eh, Mas Ganin ya?" Kali ini gadis berjilbab hitam mendekatiku. "Iya, saya Ganin." "Nyari mba Adis?" "Iya, iya." "Mba Adis kan udah nggak di sini, pulang kampung Mas." Satu kenyataan mengagetkanku, Adistia sudah tak tinggal di Jogja hampir dua minggu. Ingatanku kembali ke tiga minggu lalu di mana dia mengatakan akan kembali ke Bandung dan aku mengiyakan. Aku tak menyangka dia akan benar-benar pulang ke Bandung. Memang sejak kemarin itu dia tak mau membalas pesanku dan hanya menjawab telponku dengan mengatakan sibuk. Betapa bodohnya aku dari kemarin tenang-tenang saja. Aku sangat mengenal kekasihku, dia tipe perempuan sabar yang sangat mengerti keadaanku. Kuketik pesan untuknya, berharap dia membalas pesanku kali ini. To: My Future Dek, kenapa pulang ke Bandung nggak bilang? Mas nyamperin kostmu Mas nggak ada jadwal penerbangan ke Bandung bulan ini Demi Tuhan Adistia, jangan begini Balas pesan Mas, kita perlu bicara Miss you *** Pekerjaan subuh sudah menyapa, semua wajah cerah menyapaku sedangkan wajahku pastilah sangat buruk. Kuteguk kopi hitam pekat agar penerbanganku pagi ini berjalan lancar dan selmaat sampai tujuan. Aku punya tanggung jawab besar jadi walaupun aku ada masalah dengan Adistia aku berusaha profesional. Sementara kuabaikan dulu persoalanku, aku sudah fokus dengan breafing pagi ini dengan FOO (Operation Controller and Flight Following) dan kapten pilot senior. Hampir 20 menit breafing membahas manifest, bahan bakar, kondisi cuaca dan sebagainya. "Kenapa wajahmu? Pulang ke Jogja bukannya surga duniamu?" ledek salah satu temanku selesai breafing. "Apa terlihat buruk? Masih tetap tampan kan?" balasku dengan senyuman andalanku. Jangan pernah memperlihatkan wajah kusut, jelek, murung untuk jadi seorang pria yang bisa diandalkan. "Pasti Adis minta kawin lagi tuh," celetuk Abram mekanik yang semalam meledekku. "Bram, belum pernah kulempar ban pesawat, huh?" "Ayolah, kawan jangan naik darah aku hanya ingin menyemangatimu. Jangan sampai cinta matimu tak jadi jodohmu. Aku menyayangimu," katanya dengan mengedip-ngedipkan mata. Sungguh menjijikkan. Penerbangan ke Jakarta berjalan lancar dan selamat sampai tujuan, syukur alhamdulillah. Waktu transit 30 menit kuhabiskan di kedai kopi dan mengecek ponselku tapi hasilnya tak ada pesan dari orang yang kurindukan. Adistia benar-benar ngambek kali ini, lebih tepatnya marah. Sebelumnya dia tak pernah seperti ini, dia selalu berusaha membuatku tak terlalu mengkhawatirkannya karena dia selalu rajin mengirim pesan walau hanya kubalas saat transit dan tak bisa berlangsung lama. "Mas, boleh gabung?" "Silahkan," jawabku pada Laras salah satu pramugari maskapaiku. "Kata mas Abram mas Ganin lagi galau." "Hais... dasar Abram, jangan dngarkan dia." "Aku kenapa?" Makhluk satu itu muncul, aku membencinya tapi aku tak bisa lepas darinya. Dari awal aku bekerja di maskapai ini dialah teman yang sangat mengerti aku hingga dia bisa membullyku sesuka hati. "Jadi Adis beneran minta kawin?" Kalau tak melihat kedai sedang ramai kupukul juga kepalanya. Tapi kedai kopi siang ini sangat ramai jadi aku harus menjaga image sebagai pilot tampan dan cool. Walau di depan Adistia aku tak bisa cool karena dia selalu bisa membuatku tertawa. Adistia lagi, ternyata sejak semalam aku masih tak bisa untuk tak memikirkannya. "Memang kenapa sih mas nggak nikah-nikah?" tanya Laras. "Atau mau sama Laras aja?" "Jangan berharap, Ganin itu cintanya udah mentok cuma nggak punya nyali aja." Kulirik Abram yang nyengir ke arahku, selalu saja kata-katanya tepat mengenai sasaran. Sebenarnya tak 100 % karena pengecut tapi karena aku perlu waktu untuk bisa membahagiakan Adistia. AKu butuh kemapanan walau sekarang sudah mapan tapi tabunganku belum cukup untuk bisa membahagiakan Adistia dan anak kami nanti. Aku tak mau setelah menikah Adistia jadi susah apalagi harus memikirkan ekonomi yang kekurngan sementara sebelum denganku dia serba berkecukupan. "Susah kalau ngomong sama pria yang nikah muda, tapi ujung-ujungnya sering berantem sama istri," balasku langsung mengenai sasaran. Aku pun menunjukkan senyuman kemenangan. "Itu seni, seninya berumahtangga. Nggak berantem kapan kangennya." "Mana ada kangen berantem." "Kangen habis berantemnya dong. Ah, susah ngomong sama pria lajang. Belum tahu nikmatnya olahraga malam." "Sial," seruku hingga sebagian penghuni kedi kopi menoleh padaku. "Ih, mas Abram v****r," cicit Laras yang umurnya memang masih sangat muda. Aku memilih ke luar kedai daripada kepalaku berasap apalagi hati lagi resah macam lagu karena tak ada kabar dari Adistia. Aku pun berninisiatif menghubungi orang tuanya. "Halo, Bun." "Iya, Ganin." "Ibun apa kabar?" "Baik, kamu gimana? Lagi dinas?" "Alhamdulillah baik juga Bun. Iya saya sedang transit di Jakarta. Adis ada Bun?" "Ada, tapi dia belum mau ngomong katanya." "Tapi dia baik-baik aja kan Bun?" "Baik dalam artian sehat iya, tapi kalau perasaannya saya rasa enggak." "Maafin saya Bun." "Minta maaf sama Adis jangan sama Ibun." "Iya Bun, makasih mau ngangkat telpon saya." "Ya mau dong." "Ya sudah kalau Adis sehat, saya mau terbang lagi Bun. Minta doanya." "Selalu, selalu yang terbaik dan selamat untukmu. Fokus sama pekerjaanmu, tanggung jawabmu itu besar." "Baik Bun." Kuputuskan sambungan dan menatap pesawat yang akan kubawa. Kembali aku harus melewati rutinitas yang sama dan monoton. Laporan sebelum terbang, breafing, terbang lalu mendarat, dan laporan lagi. Tanpa Adistia hariku monoton plus hampa. Tepukan di bahuku membuatku menoleh, ternyata Abram lagi. "Kamu lihat pria di depan?" Abram menunjuk sosokku di kaca. "Pria 28 tahun, memakai seragam maskapai yang semua orang akan tahu hanya dengan melihat lambangnya, tampan, setia, berkecukupan dan aku yakin hanya untuk membeli cincin uangnya tak akan terlihat kalau berkurang karena aku yakin tabungannya mampu untuk membeli perumahan elit. Orang tuanya jelas bukan keluarga kekurangan. Lalu apa yang jadi pertimbangan dia lagi? Menunggu sampai bisa membeli pesawat? Perempuan tak butuh pesawat, perempuan hanya butuh dimiliki. Apalagi perempuan seperti Adis, aku yakin dia tak membutuhkan pesawat atau meminta langit," kata Abram pelan tapi tegas, lalu meninggalkanku yang mematung menatap sosokku sendiri yang terpantul pada kaca.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD