Four

1385 Words
"Besok jangan telat lagi!" seru Dian yang diangguki Prily. Kemudian wanita itu menaiki motor gigi yang menjemputnya di pinggir jalan. Prily memamerkan senyum jahilnya sambil mengedipkan sebelah matanya ke Dian yang saat ini tengah di jemput suaminya. "Apaan, sih!" serunya malu-malu sambil melambaikan tangannya dari atas motor. Wanita itu kemudian memeluk suaminya dan motor itu pun malaju. Prily sama sekali tak mengalihkan pandangannya dari punggung Dian hingga punggung wanita yang sudah menjadi ibu itu menghilang dari retina matanya. Gadis itu mengusap lengannya lalu mendengus, menuju motornya yang tadi di parkir di luar gebrang. Rencananya tadi Prily dan Dian ingin mengunjungi salah satu tempat makan yang cukup hits di dekat sekolah ini. Tujuan mereka kesana sebenarnya adalah memburu promo beli 1 gratis 1. Tentu saja Prily yang kantongnya pas-pasan ingin sekali kesana. Apalagi tempatnya yang terkebal bagus dan aesthetic membuat gadis itu ingin segera mengisi feed sosial medianya dengan foto-foto disana. Namun, rencana tinggalah wacana.  Ketika Dian meminta izin kepada suaminya—semenjak wanita itu menikah ia selalu meminta izin kepada suaminya, bahkan ketika mengejarkan tugas kelompok di rumah teman, benar-benar isteri idaman. Namun, Rendra, suami Dian tidak mengizinkan mereka pergi dan beralasan bahwa Yura, anak mereka sedang demam. Dian akhirnya meminta maaf dan berjanji akan menggantinya di hari lain. Prily pun mengatakan bahwa ia akan pergi bersama teman nanti agar Dian tidak merasa bersalah. Dan, berakhir Prily seorang diri sekarang. Ia tidak mungkin untuk pergi seorang diri kesana, yah, walaupun masa itu sangat ia rindukan. Apa-apa seorang diri, ia bisa pergi kemana pun tanpa harus menunggu orang lain. Namun itu dulu ketika ia masih Prily yang lemah dan tampak menyedihkan.  Prily yang sekarang bukanlah Prily yang dulu dan menurutnya pergi seorang diri tanpa siapapun nampak begitu menyedihkan. Dan, ia benci itu. Gadis itu mengambil kunci motornya dan melajukan sepeda motornya menuju rumah sahabat satu-satunya yang ia miliki. Prily meringgis ketika motornya baru sampai di kosan milih Abiya yang bisa dikatakan tak layak huni. Antara kos-kosan dengan yang lain hanya dibatas dinding kecil, tidak begitu nyaman sebenarnya karena orang di sebalah masih bisa melihat kita di dalam rumah. Hal yang membuat tak nyamannya lagi adalah penghuni kos-kosan ini kebanyakan wanita-wanita yang bekerja di club malam di depan sana. Tak jarang ada saja lelaki yang keluar masuk kesini walau kos-kosan itu khusus untuk perempuan. Bau amer. Dan jangan lupakan bahwa Prily pernah menemukan kondom di halaman tetangga kosan Abiya. Tok! Tok! "Biyaaa, Prily yang cantik datang!" serunya sambil menggedor-gedor pintu kosan Biya. Ia sudah mewanti-wanti Abiya untuk selalu mengunci pintu dan mengecek dari jendela terlebih dahulu jika ada yang bertamu. "Lo ngapain datang?" Prily memutar bola matanya ketika mendengar sambutan dari Abiya. "Enggak bawa apa-apa lagi," lanjutnya ketika Prily masuk ke dalam rumah. "Benar-benar ya lo, sahabat datang bukannya ditawari minum, ditanyain capek enggak malah kek mau ngusir," sahut Prily sambil merebahkan dirinya di kasur tipis berbulu yang dilatakan Biya di ruang tamu. "Emang lo suami gue?" tanya Biya berjalan menuju kamar. Tak lama kemudian wanita itu keluar dengan seorang bayi berusia satu tahun di gendonganya. "Ihh, anak Mami baru bangun tidur ya?" Prily bangun dan merentangkan tangannya ke arah Kenzo yang masih nampak mengedip-ngedip. "Huemmm." Gadis itu menghirup bayi yang ada dipelukannya. "Harum banget," ujarnya membuat Abiya menggeleng. "Gimana lancar jadi gurunya, Miss Pri?" tanya Abiya sambil menatap sahabatnya itu yang kini mengecupi kepala anaknya. "Not bad. Gue belum ngapa-ngapain disana, cuman numpang ngisi perut di kantin. Terus jalan-jalan ngacengin anak sma," ceritanya membuat Abiya yakin tidak ada hal yang bermanfaat dari penjelasan gadis itu. "Eh, serius deh, Anak lo enggak ada sedikit pun miripnya sama lo, Bi. Semuanya nyetak ayahnya yang bule," ujarnya sambil memperhatikan wajah Kenzo yang tidak ada sama sekali unsur pribumi di wajahnya. "Ckck, hati-hati lo, Bi. Nanti di kira Nanny-nya atau enggak tukang culik anak." "Sembarangan lo," kesal Biya namun dia menyetujui apa yang dikatakan Prily. "Huee..." Kenzo yang sudah sepenuhnya sadar kemudian menangis saat tidak ada berada di pangkuan ibunya. "Biya anak lo nangis, nih," ujar Prily memberikan Kenzo pada Biya. "Giliran nangis, pup anak gue. Giliran anteng anak mami, ck!" "100 untuk Bunda Biya," ujarnya tersenyum manis. "Eh, Bi, sepatu yang mau di endors itu kapan sampainya?" tanya Prily. "Yang mau ngendorse lo labil banget, jadinya dikirim ke kosan gue. Terus ada sama barang-barang yang lain juga, Pril. Udah gue siapin kertasnya tuh," ujar Abiya sambil membuka kancing dasternya ketika merasakan Kenzo memukul-mukul dadanya. "Nanti aja, deh. Mau bangun mood dulu," ujar Prily. Gadis itu tiba-tiba terkikik saat mengingat kejadian tadi di parkiran sekolah. Ah, mengingat pria itu mengucapkan hatinya ditumbuhi bunga-bunga.  Padahal baru diucapkan hati-hati, apalagi nanti diucapkan selamat malam, selamat pagi atau ijab qabul. Ah, demage-nya enggak ngotak. "Kenapa lo, Pril?" "Gue jadi inget Daddy, deh." "Lo jadi babysugar, Pril?!" tanya Biya heboh, bahkan Kenzo yang sedang nikmat mimi terkejut. "Duh, maafin Bunda ya sayang. Mami kamu tingkahnya gak pernah benar, aneh-aneh mulu," ujarnya mengelus dahi Kenzo dengan sayang. "Enggaklah Bunda Biya," sahut Prily. "Eh, padahal enak lho, Pril. Lo dapat uang jajan, apart, tas merek..." Biya menghitung-hitung apa saja yang didapatkan wanita yang beberapa hari lalu tenar di aplikasi video musik karena membuka identitas dirinya sebagai babysugar. Aw. "Lo sebenarnya dukung gue atau gimana, sih?" sahut Prily gemas. Ia kembali merebahkan tubuhnya di kasur berbulu itu.  "Yah, jangan sampe, deh, Pril. Amit-amit." Prily mengubah posisinya menjadi tengkurap dan menatap ke arah Biya. "Lagi pula gue takut di unboxing nanti," ucap gadis dua puluh tiga tahun itu "Enak lho, Pril," celetuk Abiya membuat Prily melotot memandang sahabatnya. "Eh, eh, siapa, sih, Daddy itu?" tanya Biya penasaran. Wanita itu tidak akan bisa diam jika rasa pertanyaannya belum dijawab. Lalu setelahnya Biya akan memberikan komentar yang membangun atau meruntuhkan dengan alasan yang jelas. Itu yang membuat Prily sangat sayang dengan Abiya. "Ayah siswa di sekolah gue," ujarnya. "Tapi, ini bukan bapak-bapak gendut ya, Bi. Masih muda, hot dan hemm... kaya." "Mundur, deh, lo," ujar Biya menggeleng. "Pril, ingat kalo dia punya anak, berarti dia udah punya isteri bahkan selir mungkin. Apalagi bentukan kayak lo sebutan tadi." "Bener juga, tapi gue mau cari tahu dulu, deh, Bi. Siapa tahu duda ya kan?" Gadis itu mengerlingkan sebelah matanya membuat Abiya mendengus. "Kayaknya lo benar-bener harus nikah, Prily," sahut Biya. "Nantilah, belum kaya," jawab Prily. "Emang lo enggak mau punya kayak gue?" tanya Biya sambil sambil menepuk-nepuk p****t Kenzo yang menyusu. "Apa? Tete yang punya susunya?" Biya speechless. "Anak, Pril, Anak." "Gue enggak segila lo ya, Biya. Yang nikahi anak bau kencur yang baru tamat sma demi bisa punya anak." "Terus dimana sekarang suami lo?" sambung Prily. Abiya menghendikan bahunya acuh. "Enggak tahu." Kadang Prily tidak tahu apa yang ada di pikirkan oleh Abiyana Syahcika. Wanita itu memang tidak memiliki sanak keluarga sebab dirinya dibesarkan di salah satu panti asuhan dan keluar ketika tamat SMA yang sama dengan Prily. Mereka berteman sejak di putih abu-abu namun Abiya tak melanjutkan ke jenjang kuliah karena dirinya ingin langsung bekerja. Dan setahun yang lalu temannya itu menikah dengan anak sma yang baru tamat. Prily sendiri tidak tahu apapun tentang pria itu kecuali wajahnya yang bukan orang sini dan namanya. Dan, saat Abiya dinyatakan hamil, lelaki itu pergi entah apa alasannya dan Abiya sama sekali tak menahannya. Benar-benar luar biasa! "Bi, lo enggak mau pindah kosan?" "Gue nyaman disini, Pril. Berapa kali gue bilang. Sewanya pun murah. Gue lebih bisa beliin banyak baju buan Enjo." Prily berdecak. "Ck, sampai kapan lo disini? Sampai terjadi sesuatu sama lo dan Kenzo?" Abiya diam tertunduk, menatap Kenzo yang kini melepaskan mulutnya dari p****g sang ibu dan menatap Biya polos. Jika berhubungan dengan anaknya, Abiya tak akan bisa menolak. "Lets move it. Kita tinggal sama-sama, cari kosan yang besar." "Biayanya, Pril," ingat Abiya. "Ada," ujar Prily. "Kalo udah habis pun, kita cari sama-sama, oke?" gadis itu sengaja merendahkan suaranya agar bisa meyakinkan Abiya. "Pindah ya?" bujuk Prily. "Oke, Pril,” angguk Biya akhirnya. Prily menganga lalu tersenyum lebar, ia bahkan bangkit dari tidurnya dan memeluk Abiya dan Kenzo sekaligus. Sebab sudah berapa kali ia mengajak Abiya pindah namun tak pernah digubris wanita itu. "Prily anak gue pengap..." "Kita nanti tidur bareng Enjo anak mami..." Prily tidak mau kehilangan mereka yang menjadi semangatnya. Dulu ketika is seorang diri, hanya mereka yang ada untuknya. Mereka yang sama sekali tak berhenti ketika semua orang menjauhinya. Menghardiknya seolah orang yang paling buruk di dunia.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD