Tettt! Tetttt!
Seharunya siswa-siswa di kelas itu sudah berhamburan keluar saat jam pelajaran telah berakhir dan bel istirahat berbunyi. Namun, tidak ada satu pun dari mereka yang beranjak dari tempat duduk. Suasana di kelas pun menjadi hening dan sunyi.
Tatapan mereka semua tertuju ke arah sosok wanita dengan tubuh bergetar di meja guru. Seorang mahasiswa yang sedang melakukan praktik pengalaman lapangannya (PPL) di kelas mereka.
"Te-terima kasih untuk hari ini dan maaf," ujar wanita muda itu menegakan kepalanya memandang ke arah seluruh kelas, matanya beberapa kali mengerjap berusaha menghalau air matanya yang hendak jatuh. Wajahnya nampak menyedihkan karena tetap berusaha tersenyum walau hatinya hancur lebur.
"Miss permisi. Kalian boleh istirahat."
"Thank you, Miss!" seru anak-anak kelas itu kompak.
Setelah wanita itu keluar, kelas menjadi ribut dengan bisik-bisikan yang mengarah ke bangku paling ujung nomor dua. Pada seorang gadis yang sama sekali tidak peduli walau setiap orang di kelas ini sedang menggunjingkan dirinya. Kecuali Gendis, teman sebangkunya.
"Ci, lo enggak keterlaluan?—enggak, lo udah benar-benar keterlaluan." Gendis menutup buku cetak Bahasa Inggrisnya. Ia sengaja untuk tidak menyimpannya di dalam tas karena setelah ini masih ada pelajarannya.
Pricilia berdecak. "Ckk, dia aja kali yang baperan."
"Bisa-bisanya ya lo sama. sekali enggak bersalah kayak gini," ujar Gendis. Raut wajahnya terluka, walau bukan dirinya yang merasakan itu namun ia tahu betul seperti apa ia jika diperlakukan seperti itu. Hancur. "Miss Dian baper wajar, gue juga suka beper. Karena dia punya hati dan perasaan. Enggak kayak lo enggak punya hati sama perasaan."
Gerakan tangan Pricilia yang hendak menutup kotak pensilnya terhenti. Ditatapnya Gendis yang kini juga menatapnya lalu dialihkan ke arah teman-teman kelasnya yang sedang berbisik sambil melihat ke arahnya.
Apa dia salah karena membentak wanita itu karena sudah beberapa kali melakukan kesalahan? Pertama, dia salah membawakan tema pelajaran hari ini. Kedua, Pricilia sama sekali tidak mengerti apa yang diajarkannya karena wanita itu nampaknya belum menguasi bab ini. Ketiga, Pricilia menggebrak meja karena pertanyaannya dijawab salah oleh Miss Dian.
"Terus gue harus diam aja kalo jawabannya salah?" tanya Pricilia.
Gendis menggeleng tak habis pikir. Rasanya semua yang diutarakan Pricilia adalah alasan untuk membela dirinya sendiri yang sia-sia, gadis itu tahu bahwa dirinya salah. Namun tetap menyangkal.
"Kalo lo tahu jawabannya kenapa masih tanya." Gendis kemudian mengalihkan pandangannya ke arah pintu kelas dimana ada Oceana telah menunggu. "Terkadang lo harus ngelihat pake hati untuk ngelihat sesuatu, jangan selalu pake mata. Lo enggak lihat kalo wajah Miss Dian tadi yang lelah? Persetan dengan profesionalitas. Gue sebagai siswa aja masih sering malas dan enggak bikin tugas."
"Lo enggak dengar beberapa kali dia bilang maaf? Lo enggak lihat dia berusaha untuk menerangkan pelajaran? Lo enggak lihat dia berusaha untuk menjawab pertanyaan lo sebisa dia?"
"Terus gue yang salah?" tanya Pricilia yang sudah kesal dengan perkataan Gendis.
"Gue enggak berhak bilang perbuatan lo salah, cuman diri lo yang tahu," jawab Gendis. Dia kemudian bangkit dari bangkunya. Kali ini ia tak akan mengajak Pricilia untuk ke kantin seperti biasanya.
"Tahu enggak Ci? Gue bangga banget rasanya jadi teman lo. Cia itu keren, pintar, cantik dan banyak lagi yang hebat dari lo," ungkap Gendis. "Tapi makin kesini gue ngerasa lo adalah yang terburuk."
"Pergi! Pergi! Awas aja lo nyontek sama gue!" seru Pricilia dengan nada sedikit tinggi.
"Gue enggak akan pergi karena ini bangku gue. Dan gue enggak peduli lagi dengan kesempurnaan lo."
Gendis kemudian pergi meninggalkan Pricilia yang terdiam di bangkunya. Gadis itu mengepalkan kedua tangannya di bawah meja ketika melihat teman sebangkunya pergi bersama Oceana tanpa mengajaknya. Mereka akan makan bersama tanpanya. Menyedihkan.
Tidak ingin membuatnya terlihat menyedihkan, Pricilia bangkit dari bangkunya dan menuju keluar ketika kelas telah sepi. Kepala gadis itu menoleh ke kiri ke kanan ketika bingung ingin pergi kemana. Ia tidak mungkin ke kantin lalu duduk di seorang diri. Itu akan membuatnya seperti seorang nolep—no life.
"Ckk," decaknya. Ia kemudian memutuskan untuk menuju ke gerbang sekolah yang terbuka saat keluar main. Ada sebuah warung yang menjual makanan ringan serta minuman disana.
Pricilia memutuskan untuk membeli minum dan beberapa roti lalu akan memakannya di taman.
Setelah mengambil apa yang ia butuhkan, Pricilia membawanya ke arah ibu-ibu yang nampak memiliki toko ini. "35 ribu, neng."
"Sebentar, Buk." Pricilia meraguh saku depanya. Tidak ada. Saku roknya, tidak ada. Sialan! Ia lupa membawa dompet.
"Em, Buk. Saya lupa bawa uang, nanti saya kesini lagi. Belanjaannya titip disini dulu."
"Nanti aja bayarnya, neng, waktu pulang sekolah," ujar Ibu itu membuat Pricilia heran. Apa ibu itu tidak takut ia nanti tidak kesini saat pulang sekolah dan kabur?
"Kamu kelas sepuluh ipa ya?" tanya ibu itu ketika melihat bet di bawah pundaknya.
"Iya, Bu. 10 Ipa 1."
"Em, ibu bisa minta tolong enggak?" tanya ibu itu ragu-ragu.
"Tolong apa, Bu?" Sebenarnya Pricilia sangat malas, ia ingin segera ke taman untuk mengisi perutnya lalu kembali ke kelas dan pulang dengan cepat. Namun karena ibu ini sudah berbaik hati untuk menunda bayaran belanjaanya karena dompetnya tertinggal. Ia tidak mungkin menolak.
"Tolong anterin bekal untuk anak Ibu. Di kelas 10 ipa juga kok," ujarnya sambil mengambil sebuah tempat bekal berserta air minum. "Ini namanya ada disini ya, neng." Ibu itu meletakan sebuah kertas di atasnya lalu berterima kasih pada Pricilia.
Gadis itu mengangguk lalu meninggalkan warung itu dengan bekal plus air minum dan tak lupa belanjaanya.
Pricilia sedikit terkekeh karena sudah setua ini masih saja dibawakan bekal. Cowok pula. Pricilia tidak bisa membayangkan wajah memerah malu pria itu karena masih dibawakan bekal.
"Eh, Pricil. Baru belanjan ya?" tanya seorang kakak kelas bersama rombongannya yang berpapasan dengannya ketika menuju kelas.
"Iya," ujarnya dengan senyum kecil.
Kakak kelas itu tiba-tiba berseru sambil membanggakan dirinya pada teman-temannya. Dan, gadis itu memutar bola matanya ketika sudah cukup jauh dari sekumpulan kakak kelas itu.
Sesampainya di koridor kelas sepuluh, tepatnya di kelasnya yang berada di paling awal. Pricilia sedikit mengintip ke kelasnya, Gendis dan Oceana belum kembali. Gadis itu langsung menggeleng-gelengkan kepalanya. Untuk apa ia peduli?
Ia kemudian mengambil kertas yang ada di bekal itu. Dan, detik itu juga Pricilia memelotokan matanya ketika melihat nama yang tertera pada kertas itu.
Kanaka Nathanael.
"Hah."
Pricilia lupa cara bernafas ketika membayangkan dirinya akan bertemu dengan lelaki yang sudah membuatnya tak lagi bisa memandang lelaki lain. Ia sudah beberapa kali mencoba untuk melupakannya namun tetap tak bisa. Ia sudah berusaha untuk menaruh perasaannya pada kakak kelas yang ia temui saat pengenalan lingkungan sebagai pelampiasan. Namun, lelaki itu malah menembak Oceana. Ck.
Ia tidak sakit hati sebenarnya, cuma kesal kenapa cowok itu memilih Oceana?
Prily tersadar dari lamunannya ketika melihat beberapa temannya yang sudah masuk ke dalam kelas membuatnya ingat bahwa mungkin jam istirahat sebentar lagi akan habis.
Ia tahu Kanaka Nathanael.Parfum yang cowo itu kenakan berwangi citrus yang segar. Berada di kelas 10 ipa 7. Paling ujung. Duduk paling depan sekali, dua meja dari pintu kelas.
Gadis itu menimbang-nimbang untuk mengantarkan bekal ini atau membuangnya di tempat sampah. Tapi, nanti ketika ia membayarkan belanjaanya bagaimana? Ia harus menjawab apa nanti? Lalu bagaimana laki-laki itu lebih dulu sampai ke ibunya lalu mengatakan bahwa ia tidak mendapatka bekal. Bagaimana jika lelaki itu membencinya?
"Oke, rilex, Cia. Lo datang ke kelasnya, terus lo kasih ke orangnya. Enggak-enggak!" Gadis itu menggeleng-gelengkan kepalannya. "Lo datang ke kelasnya, pura-pura nanya yang mana namanya Kanaka. Terus lo kasih. Yeah. Itu lebih baik."
Pricilia menghembuskan nafasnya panjang lalu membawa bekal itu melewati koridor. Matanya memandang tajam ke depan, penuh konsentrasi. Sapaan dari orang lain ia hiraukan. Ia bahkan sama sekali tidak mengomentari ketika ada kakak kelas perempuan yang wajahnya putih dan lehernya hitam lewat di depannya.
Detak jantungnya tiba-tiba meningkat ketika berada di depan kelas Kanaka—atau nama panggilan dari Cia, Kaka.
"Eh, Pricilia? Kenapa?" Apa cuman dia yang tak mengenal mereka, namun mereka mengenalnya. Seperti kakak kelas tadi contohnya dan lelaki yang menjadi teman sekelas Kaka ini.
"Ehm, ada Kaka?" tanya gadis itu lalu dengan cepat menggeleng. Ia pura-pura mengambil kertas itu dan membacanya. "Maksudnya Kanaka Nathanael?"
"Oh, ada," ujar teman sekelas Kaka. Pricilia mengalihkan pandangannya ke arah dalam kelas. Tidak ada. Selama dirinya bolak-balik ke wc dan melewati kelas ini hanya demi melihat Kaka. Ia tahu lelaki itu tidak suka bergaul dengan temannya. Ia selalu duduk di bangkunya sambil membaca buku. Apakah pria itu antis dan kutu buku?
"Mana?" tanya Pricilia tak melihat Kaka di kelas ini.
"Itu." Tunjuknya ke arah belakang Pricilia.
Dahi gadis itu mengerut, tidak mengerti. Kenapa otaknya menjadi lalot seperti. ini hanya karena bertemu pria itu? Namun, ketika Pricilia menoleh ke belakang, gadis itu meneguk ludahnya susah payah dan sedikit memundurkan langkahnya.
"Ka, tuh, Pricilia nyariin lo."
"Prisilia? Siapa?"
Lelaki itu tak mengenalnya dan salah menyebut namanya. Sialan! Batin Pricilia.
"Gue mau ngantar bekal dari ibu lo," ujarnya dengan berusaha mempertahankan nada suaranya. Ia kemudian menyerahkan bekal itu.
"Wah, tiga serangkai kumpul lagi ya?" tanya pria yang tadi menjadi teman kelas Kaka.
Tiga serangkai? Pricilia baru menyadari bahwa ada dua orang wanita disamping pria itu. Gendis? Oceana?
"Cia?" itu Gendis.
"Oh, ini Pricilia yang kamu ceritaiin itu ya, Ndis?" tanya Kaka membuat Cia menoleh ke arahnya. 'Ceritaiin itu' yang seperti apa? Yang dia membentak guru ppl?
Brakkk!
Pricilia melepaskan tangannya dari bekal itu dan ternyata belum sampai di tangan Kaka. Bekal itu berhamburan di lantai. Nasi-nasi serta lauk yang berisi ayam goreng dan sayur asem tercecer di lantai.
"Oh, maaf," ujar Pricilia ketika bekal itu jatuh. Gadis itu memasang wajah datarnya lalu pergi dari sana.
"Cia, cia!"