Six

1601 Words
"Udah nangisnya disimpen lagi, Di." "Hikss— gue mau berhenti tapi enggak bisa hikss—Pril. Gimanaaa hiks?" Priky yang berada disamping Dian itu menjadi  bingung sendiri namun tetap mengusap lembut bahu wanita itu agar dapat menenangkannya.  "Lo gue pesenin ojol aja ya? Biar pulang?" tanya Prily sambil mengambil ponselnya dari saku almamaternya.  "Tapi, gue masih harus ngajar di kelas itu Pril," ujarnya masih terisak. "Biar gue aja yang gantiin, deh." Prily mengambil tisu dari tasnya ketika tangis Dian perlahan reda dan menyisahkan bekas air mata. "Emang lo-nya masih sanggup ngajar di kelas itu?" Setelah menunggu beberapa menit akhirnya Prily mendapatkan driver ojek online dan tinggal menunggu kedatanganya. Ia pun kembali menatap Dian yang terdiam. "Lagian kenapa lo enggak izin, sih, kalo Yura lagi sakit?" tambahnya. "Ini hari pertama gue ngajar, Pril. Masa udah izin?" Prily berpikir sebentar lalu mengangguk setuju, benar juga apa yang dikatakan Dian. Pasti mereka akan mendapatkan gunjingan jika di hari kedua masuk—hari pertama mulai mengajar sudah izin. "Itu jidat lo kenapa?" tanya Prily sambil menujuk lebam yang ada di dahi Dian. Tidak terlalu terlihat jika dari kejauhan karena warnanya sudah sedikit memudar namun Prily yang berada disampingnya bisa melihat itu dengan jelas. "Eum, kepentok lemari tadi malam waktu gendong Yura." Diam-diam dalam hati Prily merasa prihatin dengan keadaan Dian. Wanita itu seorang isteri sekaligus ibu dan juga seorang mahasiswi yang sedang menjalani PPL. Tak terbayang bagaimana capeknya menjadi Dian. Prily juga yakin bahwa tangis wanita itu tidak sepenuhnya karena masalah ini, Dian tak selemah ini. Apa tangis itu adalah simbol tumpukan kelelahannya? Saat bel jam istirahat berbunyi, Prily yang baru saja selesai mengajar di kelas IPS sebab menggantikan guru yang sedang berhalangan terkejut melihat Dian dengan tubuh bergetar melewatinya begitu saja dengan kepala menunduk. Prily yang merasa ada tak beres, segera menarik tubuh wanita itu menuju taman. Dan, pecalah tangis Dian ketika Prily menanya ada apa dengan dirinya. Wanita itu ternyata mendapatkan perilaku yang tidak menyenangkan dari muridnya.  Dian juga menambahkan bahwa tadi malam demam Yura bertambah panas. Setelah dibawa berobat, bayi itu tak ingin lepas dari pelukan ibunya. Wanita itu baru bisa berisirahat ketika pukul satu malam. Tetapi tidak ada waktu untuk tidur. Dian yang tahu besok ia akan mulai mengajarnya, menyempatkan dirinya untuk membuka materi. Naasnya mungkin karena mengantuk dan sedang lelah. Dian salah mempelajari ulang materi yang akan ia ajarkan di kelas itu. Dan saat hendak berangkat kuliah, Yura menangis keras tidak mau ditinggal. Namun, Dian berusaha menguatkan hatinya untuk meninggalkan Yura. Suhu tubuh anaknya sudah membaik dari malam tadi sehingga ia bisa sedikit mengurangi kekhawatirannya. Namun, Rendra—suami Dian melihat itu dengan pandangan yang berbeda. Ia memarahi Dian dan mengatakan bahwa wanita itu lebih mementingkan pendidikan daripada anaknya sendiri.  "Enggak habis thinking gue sama suami lo. Udah tahu isteri mau kuliah, lulus dengan cepat, banggain dia. Eh, malah dibilang enggak peduli sama anak. Coba nanti siapa yang bangga kalo punya isteri sarjana?" "Mas Rendra mungkin lagi capek aja, Pril. Jadi asal ngomong," bela Dian membuat Prily jadi mengingat sinetron isteri-isteri teraniya yang sering tayang di televisi. Sudah tahu bahwa ada yang tidak sehat dalam rumah tangganya tetapi masih saja dipertahankan. Susah memang kalo satunya berjuangan keras untuk membangun namun satunya lagi sibuk menghancurkan. "Terus kalo nanti suami lo selingkuh, pasti lo maafin dan bilang dia khilaf aja," ujarnya sambil cemberut. Entah kenapa ia yang jadi kesal sendiri. "Amit-amit, Pril," kekeh Dian. "Capek ya jadi ibu terus isteri plus mahasiswi?" tanya Prily tiba-tiba. "Capek tapi seru, Pril. Mas Rendra sebenarnya pengen gue di rumah aja, jaga Yura. Tapi, gue pengen banget nyelesain kuliah, Pril." Tidak ada yang bisa menghalangi mimpi seorang perempuan jika sudah bermimpi. Dan, Prily tahu seberapa besar perjuangan wanita itu hingga sekarang bisa disini bersamanya. Dian tetap semangat berkuliah walau tertinggal satu semester sama sepertinya.  Prily kemudian bangkit dari bangku taman, ia mengancingkan lagi almamaternya tadi yang sempat terbuka. Rambutnya ia tap-tap dan rapikan sebelum tersenyum lebar. "Udah, lo pulang aja. Biar gue yang gantiin lo."  "Beneran, Pril?" tanya Dian tak enakan. Sudah berapa kali ia menyusahkan gadis itu. "Iya, endors lagi sepi. Jadi gue free hari ini." Gadis itu kemudian tersenyum lebar dan melambaikan tangannya saat ia mengantarkan Dian hingga pintu gerbang. Setelah itu masih dengan senyum mengembang, Prily Seana berjalan menuju meja yang diberikan sekolah ini untuk anak PPL.  Setelah mengambil buku-buku serta daftar absen yang tadi dititipkan Dian padanya, gadis itu melangkahkan kakinya menuju kelas yang berada paling ujung. Sebelum mereka mulai mengajar, memang banyak guru-guru di sini yang memberikan mereka wajengan jika mengajar di kelas 10 IPA 1  untuk lebib sabar. Kelak itu berisi siswa-siswi yang pintar dan sangat kritis serta rasa ingin tahu yang begitu besar. Jadi jangan terkejut ketika mereka belum mau menurunkan tangan jika rasa penasaran mereka belum hilang. Prily yang tadi kedapatan mengajar di kelas 10 Ips entah berapa dia lupa. Berhasil membuat kelas itu berhenti ribut dengan senyumannya. Kelas yang kebanyakan jumlahnya adalah siswa laki-laki  itu saja menjadi sibuk menggodai Prily sedangkan yang siswi perempuan sibuk meminta selfie karena bertemu dengan seorang selebgram. Gadis itu kemudian berjalan santai melewati koridor kelas yang telah sepi, setiap kelas yang ia lewati pasti akan bersorak riang. Namun semakin keujung sorakan dari kelas itu berkurang karena siswa-siswi di kelas itu sangat fokus belajar, hingga akhirnya ia sampai di kelas 10 Ipa 1. Gadis itu melangkahkan kakinya yang berbalut heels masuk ke dalam kelas. Terdiam sebentar karena menunggu sesuatu. "Hmm," dehemnya. Ia kemudian kembali keluar kelas dan tak lama masuk lagi. Namun ia tidak mendengar apa yang tadi ia tunggu-tunggukan. Siswa-siswi yang ada di kelas itu menjadi bingung sendiri ketika melihat Prily berjalan keluar masuk ke dalam kelas mereka.  "Ini enggak yang bilang wah-wah atau sorak gitu?" tanya Prily menatap penghuni kelas yang kini mentapnya tajam dan penuh konsentrasi. Gadis itu kemudian melirik baju yang ia kenakan, tidak ada soal ujian atau soal quis, kanapa mereka seperti kelaparan menatapnya? "Good morning student!" "Afternoon, Miss," kompak siswa kelas itu membuat Prily melirik jam di tangannya yang menujukan pukul satu. Sial, memang sudah siang. Prily berdehem, pura-pura tidak panik padahal sebenarnya sedikit takut. "Kalian ternyata peka juga ya? Kalo pukul tujuh malam apa?" Alibi Prily. "Good evening," jawan murid-murid itu malas-malasan. "Good," puji Prily mengembangkan senyumnya. Ia buru-buru menuju meja guru lalu meletakan semua buku diatas sana. Kemudian berdiri dengan sempurna di depan kelas. Tunggu, apa berada di sini membuat Prily tampak gendut?  Apa dia perlu geseran sedikit ke kiri? Jadi lansing tidak ya? "Ehm, disini enggak ada yang kenal, Miss?"  Mereka semua kompak menggeleng. Prily sedikit menahan diri untuk bereaksi berlebihan. 200 ribu pengikutunya tidak ada diantara siswa-siswi ini? Astaga! Tiba-tiba ada yang mengangkat tangan membuat Prily menghela nafasnya lega, ia yakin gadis yang duduk di bangku paling depan itu tahu tentangnya. "Miss terlambat masuk kelas lima menit dua puluh detik," ujarnya membuat Prily ingin menangis. Hanya lima menit dan entah berapa detik?! Apa gadis itu tahu berapa waktu yang ia butuhkan untuk membuat alis yang sempurna? Tiga puluh menit! Namun, karena sekarang dia adalah guru disini, sosok yang menjadi contoh. Prily kembali menahan diri dan tersenyum manis. "Sorry ya, tadi Miss ada kendala." “Apa sudah ada yang mengingat Miss?” Prily berdecak dalam hatinya, apa anak-anak itu tidak punya sosial media sampe tak mengenal Prily? Gadis itu kemudian mengambil spidol di atas meja lalu menulis namanya besar-besar dan tentu saja akun sosial medianya. "Miss, kami mau belajar." "Kita perkenalan dulu, dong," jawab Prily kepada seorang siswa lelaki yang tadi protes. "Itu enggak perlu, Miss," jawabnya lagi yang membuat dahi Prily mengerut. "Tak kenal maka tak sayang," kata Prily sambil berjalan santai menuju meja. "Lagi pula gimana kalian belajar sesuatu tapi enggak tahu siapa yang ngajarin? Kalian mau belajar menanam pohon eh tahunya itu seorang penebang pohon?" Kelas itu seketika terdiam. Lelaki yang tadi protes nampak kesal karena tidak bisa menjawab pertanyaan Prily. "Miss menyebut diri dengan sebutan Miss? Lalu buku yang miss bawa adalah buku bahasa inggris lalu ini masih jam pelajaran bahasa inggris," ujar seorang gadis tiba-tiba yang duduk di bangku nomor dua dekat dinding. "Yang bilang Miss deluan siapa? Kalian kan? Lalu buku ini, emang guru bahasa indonesia enggak boleh bawa buku bahasa inggris? Terus emang miss kesini mau ngajar kalian?" Pricilia terdiam ketika mendapat balasan itu dari Prily yang berada dibdepan sana. Dan Prily tertawa dalam hatinya karena berhasil membalaskan untuk Dian. Hahah. Dia tahu kalo Pricilia yang membuat Dian menangis. "Tapi, tebakan kalian benar. Miss ngajar Bahasa inggris dan akan menggantikan Miss Dian." "Miss Dian enggak papa, Miss ?" tanya seorang siswi yang duduk di depan meja. Disamping gadis yang tadi mengingat Prily tentang keterlambatannya. "Emang Miss Dian kenapa?" tanya Prily balik. Ia seolah pura-pura tidak tahu apa yang terjadi. Semua yang berada di kelas sontak melihat ke arah Pricilia. "Eungg, enggak jadi, deng," sahut siswi itu lagi. "Oke, kita lanjutin pelajaran tadi. Miss Dian udah ngajar batas mana?" tanya Prily mendekat ke arah salah satu meja. Materi kelas ini adalah expressing happiness. "Berarti definisinya udah ya, jadi tinggal praktik lagi." "So now, Miss wants you practice to use expressing happiness," ujar Prily. "Kita bikin jadi semacem dialog, jadi butuh dua orang. Sia—" belum selesai Prily mengucapkannya Pricilia Seana sudah mengangat tangan membuatnya mendengus. "Siapa yang mau?" Seluruh siswa-siswi di kelas itu mengangkat tangan mereka membuat Prily sedikit terkejut.  "Wow, impressive," sahut Prily mengangguk-angguk. Namun Prily yang belum puas mengerjai Pricilia, mempunyai banyak ide untuk membalas anak itu. "Oke, itu ya.." tunjuk Prily pada Pricilia. "Me?" tanya Pricilia. Gadis itu tersenyum lebar dan percaya diri. "Bukan, tapi samping kamu," jawab Prily membuat Cia mendelik. "Terus yang cowok di depannya jadi pasangannya," lanjut Prily sambil menahan tawanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD