"Hai, Gendis, you look so happy today? What's up?"
"Yeah, Refan. Finally my weight is down 2kg!" seru Gendis bersemangat seolah-olah itu benar terjadi dan membuat seisi kelas terkekeh. Gadis yang menjadi teman sebangku Pricilia itu memang suka melemparkan guyonan dan candaan yang lucu sehingga banyak orang yang ingin berteman dengannya.
"Thats goods!" kata Refano, lelaki tampan yang menjadi teman dialog Gendis. Ia kemudian menatap gadis itu lekat membuat yang siswa-siswi disana termasuk Prily sedikit terpana seolah sedang menonton sinetron. "I know your struggle... but please do not bee too hard. You are sweet with you right now."
"ACIEE-ACIEEE!" seru Prily membuat suasana kelas menjadi sedikit gaduh.
"Jangan mau, Ndis. Kemaren Miss lihat Refano gonceng cewek lain," kata Prily membuat tawa di kelas itu makin ribut. Gendis yang pipinya sudah bersemu merah akhirnya kembali duduk di bangku disusul Refano.
"Oke, lanjut. Siapa lagi yang mau?" tanya Prily sambil tersenyum. "Oh, ya, untuk Gendis dan Refan udah bagus. Good joob!" Mungkin karena lelah tertawa, tidak ada lagi yang mengangkat tangan dan memilih untuk menjadi penonton saja.
"Miss aku!" seru Pricilia kembali mengangkat tangannya begitu tinggi dan bersemangat. Semua yang ada di kelas itu hanya menatapnya biasa karena sudah hapal watak dari seorang Pricilia Savana Tatjana. Ambius dan tak mau mengalah.
Karena tidak ada lagi yang mengangkat tangan, akhirnya Prily dengan tak ikhlas menujuk Pricilia. Padahal ia tidak ingin menunjuk gadis itu karena membuatnya terlihat memalukan di depan Papanya. Ah, sedang apa ya pria itu sekarang?
"Ya, Pricilia. Siapa yang mau jadi temannya?" tanya Prily memandang ke seluruh kelas. Mungkin yang dimaksud Prily disini adalah teman dialog. Namun, tidak ada satu pun yang mengangkat tangan. Suasana kelas tiba-tiba menjadi hening dan sepi.
Prily yang berada di depan kelas menjadi heran saat melihat semua siswanya. Mereka semua mengalihkan pandangannya darinya, seperti takut untuk ditunjuk? Apakah Pricilia begitu mengerikan hingga tidak ada yang menjadi teman dialognya? Ternyata tidak hanya dirinya berpendapat seperti itu. HAHAHA.
"Siapa yang mau? Yuhuuu!" seru Prily lagi ketika belum ada yang mengangkat tangan. "Kan kasian itu Pricilia-nya udah berdiri lama, ayo siapa yang mau?" lanjutnya membuat Pricilia yang mendengarnya berdecih. Ia tidak suka dikasihani seperti ini. Jika bisa seorang diri, ia akan berdialog seorang diri.
"Saya Miss!"
"Ayo—" Prily merasa tubuhnya membeku ketika melihat seseorang yang mengangkat tangan itu. Dadanya terasa sesak seakan udara yang yang ada disekitarnya dihisap kuat oleh lubang hitam. Ketika tatapan mereka bertemu, Prily seperti kembali ditarik ke masa lalu yang begitu menyedihkan. Orang-orang yang ia kira adalah keluarganya, ternyata tak lebih dari orang asing yang kebetulan berbagi darah dengannya.
Prily dengan cepat mengalihkan pandangannya ke arah mana saja, asal tak melihat sosok itu. Luka lama yang sudah berusaha untuk ia pendam terasa sia-sia. Kenapa sakitnya masih terasa seperti pertama kali? "Ayoo siapa lagi?" tanya Prily dengan nada bergetar. Sial, ia tidak pernah bisa baik-baik saja mengingat itu.
"Miss itu Oceana angkat tangan." Seorang siswi memberi tahunya membuat Prily berusaha menguatkan hatinya. "Ah, itu.."
"Akuu Miss!" tiba-tiba seorang gadis yang beada di barisan ke dua angkat tangan.
"Miss pengen lihat keaktifan barisan kedua dulu ya," alibi Prily membuat siswa-siswi di kelas itu mengangguk menggerti.
Pricilia yang awalnya senang karena tidak jadi berdialog dengan Oceana, menjadi bertambah kesal ketika melihat siapa yang akan menjadi teman dialognya. Teman? Gadis itu tak sudi berteman dengan Ratu. Mulut wanita itu sungguh menyebalkan karena tak berhenti membicarkan keburukan orang lain.
Tentu saja Pricilia berbeda dengan Ratu. Ia akan mengeluarkan mulut berbisanya hanya pada orang-orang yang mencari masalah dengannya. Seperti Deon yang membuka ponsel dan membaca chat-nya sembarangan, membuat ia mengamuk dan membanting ponsel itu di kelas. Lalu Petricia yang hanya menyontek padanya lalu menyebarkannya pada semua orang.
Pricilia tidak akan menganggu orang-orang yang tidak tidak mencari masalah dengannya. Hidupnya sudah rumit dan ia tak peduli dengan hidup orang lain.
"Hello, Princess ambisius or princess selfish?" sapa Ratu membuat seisi kelas menjadi tegang. Mereka semua tahu bahwa gadis itu baru saja menabuh genderang peperang.
"Hai, bitcis!" sapa balik Pricilia membuat semua orang di kelas menganga.
Wajah Ratu perlahan memerah namun tetap berusaha tersenyum. Dan, itu membuat Pricilia ingin sekali membuat gadis itu menjadi emosi. Salah siapa cari perkara dengannya?
"Miss, enggak dipisah?" bisik seorang siswi yang perasaannya tak enak karena aura mengerikan dikeluarkan dari keduanya. "Enggak papa, mereka kayaknya akrab," jawab Prily santai.
Padahal dia sendiri bisa mencium aroma peperangan yang begitu sengit.
"Wow, you have a new phone?" tanya Cia, dia tidak ingin berlama-lama berbicara dengan Ratu gosip itu, setelah ini ia akan memuji dan mengucapkan selamat atas ponsel baru yang gadis itu dapat. Selesai.
"Who are you asking me like that?" tanya balik Ratu membuat Cia ingin sekali berkata kasar. Pricilia berdecak, kenapa tukang gosip itu malah memperlambat obrolan ini?
"Hore! You have new phone!" kata Cia berpura-pura bahagia namun terlihat jelas ia malas sekali dan mau dialog ini cepat berakhir.
"Kenapa? Lo pengen punya ponsel kayak gue? Ck, emang lo mampu?"
Pricilia yang sudah duduk di bangkunya menoleh, matanya melirik sinis ke arah Ratu yang masih berdiri di mejanya lalu memalingkan pandangannya ke arah depan dengan tak peduli. Tak lupa dengusan yang membut Ratu kesal karena diabaikan.
"Tau enggak guys? Dia udah ngerebut cowok gue!" seru Ratu sambil menunjuk-nunjuk Pricilia.
Brak!
Habis sudah kesabaran Pricilia. Ia menggebrak meja dengan cukup kuat dan kembali berdiri. "Siapa emang cowok lo? Sorry, sangking banyaknya yang suka sama gue, jadi enggak ingat," balas Pricilia membuat Ratu menganga.
"Lah emang situ cantik?" balas Ratu melipat kedua tangannya di depan d**a.
"Cantiklah," serunya. "Cowok lo aja suka sama gue," katanya sambil tertawa mengejek.
Ratu yang mendengar itu terdiam, namun tangannya mengepal karena merasa kalah dengan ucapan Pricilia. Ia kemudian mengambil botol minumnya yang tinggal setengah berada di atas meja dan melemparnya ke arah Cia.
Tak sempat mengelak, botol minum itu mengenai dahi Pricilia membuat suasana kelas menjadi gaduh.
"Miss, gimanaa?!" tanya siswi itu yang panik.
Prily yang orangnya mudah panik jika melihat orang lain panik menjadi bingung sendiri. "Kalian semua ke BK!" serunya.
——-
"Ada apa ini sebenarnya?" tanya Amalia, guru BK sekolah ini. Tepatnya untuk siswa kelas sepuluh. Ia menatap Prily dari atas hingga ke bawah membuat gadis yang tatap itu menjadi risih. Padahal dia hanya mengenakan rok selutut yang mencetak bagian bawah tubuhnya dan kemeja bewarna putih.
"Mereka berantem, Bu," ujar Prily apa adanya.
Saat ini mereka berada di ruangan BK dan Prily menyesal membawa keduanya kesini. Bukannya mendapat pertolongan, keduanya malah disuruh duduk di sofa yang berhadapan. Bagaimana jika mereka nanti berkalahi lagi?
"Saya sudah menghubungi Papa kamu, Pricilia," ujar Amalia sambil mengarahkan pandangannya pada Cia yang menatap tajam Ratu di hadapannya.
"Dan, Ratu, saya masih mencoba menelpon kedua orang tua kamu namun tidak diangkat. Apa itu benar nomor telepon kedua orang tua kamu kan?" tanya Amalia membuat Ratu mengangguk sambil membalas tatapan Pricilia tak kalah tajam.
Prily yang mendengar bahwa Papa dari Pricilia akan datang tersenyum lebar. Gadis itu mengabaikan keduanya dan dengan cepat mengambil kaca kecil berbentuk bulat yang ia sisipkan di saku almamaternya. Sip, batinnya ketika merasa sudah cukup baik untuk bertemu kembali dengan sang Papa. Aw.
Tak lama kemudian pintu ruangan BK diketuk dan masuklah Pradipta yang mengenakan jas hitam membalut tubuh gagahnya. Wajah pria itu nampak panik dan sedikit berkeringat, terlihat jelas bahwa ia belari menuju kesini. Jika diizinkan, Prily ingin sekali mengelapnya.
Prily yang merasa Pradipta akan duduk disampingnya sedikit bergeser.
"Silahkan duduk disamping Pricilia Pak Dipta," kata Amalia. Sialan! Bantin Prily sambil menatap ke arah Amalia.
Pradipta mengangguk, ia kemudian duduk di samping anaknya. Dahi Pricilia nampak tidak baik-baik saja. Namun, yang paling penting apa yang membuat anaknya seperti ini sekarang. Siapa yang salah disini? Tapi, apa pun yang diperbuat anaknya ia akan membela anaknya selalu. Lalu tatapannya kemudian teralih ke arah seorang gadis yang berada dihadapannya? Apa gadis itu yang menjadi lawan anaknya? Apa dia memiliki pengacara yang baik?
"Mau kemana, Miss Pricilia? Urusan anda belum selesai, anda harus bertanggung jawab disini," ujar Amalia ketika melihat Prily hendak bangkit dari sofa.
Prily sekarang terang-terangan menunjukan ketidaksukaannya pada Amalia. Persetan dengan semuanya. Ia memutar bola matanya kesal. "Mau ke UKS sebentar untuk mengambil kotak P3K, Buk. Kayaknya nak murid saya sekarang lebih butuh diobatin daripada diomelin," tekan Prily pada kalimat terakhirnya.
Pradipta yang mendengar perkataan Prily pun tersadar bahwa yang terpenting sekarang adalah mengobati luka anaknya. Ia menatap punggung gadis berbalut almamater itu yang sudah kelur dari ruangan ini. Dipta tak tahu nama gadis muda itu dan tak menyangka akan bertemu lagi.
Prily kemudian kembali dengan membawa kotak P3K. "Sini saya yang mengobati Pricilia," kata Amalia yang membuat Prily mendengus.
"Saya bisa sendiri, Buk," ujar Pricilia ketika Amalia hendak mengobati lukanya.
"Miss Prily," panggil Amalia.
"Hadir, Bu!" sahut Prily dengan nada malas
"Jadi masalahnya disini—-" perkataan Amalia terpotong ketika pintu kembali di ketuk. "Buk, kami mau ambil absen," sahut sekumpulan ketua kelas yang kebanyakan laki-laki.
"Itu ambil saja diatas meja," kata Amalia.
Prily yang melihat banyak pria yang akan masuk segera melepaskan almamaternya dan melemparnya ke arah Pricilia. "Tutupin d**a mini kamu," ujarnya membuat Pricilia melihat ke arah dadanya. Benar saja, dua kancing bajunya terbuka karena tadi tak sengaja ia lepaskan ketika murid-murid lain menggerumbunginya.
"KALIAN JANGAN MASUK DULU!" seru Pradipta ganas. Tak mau ada yang melihat aset milik anak gadisnya.