Sudah hampir lebih dari lima menit, Prily menggigit bibir bawahnya dan menoleh ke arah Pradipta yang ia yakini masih berada di sampingnya. Namun, gadis itu malah kembali menundukan kepalanya. Ia ingin sekali rasanya mengajak Pradipta berbicara, sekedar basa-basi daripada harus terdiam seperti orang bodoh begini.
Tapi, apa yang harus ia tanyakan pada pria itu? Pekerjaan? Ia sudah tahu pria itu seorang Pengacara. Umur? Terlalu privasi. Alamat rumah? Pasti dia akan dikira stalker. Ckckc.
Prily menghembuskan nafasnya, menyendarkan tubuhnya pada sofa empuk di ruangan Andre. Setidaknya hanya ini yang paling baik disini. Gadis itu jadi heran, sudah pintu rusak dan sekarang lampunya padam. Apa mereka benar-benar niat membuat usaha?
Kepala gadis itu kembali melihat ke arah dimana Pradipta duduk, walau ruangan ini gelap namun pantulan cahaya dari kaca jendela yang terkunci membuat gadis itu bisa melihat Pradipta yang sepertinya tidak bergerak sedari tadi. Tunggu, pria itu masih hidup kan?
“Pak?” panggil Prily. “Pakk...”
“Hm,” jawabnya membuat Prily bernafas lega. Jangan mati dulu, Pak. Dirinya belum beraksi. Batinnya.
“Di rumah Pak Dipta ada orang kan? Pricilia enggak sendirian kan, Pak?” tanya Prily mengingat bahwa lelaki disampingnya ini adalah seorang duda yang tentunya sangat hot.
“Pricilia di rumah neneknya,” jawab Pradipta membuat Prily mengangguk-angguk. Entah bagaimana sekarang nasib gadis bermulut pedas itu, semoga kondisinya sudah lebih baik dari terakhir mereka bertemu.
“Kamu sendiri?” tanya Pradipta.
“Temen kost saya itu pasti sekarang udah bikin mie soto pake telor atau enggak tidur dengan selimut, pak.” Prily tidak bisa membayangkan Abiya tengah khawatir disana, wanita itu pasti sekarang tengah melakukan salah satu dari dua hal yang tadi disebutkannya. Ckck.
“Jadi Pengacara enak, Pak?” tanya Prily tiba-tiba. Untung keadaan sekarang cukup gelap membuatnya tak harus melihat wajah Pradipta.
“Lumayan.”
“Apa rasanya misahin dua orang yang pernah bersama, Pak?”
Pradipta membeku. Tidak ada yang salah dengan pertanyaan itu sebenarnya. Namun, untuk pertama kalinya, Pradipta mendengar pertanyaan itu. Biasanya orang-orang akan bertanya tentang, bagaimana sidangnya? Apa rasanya menangani kasus artis? Berapa gajinya?
“Eh, saya salah bicara ya, Pak. Duh, maaf nih...” Prily benar-benar merasa sungkan. Lambatnya jawaban yang diberikan Pradipta membuatnya yakin bahwa pertaanyaan yang ia ajukan cukup tak sopan.
“Tidak.” Pradipta mengubah posisi tubuhnya, sedikit lebih rileks dari sebelumnya. “Satu-satunya yang saya sesali setelah memisahkan dua orang itu adalah tatapan anak mereka.”
“Tapi, tidak semuanya yang berpisah berakhir dengan buruk. Jangan pernah lupakan kata selamat, di ucapan selamat tinggal.” Pria itu membuka dua kancing atas bajunya, rasa panas dari ruangan ini cukup membuat ia berkeringat.
“Kenapa harus pisah, sih, Pak? Kenapa dulu mereka bisa yakin dan sekarang enggak?” tanya Prily yang terbawa emosi. Ia cukup sering mendengar cerita tentang seorang anak dengan orang tua berpisah, bukan berarti Prily mengecap mereka sebagai produk yang akan gagal. Toh, banyak orang-orang sukses yang memiliki latar seperti ini.
Namun, Prily bisa merasakan bahwa mereka seperti berusaha dua kali lebih keras daripada anak-anak yang lain.
“Saat melakukan kesalahan, seseorang lebih sering mencari alasan yang bisa ia gunakan ketika orang bertanya, padahal ada yang lebih penting dari itu. Mencari tahu dan memperbaiki kesalahannya daripada mendengarkan orang lain.”
“Terbukti, seseorang manusia tidak mau disalahkan.”
“Sama halnya dengan rumah tangga, mereka bukanya fokus memperbaiki malah namun dengan naifnya sudah membayangkan hidup baru yang belum tentu baik.”
Prily menahan nafasnya ketika mendengar perkataan Pradipta yang nampak begitu relate-able dengan kehidupan. Bukannya mencari dan memperbaiki kesalahan, mereka yang bersalah mencari alasan agar ketika orang bertanya ada apa mereka bisa menjawab. Padahal ada yang lebih penting daripada mengisi mulut-mulut penasaran itu.
“Namun, ada yang memang tidak bisa diperbaiki,” lanjut Pradipta.
“Tidak bisa diperbaiki, jadi lebih baik diganti ya, Pak?” tanya Prily sedikit terkekeh miris.
“Bapak sendiri kenapa tidak mencari yang baru?”
Pradipta yang mendengarnya sontak mengerutkan dahinya. “Maksud kamu?”
“Kenapa bapak enggak punya isteri baru?” tanya Prily lagi.
“Isteri saya bukan barang yang bisa diganti,” ujar Pradipta dingin. Namun, Prily tak menyadari bahwa topik ini sangat sensitif untuk lelaki itu.
“Yang mati akan digantikan dengan yang hidup, bukannya itu hukum alam ya, Pak?” Gadis itu tersenyum menyedihkan. Beda dengan dirinya yang masih hidup namun sudah digantikan dan tak dianggap hidup.
“Tidak semua yang ada di dunia ini bisa digantikan. Jangan terlalu berpikir rendah.”
Prily sontak mengerjapkan matanya ketika mendengar perkataan Pradipta yang begitu menyeramkan. Gadis itu baru sadar bahwa atmosfer di ruangan ini sudah berubah.
“Kamu tidak tahu apa-apa. Kenapa berlaga mengetahui semuanya?” tanya Pradipta membuat Prily meneguk ludahnya kecil. Apa Pradipta tersinggung dengan pertanyannya tadi? Astaga, astagaaa!
Tiba-tiba lampu di ruangan itu hidup membuat Prily sontak menundukan kepalanya. Ia tak berani untuk menatap Pradipta. Pasti pria itu sudah menganggapnya sebagai gadis yang sok tahu dan sibuk mengurusi hidup orang lain.
Gadis itu bisa merasakan sofa yang ia duduki bergerak, nampaknya lelaki itu telah bangkit. Pasti pria itu jijik sehingga tak ingin duduk disampingnya.
“Pintunya sudah terbuka, ayo pulang.”
Prily mengangguk, namun tetap menudukan kepalanya dan terus berjalan. Gadis itu merasakan ada yang aneh pada hatinya, kenapa menjadi tak nyaman seperti ini? Apa karena perkataan Pradipta? Aishh.
Gadis itu tak sadar bahwa ia sudah mendekati punggung belakang Pradipta dan berakhir kembali menabraknya.
“Ah, maaf, Pak..” Prily mendongakan kepalanya ke arah Pradipta yang memutar badanya. Wajah lelaki itu tampak datar, seperti kesal dengannya atau memang ia yang baru menyadari ekspresi itu.
“Saya tidak suka kamu. Jadi berhenti melakukan apapun yang membuat kamu terlihat rendah untuk mendapatkan saya.”
Nafas Prily tercekat ketika mendengar perkataan Pradipta yang seperti sebuah anak panah yang menusuk tepat ke arah jantungnya. Apa baru saja ia mendapatkan penolakan? Padahal ia belum mengatakannya.
Apa ia begitu terlihat menyukai Pradipta? Apa ia serendah itu? Apa karena dia—
“Saya pulang sendiri saja, Pak.” Prily mendongakan kepalanya. Plis, semoga Pradipta tak menyadari bahwa matanya sudah berkaca-kaca sekarang.
“Saya antar pulang,” titahnya tak mau dibanta.
Prily mengangguk lemah, memangnya jika ia tidak pulang bersama Pradipta, bagaimana ia bisa pulang? Pintu ajaib? Jika pintu itu benar-benar ada mungkin sekarang Prily tak akan merasakan sesaki ini. Ia kemudian keluar bersama Pradipta dari caffe Andre dan menuju mobil. Tak banyak bicara Prily segera masuk ke dalam mobil lelaki itu.
Selama diperjalan, Pradipta hanya fokus pada tujuan untuk mengantarkan gadis disampingnya ini. Lelaki itu sama sekali tidak merasa bersalah sama sekali setelah mengatakan hal itu.
Pradipta ingin membuat Prily berhenti berjuang sebelum merasakan sakit yang lebih dari ini. Gadis itu masih mudah dan sebenarnya cantik, namun tak ada tempat lagi di hatinya untuk diisi seseorang. Cintanya pada mendiang isterinya terlalu serakah sehingga membuat rasa itu mati.
Namun setitik rasa bersalah itu tetap ada ketika melihat gadis di sebelahnya terus mengalihkan pandangannya ke arah jendala. Apa gadis itu menangis? Apa ia harus meminta maaf?
“Saya minfa maaf.” Daripada menjadi pikiran, Pradipta akhirnya mengatakan hal itu.
Prily akhirnya menggerakan kepalanya menoleh ke arah Pradipta. “Minta maaf untuk apa, Pak?” tanyanya sambil menatap pria disampingnya.
“Saya kira kamu menangis,” jawab Pradipta membuat Prily berusaha menahan diri. Ck, lelaki disampingnya benar-benar menyebalkan. Mana ada seorang laki-laki seperti itu?!
“Oh, saya ngadap ke kaca karena ngerasa bulu mata mau copot, Pak.” Bohong! Ia sudah ingin menangis sedari tadi. Namun, gadis itu berusaha menguatkan hatinya. Bukannya ia sudah berjanji untuk tidak lagi menangis sejak hari itu? Dimana semua yang ia miliki, hilang lenyap!
Pradipta mengangguk, pria itu nampak terlihat lega. Apa karena Prily tak menangis karena ucapannya?
Jujur, sebenarnya sebagian hati Prily merasa sakit karena perkataan lelaki itu. Dia ditolak! Saat belum mengungkapkan perasaan! Sekali lagi, sebelum mengungkapkan perasaan! Benar-benar menyedihkan.
“Rumah saya disana, Pak. Terima kasih sudah mau mengantarkan saya.”
Namun, semuanya akan berakhir seperti ini. Dia dan Pradipta akan berpisah. Ck, berpisah hanya untuk dua orang yang dari awal ingin bertemu. Sedangkan dirinya? Ck. Benar-benar bertepuk sebelah tangan.
“Sa—-“
“Tunggu!” Prily kembali menarik pintu mobil yang hendak tertutup. Gadis itu menarik nafasnya dan menghembuskannya kuat.
“Saya enggak mau, Pak!” serunya sambil menatap Pradipta.
Dahi lelaki itu berkerut menandakan bahwa ia tak paham. “Enggak mau turun disini?” tebak Pradipta.
“Aish,” maki gadis itu membuat Dipta terkejut. Prily menyalahkan dirinya sendiri yang main langsung ke inti, harus ia memberikan pembahasan atau pendahulan dulu. Oh, jangan lupakan judul. Ah, sialan, kenapa ia jadi mengingat skripsinya?!
Oke, kembali ke pria yang sudah membuatnya jatuh cinta itu.
“Saya enggak mau pergi dari Pak Dipta!”
“Saya tahu, saya enggak pantas. Bapak mercy saya bajaj. Bapak salad with sauce peanuts, saya gado-gado. Tapi saya enggak peduli, Pak!”
Gadis itu menghembuskan nafasnya kuat. Tangannya menggegam erat ke pada cantolan pintu mobil.
“Saya yakin bisa bikin jatuh cinta, Bapak!”
“Tunggu aja!” serunya kembali sebelum menutup pintu mobil dengan kuat lalu berlari menuju kosannya.
Brak!
“Aaaaa.... Biya! Gue baru aja mempermalukan diri!” rengek Prily menuju kosan.