Ten

1277 Words
"Kok ditolak lagi, sih." Prily menghela nafasnya kesal ketika pesanan ojek onlinenya kembali di tolak. Waktu di ponsel sudah menujukan pukul sepuluh malam dan sial batrei ponselnya tersisa sedikit lagi. Karena keasyikan merenung tentang Pradipta, ia bahkan tidak menyadari bahwa ia sudah berada dua jam disini. Bahkan ia  tak menyadari bahwa Pradipta dan Andre sudah pulang. "Huh jangan ditolak lagi pliss..." "Ya ampun di tolak lagi." Gadis itu menghembuskan nafasnya panjang lalu menyandarkan tubuhnya ke bangku. Ponselnya ia biarkan tergelatak di atas meja, tatapannya mengarah ke arah jalan yang mulai sepi. Ck, bagaimana dia bisa pulang sekarang?  Prily sebenarnya bisa meminta Abiya menjemputnya, namun ia memilih untuk mengurungkan niatnya. Angin malam yang terasa lebih dingin dan awan hitam yang sudah memenuhi langit membuat gadis itu yakin sebentar lagi akan turun hujan lebat. Dan, Prily tidak akan membiarkan Abiya membawa Kenzo atau meninggalkannya demi menjemputnya. Gadis itu termenung di kursi yang berada di teras cafe ini. Seorang diri. Prily jadi ingat dulu saat setelah membantu kedua orang tuanya bekerja, ia akan keluar rumah untuk menikmati angin malam. Itulah yang membuatnya tidak terlalu panik dan takut sekarang. "Tidak pulang?" "Astaga astagaaa!" pekik Prily ketika bahunya ditepuk.  Ia kemudian menoleh dan mendapati sosok Pradipta berdiri disampingnya. Jas hitam yang Prily ingat berara di tubuh pria itu sudah hilang, tersisa kemeja putih dengan lengan yang digulung hingga ke siku.  "Maaf," katanya ketika melihat ekspresi terkejut Prily. "Enggak papa, Pak." Gadis itu mengusap dadanya sambil bernafas lega. Dulu jika keluar malam, Prily akan mencari tempat yang tidak memiliki rumor angker karena demi apapun dirinya masih takut pada sosok makhluk halus. "Kenapa belum pulang?" tanyanya lagi. "Saya lagi nunggu ojek online tapi ditolak terus," jawabnya sambil bangkit dari kursi dan mengambil ponselnya. "Kalo bapak sendiri?" tanya Prily balik sambil melihat mobil pria itu yang berada di parkiran. "Ponsel saya tertingal di ruangan Andre." "Oh." Prily menganggukan kepalanya. "Tidak usah menunggu ojek online lagi. Biar saya antarkan." "Enggak usah, Pak. Takutnya ngerepotin," ujar Prily membuat Pradipta menggeleng. "Saya tidak repot." "Saya ambil ponsel saya dulu." "Saya ikut, Pak," sahut Prily sambil mengikuti tubuh tinggi tegap Pradipta yang berjalan di depannya. Pria itu kemudian membuka pintu cafe dan menutupnya kembali ketika Prily sudah masuk. Prily bisa sedikit lega ketika rasa hangat yang dimiliki ruangan cafe ini menyelimutinya. Di luar benar-benar terasa dingin. Gadis itu yakin sebentar lagi akan hujan badai. Ah, Prily jadi ingin membuat mie kuah dengan telor serta tambahan cabe rawit dan sayuran. "Sudah, Pak?" tanya Prily ketika melihat Pradipta keluar dari ruangan Andre. Pria itu mengangguk. "Tapi ponsel saya kehabisan daya," jawabnya. Prily kembali berjalan di belakangan Pradipta, memperkirakan kapan dia akan bisa memeluk punggung itu dengan bebas. Satu tahun lagi? Lima tahun lagi? Sepuluh tahun lagi? Atau tidak pernah sama sekali.  "Kenapa, Pak?" tanya Prily sambil menyentuh punggung Pradipta yang belum juga membuka pintunya.  Gadis itu tiba-tiba saja terkejut ketika Pradipta memutar tubuhnya. Dan, entah bagaimana, Prily tak menyadarinya. Tangan besar lelaki itu secara mendadak memegang tangannya lalu menariknya menjauh dari pintu kaca. Prily bahkan tak sempat berkata-kata ketika lelaki itu menarik tangannya erat namun tak menyakitkan menuju ruangan Andre. Gadis itu mendelik ketika melihat Pradipta mengunci ruangan ini. "Pak, ada apa, sih?!" tanya Prily ketakutan. Oh, gadis bisa merasakan hawa tak enak dari sekitarnya dan menjadikan itu sebagai tanda bahwa ada bahaya di sekitarnya. Dan, benar saja. Beberapa detik kemudian Prily mendengar suara motor yang beriringan. Suaranya begitu memekakan telinga disusul dengan teriakan-teriakan tak jelas.  Apa mereka geng motor yang berkelakuan sadis dan menyeramkan yang sedang ramai di berita televisi karena merenggut banyak korban? Apa mereka membawa senjata tajam dan sabit? Astaga mengerikan! "Pak, gimana?" Karena ketakutan, Prily tanpa sadar belum melepaskan genggaman tangan dari Pradipta dan malah mengeratkannya. "Mereka hanya lewat, tenang saja," kata Pradipta. Alarm mobil Pradipta tiba-tiba berbunyi membuat Prily spontan merapatkan tubuhny ke arah pria yang ada di sampingnya. "Pak, saya takut," rengeknya. "Saya enggak mau mati sebelum akun saya centang biru," lanjutnya. Genggaman tangan mereka menguat, bukan Prily namun Pradipta. Lelaki itu tiba-tiba saja menarik dagu Prily sehingga tatapan mereka bertemu. "Lihat mata saya," katanya meminta pada gadis di hadapannya. "Tidak perlu takut, ada saya disini. Saya tidak akan membiarkan mereka melakukan hal buruk pada kamu." Pradipta pernah membaca pada salah satu artikel bahwa cara untuk menenangkan seseorang yang mengalami serangan panik adalah dengan cara memintanya fokus pada satu hal dan mengucapkan mantra. Namun, pria tengah berara di usia tiga puluh tahunan itu tidak yakin bahwa kata-katanya tadi adalah sebuah mantra. Prily yang mendengarnya tiba-tiba saja merasa ada sebuah energi tak kasat mata mengalir dari tangan Pradipta ke tangannya membuatnya tak merasakan takut lagi.  Rasanya begitu asing. Mempercayakan dirimu para orang yang tak dikenal. Namun, kenapa debaran jantungnya malah melambat? Ia tidak mengidap panyakit jantung kan? Pradipta kemudian memalingkan wajahnya ke arah pintu depan, berusaha untuk mendengarkan lebih jelas lagi. Lima menit dia menunggu, sudah tak ada lagi suara motor itu. Dan, lelaki itu juga yakin bahwa tadi ia mendengar suara dari motor-motor itu menjauh bukan berhenti di depan cafe. "Sepertinya mereka sudah pergi," kata Pradipta menghela nafasnya. Prily yang melihat bagaimana pria itu merasa lega tersadar, bahwa lelaki itu juga sama takutnya namun tak menampakannya dan malah meyakinkan bahwa semuanya baik-baik saja. "Ah, maaf," ucap Pradipta sambil melepas genggaman tangan mereka.  Prily akhirnya tersadar dan meneguk ludahnya susah payah ketika suasana terasa canggung.  "Ayo kita keluar," ajak pria iu yang hanya bisa diangguki oleh Prily. Namun, sepertinya kesialan sedang menimpa mereka. Pintu di ruangan itu tiba-tiba tidak bisa terbuka. "Pintunya rusak," kata pria itu membuat kening Prily berkerut. "Padahal masih baru ya, Pak," ucapnya yang diangguki Pradipta. Gadis itu kembali melihat punggung Pradipta ketika sang lelaki tengah berkesusaha untuk membuka pintu. Nampaknya lelaki itu ingin segera pergi dari sini. Ah, tidak sepertinya yang malah tak ingin pergi. Perlakukan Pradipta tadi padanya membuat Prily yakin bahwa tidak ada wanita yang merasa tersentuh.  Tuk! "AAAA!" Prily melompat ke sembarang arah ketika pandangannya menjadi gelap, sialnya selain takut makhluk halus, Prily juga takut gelap. "Pak, lampunya mati huhu..." kata Prily. "Ini si Andre lupa ngisi token pulsa kali, Pak." "Ehem." Prily meraba-raba sesuatu sekarang, perasaannya menjadi tak enak. "Akhh!" Bola mata gadis itu membulat ketika ia menyadari bahwa jarinya baru saja masuk ke lubang hidung Pradipta. Astaga! Jadi dari tadi ia meraba-raba wajah Pradipta. Dan, dan! Sekarang ia tengah memeluk punggung lelaki dari belakang. Demi apapun, Prily ingin sekali rasanya menghilang atau meminjam pintu kemana saja milik Doraemon. Sumpah demi apapun, ia tidak memiliki muka lagi di hadapan pria itu. Wangi yang dikeluarkan Pradipta terasa begitu menyegarkan. Wanginya seperti perpaduan citrus dan pohon pinus. "Maaf, Pak," ujar Prily sambil melepaskan  pelukannya di leher Pradipta dan merosot turun ke bawah. "Apa kamu bisa menelpon seseorang untuk menolong kita?" tanya Pradipta. Prily merasakan bahwa saat ini lelaki itu berada dihadapannya bukan lagi punggungnya yang ia tatap. "Sebentar, Pak." Prily membuka tasnya dan mengeluarkan ponselnya. Dan benar saja, ketika cahaya dari ponsel Prily terlihat, gadis itu meneguk ludahnya susah payah karena berada sedekat ini dengan Pradipta. Namun ketika jari Prily hendak membuka aplikasi panggilan, ponselnya tiba-tiba mati dan keadaan kembali gelap. "Pakk, gimana?! Ponsel saya juga mati." "Kita tunggu dulu hingga lampunya hidup," jawab pria itu. Kini Prily tak merasakan lagi Pradipta berada di hadapannya. Namun, sebagai gantinya Prily mendengar suara sofa yang diduduki. "Pakk, dimana?" tanya Prily sambil meraba-raba. Namun Pradipta tak menjawabnya dan hal itu membuat Prily panik hingga tersandung sesuatu. "Arghh!" Oh, tidak baik. Benar-benar bencana. Prily tak merasakan lembutnya sofa atau kerasnya lantai. Namun sesuatu yang keras dan lembut.  Dada Pradipta! Buru-buru Prily berpindah kesamping dan duduk dengan baik. Jantungnya kali ini berdetak dua kali lipat karena pria itu.  "Maaf, lagi, Pak. Saya enggak lihat bapak."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD