<~Loro~>

1184 Words
***Yogi POV*** . . . Majendra Yogi Finanda Itu aku, saat ini berusia tiga puluh tiga tahun. Setelah menyelesaikan S2 aku segera diminta memegang perusahaan. Masa trial dua tahun aku digembleng habis-habisan. Sebelum benar-benar terjun ke perusahaan ayah. Dididik memahami detail perusahaan. Aku merasa waktu tujuh tahunku di universitas tak sia-sia. Lima tahun lalu aku mulai memegang Karuna Textile. Mengganti papi tentu bukan hal yang mudah. Aku mendapat ketidakpercayaan dari direksi. Mereka tentu menatapku terlalu muda, aku sudah dua puluh delapan tahun saat itu dan tentu belum memiliki pengalaman. Ya, anggap saja ini melatihku untuk belajar membungkam mulut manusia yang selalu saja menganggap remeh pemula. Aku percaya jika aku memilih kemampuan. Delapan tahun aku habiskan di Australia untuk kuliah, dua tahun aku dididik ayah dan tangan kanannya memahami perusahaan. Sepuluh tahun sudah aku belajar, tak mungkin aku menghasilkan sebuah omong kosong. Ternyata benar, aku membuka peluang Karuna membawa mereka menyebrangi benua lain. Tempat aku mengenyam pendidikan, Australia. Gila, aku Majendra Yogi Finanda ... Dan kalian meragukan ku? Sejak itu tak ada yang ragu. Lima tahun sudah kini aku menjalani hari sebagai pimpinan Karuna Textile. Pulang bekerja aku pulang ke rumah. Masih tinggal bersama mami dan papi. Aku ingin tinggal di apartemen sebenarnya. Hanya untuk saat ini tinggal di rumah lebih baik. Aku tak suka kesepian. Mendengar suara mami meneriaki setiap pagi meski mengesalkan tapi, itu hal yang aku sukai. Sejak sekolah menengah pertama, aku menjalani hari di luar negeri. Tak ada kesempatan untuk menikmati sensasi di teriaki seperti ini. "Assalamualaikum." Salam aku ucapkan setelah melangkah ke dalam rumah. Aku bisa mendengar mami menyahut riang. Aku rasa ia ada di dapur. Melangkah ke dapur hal yang aku lakukan. Benar saja, mami ada di sana menyiapkan makan malam. Setelah berada di samping kupeluk wanita nomer satu yang sepenuhnya mendapatkan hatiku. Mami mencium kedua pipi dan kening. "Mami mau bikin ayam goreng. Tadi beli sambel cumi enak banget. Mandi dulu sana, habis itu temani mami makan." Hidup berdua tanpa papi awalnya sulit bagi kami berdua. Hanya aku dan mami kini. Aku garap menjadi seorang yang bisa membahagiakannya. "Iya Gi mandi dulu Mam." Berjalan ke atas menuju kamar dan segera mandi. Seraya melangkah mengirim pesan pada Disha adalah hal yang aku lakukan. Disha adalah adik dari temanku Hobi namanya. Tak banyak memiliki waktu bertemu dengan makhluk bernama perempuan. Hingga gadis itu menjadi magnet utama dalam hidupku. Disha masih berusia 25 tahun dua tahun lagi ia akan menyelesaikan gelar S2-nya. Aku mengerti itu, maka aku menyetujui hubungan jarak jauh kami. _______________ Anda: Udah tidur kamu? Gadisku Disha: Belum aku nunggu Mas Yogi chat aku. Udah sampai rumah ya? Anda: Hmm, aku baru mau mandi nih. Nanti aku vical ya. Gadisku Disha: Heh, kok Mas mau vical pas mandi?! Anda: Nanti habis mandi ya sayang, maksud aku. Gadisku Disha; (Send image) ___________ Tak menjawab, Disha mengirim foto ia mengenakan bando dengan kuping kucing, tersenyum yang membuat garis pipinya terlihat seperti kucing, menggemaskan. Menjalin hubungan jarak jauh sebenarnya sulit sekali. Aku sering sekali rindu sekadar ingin menikmati waktu berdua bersamanya menonton atau menikmati secangkir kopi bersama. Ya, ini resiko hubungan seperti ini. Aku yakin hatiku tak akan berpaling. Disha-ku sempurna pintar, cantik. Ia sempurna dari segi fisik dan semua yang ia miliki sempurna, meski pencemburu. Selesai mandi aku kembali ke meja makan. Mami sudah menunggu dengan tiga toples sambal kemasan, lalapan, juga ayam goreng yang telah matang. Senyumnya menyambutku, aku duduk di samping mami. Makan malam sempurna. Meski hanya masakan sederhana. Kami punya Mbok Mar yang menemani sejak aku kecil sebenarnya. Juga ada Nani anak Mbok Mar yang kini jadi pekerja di sini. Namun, mami lebih senang memasak sendiri. Tak ingin menyusahkan juga bisa membantu menghabiskan waktu. Aku setujui dan aku katakan kalau mami tak boleh terlalu lelah. "Enak kan Gi?" "Mami beli di mana sambelnya? Enak banget ini." Aku menjawab sambil menyantap makanan nikmat malam ini "Tanya Reina kemarin, mami kemarin dikasih satu. Terus, habis sendirian." "Bener-bener ya Mami. Enggak inget sama anak sendiri." Aku berakting kesal. "Habis enak banget, mami makan itu doang sama nasi anget. Reina tuh tau di mana beli makanan-makanan enak." Dia juga suka masak deh, enak kalau punya mantu yang bisa masak gitu." Aku hanya mengangguk Disha tak bisa memasak tapi aku yakin ia bisa menghormati dan menyayangi mami. "Kamu kapan nikah? Mami enggak muluk-muluk enggak mikir cucu yang penting ada seseorang yang ngerawat kamu Gi. Kamu tau kan mami sekarang udah hampir enam puluh tahun." "Masih lama Mi, empat tahun lagi," selaku, sedikit malas ketika mami sudah membicarakan pernikahan. "Mami sakit jantung lho Gi." "Mami .., jangan ngomong gitulah. Mami masih bisa hidup lama. Mami mau berobat kemana? Ayo Yogi antar. Kita cari rumah sakit terbaik." "Mami cuma ingin punya mantu. Yang bisa punya banyak waktu nemenin mami, meski kalian tinggal pisah sama mami." Aku melirik mami, sungguh pembicara seperti ini buat aku pusing sendiri. Sementara Disha masih ingin menikmati hidupnya, melanjutkan jenjang pendidikan dan banyak mimpi yang ingin ia lakukan. Aku tak ingin memaksa Disha. Pun keinginan mami bukan hal yang bisa aku abaikan. "Tahun ini ya Gi?" Mami menatap penuh harap. "Yogi usahakan ya Mi." Mami ber-yes ria. Mengepal tangan lalu meninju ke atas. Senang melihat beliau begitu bahagia pada harapan yang sepertinya sulit aku wujudkan. Selesai makan aku menghubungi Disha. Membicarakan apa yang aku bicarakan mami saat makan malam tadi. Aku tau Disha pasti enggan dan benar saja ia menolak. "Ya kan Mas udah tau kalau aku masih mau kuliah. Lagian aku mau setelah kita nikah, kita enggak tinggal sama mami." "Kita beli apartemen sendiri, cuma aku mau kamu meluangkan waktu lebih saat nanti kita nikah." "Tiga tahun lagi lho, Mas." Disha mengingatkan. "Gimana kalau kita nikah dulu? Setelah itu kamu boleh kembali kuliah." Aku bisa mendengar kekasihku menghela napas. Ia pasti kesal, memang seperti itu setiap kali pembicaraan kami berkahir dengan pertengkaran. Ia terdiam. Cukup lama kami diam, sampai ia buka suara. "Sebelumnya aku minta maaf nih Mas. Alasan Disha enggak mau seperti itu karena, kalau aku dan kamu menikah. Aku tuh punya tanggung jawab untuk patuh. Jujur, aku belum siap dengan itu sekarang. Tiga tahun ini aku ingin tuntaskan masa pendidikan dan menikmati hidupku. Aku mau di usia ke dua puluh delapan nanti. Tiga tahun lagi sampai aku siap sepenuhnya jadi istri kamu. Tidak saat ini." Aku mengerti pemikirannya. Memang ia gadis mandiri memiliki impian yang tinggi dan harapan yang luas untuk ia lakukan. Hanya saja, aku ingin sedikit lebih diprioritaskan. Salah? "Mas mau sekali aja jadi prioritas kamu Dish." "Jadi, Mas Yogi enggak pernah merasa jadi prioritas Disha?" Aargh, Lelana Ayudisha Batari ... Keras kepala. Aku tau itu memang pemikirannya. Entahlah, aku rasanya harus mengalah lagi. Tak ingin hubungan kami memburuk karena ini. "Mas minta maaf." "Disha tidur duluan ya Mas. Jangan bobo malem-malem. Assalamualaikum." Panggilan dimatikan. Lagi, ia marah dan aku lagi-lagi kalah tak bisa meyakinkan Disha. Entah sudah usaha berapa kali jawabannya sama. Aku harus memikirkan jawaban lain untuk menjawab permintaan mami yang tak mungkin terus aku tolak. Malam makin larut, saat mataku mulai ngantuk sementara pikiranku kalut lagi-lagi masalah 'kapan nikah?'. Yang bertanya juga lagi-lagi mami. Maafin Yogi, Mi, Yogi gagal merayu pujaan hati. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD