~>Siji<~

1240 Words
**Reina POV** .. .. .. Hidup itu kejam. Katanya begitu, apa kita yang kurang bersyukur? Atau kita yang kurang kuat? Ya, mungkin keduanya benar. Kita yang kurang kuat dan kurang bersyukur. Yang harus menjadi materi pertama dalam menjalani hidup adalah ... Belajar untuk menjadi orang yang tidak peduli dengan omongan orang lain. Saat kamu berusia belasan itu akan sulit sekali. Setelah memasuki dua puluh lima atau dua puluh enam tahun. Itu akan sedikit lebih mudah. Aku Reina Yasmitha, lahir di bulan Maret, si Pisces yang romantis, sensitif, plin-plan dan si bodoh tang sering sekali dimanfaatkan teman. Entahlah, apa cuma aku yang seperti itu? Atau memang itu sudah sifat alami Pisces. Lemah perihal orang lain, kemudian menjadi orang yang dimanfaatkan? Beberapa tahun lalu aku mengajukan proposal kerja di Karuna Textile. Tempat aku bekerja saat ini, senang saat aku terpilih dari banyaknya pelamar yang lain. Meski aku tau alasan utamanya adalah ... Karena aku buka tipe bos. Jelas aku dengar, juga tau karena bos-ku si putih salju mengatakan itu padaku. Ya, siapa yang akan menjadikan aku tipe ideal mereka? Semua di tubuhku serba besar. Punya tinggi 169 cm dengan berat 90 kilo gram. Kalian bisa bayangkan bagaimana bulatnya tubuhku ini? Tak masalah, aku hanya bisa bersyukur dengan apa yang Tuhan beri. Siang ini aku merapikan barang-barang bersiap untuk pulang bekerja. Rein! "Ya, Pak?" sahutku kemudian berjalan cepat masuk ke dalam ruangan pak Yogi. Bosku kini tengah sibuk entah mencari apa. Aku mengikuti tiap gerakannya. "Bapak cari apa?" "Kunci mobil saya ke mana ya?" "Bapak taruh di dalam laci tadi. Saya lihat waktu Bapak datang." Yogi membuka laci miliknya. Tentu saja aku melihat itu. Tepat saat ia datang tadi aku sedang meletakan kopi miliknya. "Ah, iya bener." Ia senang lalu meletakan kunci ke dalam saku kemeja miliknya. "Laporan pajak-" "Saya sudah berikan semua rincian yang sudah bapak periksa tadi ke bagian administrasi. Juga masalah rapat dengan perusahaan rekanan besok sudah saya infokan semua Pak." Aku jelaskan semua, karena ingin segera kembali pulang. Ini sudah pukul tujuh malam. Dan aku tau uang lembur ku tak akan diberi untuk malam ini. "Aah, bagus. Oke kalau gitu." Ia terlihat tenang lalu berjalan ke luar ruangan. Aku ke luar setelah si bos menghilang di balik pintu lift yang tertutup. Pergi tanpa berterima kasih. Ya, sudah biasa, meski kadang terasa baper juga. Apalagi di saat seperti ini. Saat si noda merah datang. Sensitif sekali aku rasa jadinya. Setelahnya aku pulang dengan motor matic milikku. Langit mendung, titik hujan mulai turun. Sementara jarak rumah tinggal sepuluh menit lagi. Jika aku paksakan ibu bisa marah kalau aku pulang dengan tubuh basah. Serba salah memang. Dan akhirnya aku terjang gerimis yang mulai turun semakin deras. Sekitar delapan menit dan aku pulang dalam keadaan basah. Benar, saja begitu kubuka pintu pagar. Wajah ibu muram, sambil membawa handuk di tangan. "Bukannya neduh." Suaranya terdengar, ia juga menatap tajam. Saat seperti ini aku harus pintar-pintar cari jalan keluar, untuk melarikan diri dari omelannya. "Cepat parkir itu motornya, basah semua tuh kamu Dek." "Aku kira enggak deras Bu." Mas Jun ke luar membawa payung yang sebenarnya menurutku saat ini tiada guna. "Orang bisa neduh kok ya. Malah sengaja hujan-hujanan." "Aku pikir enggak akan gede hujannya Mas." Kami berjalan sampai teras. Aku menggelayuti Mas Jun seraya menjaga jarak dari ibuku. Setelah masuk rumah Bapak ikut menatap marah. Ini namanya keluar kandang singa masuk ke kandang macan. "Tau badannya lemah. Bener-bener anak perempuan satu." "Aku kan kangen Bapak. Jadi maunya buru-buru pulang." Aku merayu meski tau tak akan memberikan imbas apapun. Memiliki satu orang Kakak laki-laki yang super jenius. Itu satu dari banyak hal yang aku banggakan. Mas Jun, alias Juniar Kinandra. Meski jenius Mas Jun masih jomblo. Mau fokus cari uang katanya. Mas Jun membuka usaha bersama temannya juga kakak sepupuku, Mas Bumi. Yang ikut berinvestasi di sana. Setelah membersihkan diri yang aku lakukan adalah merebahkan diri di kamar. Di luar masih hujan rasanya sebentar lagi aku akan memejamkan mata karena hawa yang dingin. Benar saja baru sebentar rebah mataku seolah dipermainkan oleh rasa kantuk. Namun, belum sempat benar-benar terpejam, kamarku diketuk. "Rei," panggilan Mas Jun dari luar. Aku segera bangkit lalu berjalan menuju pintu. Membukanya dan melihat Mas Jun di sana. "Makan dulu, Bapak udah masak sayur toge sama telur dadar tuh." Aku mengangguk, lalu berjalan menuju dapur sambil didorong Mas Jun. "Mas aku besok libur." "Terus?" "Jangan bangunin aku mau tidur sampai siang. Pusing banget aku Mas-" "Okee siap," sahut kakakku tanpa perdebatan. Aku berjalan turun menuju ruang makan. Ibu dan bapak ada di sana duduk seraya minum teh bersama. Yang pasti keduanya sudah makan malam. Sepertinya malam ini ada yang ingin di sampaikan kedua orang tuaku. Aku duduk di tempatku sambil tersenyum jahil pada bapak. Bapak membalas tentu saja, lalu kami terkekeh bersama. Kebiasaan sejak dulu entah kapan dimulainya. Hanya saja menyenangkan rasanya. "Makan yang banyak," ujar bapak. "Nanti makin gembrot aku gara-gara Bapak." Mas Jun berada di sebelah kananku sibuk meneguk kopi miliknya. "Ibu tadi katanya mau ngomong?" "Iya, Ibu sama Bapak mau ke Solo beberapa bulan nemenin eyang. Kalian kan tau eyang sakit, ya ibu sama bapak rencananya mau di sana dulu nemenin." Eyang kami memang sakit hampir sebulan ini. Aku tau ini memang bentuk tanggungjawab kedua orang tuaku sebagai anak. Namun, tetap saja rasanya sedikit berat. "Kan ada Bulek Bu?" "Ya, kan, Bulek kerja," sahut bapak. Mas Jun menyenggol kakiku. Aku meliriknya, jelas ia tak suka dengan protes yang aku lakukan. "Ya, kalau Bapak sama Ibu mau ke sana, nggak masalah. Asal jaga kesehatan juga di sana. Masalah Reina di sini sama aku tenang aja pasti aku urus." Mas Jun berucap sepertinya ia terima saja kepergian ibu dan bapak. Aku kini menyantap makan malam buatan bapak. Seraya menyimak pembicaraan di antara mas dan kedua orang tuaku. "Makannya kalian buru-buru nikah." Ibu selalu saja menyambungkan semua masalah dengan perkataan ini. "Mas Jun duluan, nggak ada yang mau sama aku soalnya." "Hush sembarangan!" seru semuanya kompak. Aku memang tak lagi berharap banyak pada hidup ini. Jodoh sepertinya masih jauh sekali. Lagipula, aku bahagia dengan menjalani hidup seperti ini. Sendiri, kemudian berusaha membahagiakan bapak dan ibu. Pernikahan bukan sebuah jawaban dan jalan keluar. Tak pula menjamin kebahagiaan, pada dasarnya kebahagiaan adalah kita sendiri yang membuatnya. Keyakinan diri, keihklasan menjalani hidup, juga bagaimana kita senantiasa bersyukur. Nikah memang perintah Tuhan, Allah SWT. Dan di usiaku yang kini dua puluh delapan tahun ini yang masih sendiri, itu juga takdir Tuhan kan? Tiada sesuatu terjadi di luar kehendak Tuhan yang maha esa. Benar? Bukan tak ingin, hanya tak terlalu berharap. Aku sadar diri, cantik? Enggak; seksi? Boro-boro; pintar? Biasa aja. Yang bisa aku banggakan dari diriku ini cuma semangat mau belajar aja. Aku bisa menghabiskan malam untuk mempelajari hal yang benar-benar ingin aku tekuni. Aku bisa berhari-hari melakukan itu, meski mengeluh aku akan mencoba lagi. Aku ratunya mengeluh, hanya di bibir saja. Setelah mood-ku kembali aku akan kembali belajar lagi. Aku yakin yang berbakat jika malas akan kalah dengan yang tekun dan giat. Jadi hai kalian orang berbakat! Malas saja terus, biar kami yang giat dan tekun yang menggantikan. Hahaha .... "Kamu enggak tau aja gimana cara Allah cari jalan perihal jodoh. Bisa jadi bulan depan ibu sama bapak dampingi kamu duduk di pelaminan," kata ibu diikuti anggukan oleh bapak dan Mas Jun. "Hiyih ...," ucapku Mas Jun mencubit pipiku, meminta aku ikut mengamini apa yang ia ucapkan tadi. "Aamiinn." "Aamiin," sahutku. Mengaminkan doa ibu semoga benar. Entah siapa, tetap saja aku tak berharap apa-apa. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD