Amadea

1119 Words
Ruangan berdekorasi coklat muda dengan meja kerja besar yang menutupi badan kursi di sisi jendela tertata manis dengan sofa berwarna salem di tengah ruangan lengkap dengan meja kaca, tak lupa sofa tidur lipat berwarna hitam di pojok ruangan pun melengkapi furnitur di ruangan tersebut. Di sekelilingnya terdapat beberapa pernak-pernik perabotan kecantikan, entah itu sampel produk perawatan, beberapa banner dengan model yang memamerkan surai indah mereka, serta jangan lupakan berbagai macam penghargaan yang terpasang di dinding. Ruangan yang biasanya memberikan efek nyaman bagi pemiliknya seketika dibuat mencekam pada saat pintu berbahan kayu penghubung ruangan dengan bagian luar terbuka secara kasar dan menampakkan wanita yang saat ini memasang raut marahnya, disusul kedua orang di belakangnya yang salah satunya mengenakan seragam karyawan sedangkan yang satu lagi pakaian hitam putih. “Siapa yang mau menjelaskan masalah penilaian di depan?” pertanyaan bernada datar segera dilontarkan bahkan sebelum pintu ruangan kembali menutup, membuat satu orang wanita berambut pendek sebahu berwarna pirang menatap waswas ke arahnya dan satunya lagi yang berambut sepunggung ikal menunduk takut. “Saya baru tinggal dua hari buat ke cabang Jakarta tapi penilaian customer udah berubah” wanita yang kini berhadapan dengan kedua karyawannya tak habis pikir bagaimana bisa kondisi seperti ini bisa terjadi, bukannya dia merasa jumawa mengenai pengelolaan salon yang menjadi tanggung jawabnya selalu terhindar dari kritikan, tapi hal ini baru pertama kalinya terjadi di kantor pusat yang seharusnya segala produktivitasnya lebih baik dari cabang lain. “Wirna!” karyawan berambut sebahu terperanjat sesaat ketika namanya dipanggil, mereka bertiga masih berdiri, tidak ada ucapan sekadar basa-basi yang dimaksudkan sebagai tawaran untuk duduk di sofa terlebih dahulu ataupun mengharapkan tawaran tersebut. Merasa panggilan namanya dalam masalah ini adalah kata lain dari jelaskan kronologis permasalahannya, akhirnya karyawan bernama Wirna menjelaskan dengan mencoba menjaga nada suaranya agar terlihat normal. “Kemarin ada customer yang minta diberi warna coklat gelap tapi campuran peroxide yang dipake salah takaran persen, Mbak. Jadi warna yang timbul lebih terang.” “Ada yang mau kamu tambahkan, Din?” pertanyaan bernada menekan memberikan efek jantung yang berdetak tidak normal bagi karyawan dengan name tag Dini. “Saya yang salah kasih campuran peroxide, Mbak” pengakuan Dini membuat wanita di depannya menutup mata sekilas. “Loh Din, sebenarnya kamu selama sebulan ini belajar apa sampai nggak bisa bedain berapa persen cairan peroxide yang benar?!” pertanyaan dengan nada tinggi di akhir kalimat dari atasannya membuat Dini merasa ciut di tempat. “Saya benar-benar minta maaf, Mbak” ucapnya terdengar bergetar. “Kamu pikir deh, kalau kejadian kayak begini ke ulang lagi, bisa-bisa nama baik salon pusat jatuh. Masa saya yang harus turun tangan jelasin ke kamu biar kamu hafal di luar kepala, kalau peroxide yang biasa kita pake 40% buat bleaching, 30% buat warna, 20% buat gelap dan 6% buat laminating. Buang waktu kalau kalau begitu. Kamu niat kerja nggak sih?” rentetan kekesalan dengan penjelasan di dalamnya membuat Dini kesulitan mengeluarkan suara walau hanya tanggapan –Iya- sekali pun. “Sebenarnya selain membawa cairan peroxide untuk saya, Dini juga sedang membantu Nilu mengambil masker rambut di gudang, Mbak” Wirna mencoba memberi pembelaan untuk karyawan bimbingannya yang sudah kelihatan mau menangis di sampingnya. Namun pembelaan Wirna membuat wanita di hadapannya memberikan tatapan tajam, jelas sekali masalah ini karena kecerobohan, teledor dan tidak teliti, istilah dari tiga kata bermakna tak baik yang sangat tidak disukai oleh wanita itu. Cairan peroxide memang sama semua warnyanya sehingga untuk membedakan hampir tidak bisa, apalagi pengambilannya dituangkan ke dalam wadah kecil tanpa ada tanda itu berapa persen karena nilai persen tertera di botol asalnya. “Saya tau niat kamu baik, tapi nggak semua niat baik itu harus terealisasi dengan mengenyampingkan kemampuan diri sendiri” jelas atasannya bermaksud mengatakan bahwa seorang trainee masih butuh banyak belajar, sehingga apabila sekiranya tidak bisa meng-handle dua pekerjaan di saat bersamaan jangan memaksakan diri. Meskipun multitasking sangat dibutuhkan dalam setiap kegiatan produktivitas tapi bagi seorang trainee seperti Dini, wanita di hadapannya masih bisa memberi toleransi. “Penanganan apa yang kamu lakukan?” Wirna yang merasa dirinya diberi pertanyaan pun menjawab dengan lugas. “Saya bertindak persuasif dengan mengatakan bahwa warna yang timbul di rambut customer malah terlihat lebih fresh dan membuat dirinya tampak lebih muda.” “Apa yang udah kamu kasih sebagai tanda maaf kita?” tanya wanita itu setelah sebelumnya menenangkan diri dengan menarik napas dalam, setidaknya leader karyawannya mampu membuat pikiran customer berubah. “Sesuai dengan prosedur La Beauté, Mbak. Saya memberinya voucer gratis perawatan rambut tiga kali selama sebulan” jelas Wirna dalam hati berucap syukur karena raut atasannya sudah tidak sekeruh sebelumnya. Namun di sisi lain hatinya merasa gondok karena dia sempat berpikir setidaknya customer tersebut tidak memberikan bad point di penilaian yang terpasang di sisi meja resepsionis salon ternama tempatnya bekerja. Terlebih menilik rayuan plus voucer yang telah diberikan sebagai kompensasi, apalagi warna yang timbul memang tidak buruk malah kelihatan lebih bagus. Siapa yang tahu customer tersebut pada akhirnya tetap memberi bad point? “Saya nggak mau kejadian ini keulang lagi, untuk sekarang kamu saya lepasin tapi jangan harap di kemudian hari saya berbaik hati.” Peringatan atasannya tidak langsung membuat Dini tenang namun dirinya sadar bahwa pergerakannya di salon ini tidak akan sama seperti sebelumnya. Dalam artian dirinya akan lebih mendapat pengawasan, tapi jauh di lubuk hatinya merasa amat sangat beruntung karena tidak mendapat sanksi. “Makasih, Mbak” ucap Dini seraya menundukkan kepalanya sekilas. “Jangan salah sangka” Dini mengernyitkan kening bingung. “Saya memang tidak memberi sanksi berupa financial yang dikeluarkan kantor terhadap biaya kompensasi, tapi saya minta kamu yang beberes satu minggu full baik sebelum opening maupun clousing La Beauté tanpa dibantu siapa pun.” Dini menelan ludah sulit sedangkan Wirna menatap karyawan bimbingannya prihatin. “Baik, Mbak” seru Dini pada akhirnya, setidaknya sanksi yang didapat cukup ringan daripada harus mengganti biaya perawatan salon. “Tugas kamu sekarang harus memastikan trainee yang kamu bimbing sudah hafal dasar-dasar pewarnaan” ucapnya menatap Wirna tegas. “Dan kamu” menatap Dini tak kalah tegas. “Ingat waktu yang diberikan La Beauté untuk trainning tidaklah lama, jadi kalau kamu main-main, sebelum saya keluarkan kamu secara tidak terhormat lebih baik kamu mengundurkan diri lebih awal” peringatan tak terbantahkan membuat Dini mengerut di tempat namun tak urung menganggukkan kepala. Setelah kedua karyawannya keluar, wanita yang mengenakan abstract dress designs mengambil langkah untuk duduk di kursinya. Dia pejamkan mata seraya menyandarkan kepala lebih dalam pada punggung kursi, mencoba menghilangkan sisa kemarahan yang ada di dalam hati. Terlihat meja yang lebih luas dari meja sofa di tengah ruangan, tertutup berbagai macam majalah dan berkas lainnya di beberapa bagian namun tak membuat papan nama di sudut tengah depan meja terhalang, malah terlihat kukuh di tempatnya. Amadea Jawala Saffanah Owner
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD