Gildan

1635 Words
Ruangan seluas seperempat lapangan sepak bola yang dibagi menjadi dua bagian, di sisi kanan dibuat menjadi tempat fitness dengan berbagai media olahraga sedangkan di sisi lain yang menjadi center, terdapat ruangan anggar yang saat ini terisi oleh dua orang yang sedang berhadapan dengan masing-masing pedangnya.   Tak lupa wasit yang berada lima meter di belakang mereka terduduk dengan papan nilai yang terhubung dengan elektromagnetik masing-masing pedang.   “Kali ini, Anda yang akan kalah sensei” seseorang yang berpakaian baju jaket putih dengan sarung tangan putih dengan percaya diri tersenyum miring walau tidak terlihat pasalnya wajahnya ditutup oleh masker.   “Talk less do more” seseorang yang mengenakan baju anggar berwarna hitam sama dengan warna sarung tangan yang dikenakannya membalas dengan nada tenang nan datar.   Mendengus kesal, anggar berbaju putih meminta kepada wasit agar pertarungan segera dilaksanakan.   “En garde” satu kata terucap pertanda masing-masing lawan diharuskan sudah bersiap. “Allez!”   Trak   Trak   Trak   Bunyi pedang yang saling bersahutan baik dengan kedua pedang maupun pedang yang mengenai baju jaket yang berbahan metal karena permainan anggar yang mereka lakukan kali ini adalah anggar degen (epée), di mana pedang yang digunakan pun berbeda dengan dua jenis anggar lainnya sedangkan pada bagian leher dilindungi dengan semacam terpal lunak yang disebut bib.     Pedang yang beratnya sekitar 750-770 gram dengan panjang 90 sentimeter berbentuk segitiga dan berparit, saling beradu menimbulkan poin bagi masing-masing lawan, olahraga alat ini memang dinilai dari seberapa banyak ujung pedang mengenai bagian yang diperbolehkan.   Masing-masing jenis anggar terdapat beberapa aturan batasan mengenai pedang, di mana untuk anggar degen, dari ujung kepala sampai ujung kaki diperbolehkan dikenai pedang.   Anggar berbaju putih tampak kesal ketika lawannya mengenai beberapa bagian torso pada dirinya, torso adalah bagian tubuh berupa serambi, perut, bawah perut dan bahu depan.   Tak mau kalah dirinya segera mengambil gerakan membungkuk dengan kedua kaki bersiaga sedangkan kedua tangan mengarah pada titik torso lawan yang terlihat renggang, namun gerakannya terbaca oleh anggar berbaju hitam yang segera meliukan tubuh dan menghunuskan pedangnya ke arah plastron –pelindung ketiak- anggar berbaju putih.   Terkejut dengan gerakan yang tak terduga, anggar berbaju putih pun melemas, meluruh ke lantai.   “Lose” ucap anggar berbaju hitam dengan pedang yang ditujukan dengan posisi sempurna ke arah masker anggar berbaju putih.   “Yeah, you lose” nada penuh kemenangan dengan pedang foil yang mengarah padanya membuat pandangan anggar berbaju putih segera mengalihkan pandangan ke sisi kanan di hadapannya.   Cengiran khas dengan gigi rapi terlihat di wajah anak laki-laki yang masih mengenakan pakaian playgroup, bahkan tas ranselnya masih dia gendong, rupanya tampan walau masih kecil, apalagi bila sudah besar nanti.   “Ulangi” pekik anggar berbaju putih yang sudah membuka kasar maskernya, masih dengan posisi tubuh terbaring sebagian di lantai, menatap memohon anggar berbaju hitam yang malah dibalas kekehan kecil anak playgroup di hadapannya.   “Kalau kalah harus terima, Ongkel. Kata Ayah, pertarungan bukan hanya menang atau kalah tapi rendah hati dan ikhlas diri” nasihat dari anak kecil di hadapannya yang sudah menarik pedang dari wajahnya, membuat anggar berbaju putih memasang wajah masam.   `Seperti dia tau arti rendah hati dan ikhlas diri` batinnya, tapi segera ditepis mengingat anak kecil di hadapannya ini sudah cerdas dari lahir, memang berlebihan tapi kenyataannya, saat usianya satu tahun lebih saja dia sudah bisa mengingat nama-nama benda dan berhitung walau harus dituntun terlebih dahulu.   Tapi karena niat hati ingin menggoda anak kecil yang tampak lebih dewasa dari umurnya ini, akhirnya pertanyaan bermakna menguji pun terlontar. “Memang Asdan tau, apa itu rendah hati dan ikhlas diri?”   “Kata Ayah” serunya seraya sekilas melirik anggar berbaju hitam yang sudah menarik pedang dari anggar di hadapannya. “Yang menang nggak boleh sombong jadi harus rendah hati terus yang kalah harus terima kekalahannya, itu yang namanya ikhlas diri.”   “Jadi Ongkel Anjar yang ikhlas ya” tepukan kecil beberapa kali di bahu kanannya membuat laki-laki bernama Ginanjar, meremas kedua tangannya ke arah anak kecil di hadapannya, gemas.   Anggar berbaju hitam pun membuka maskernya membuat sepasang mata tajamnya terlihat. “Dengar nasihat keponakanmu” Ginanjar mendengus kesal namun tidak dihiraukan oleh anggar berbaju hitam yang saat ini sedang mengelus sayang anaknya, menanyakan sejak kapan berada di ruangan itu.   “Kakak! Ulangi ya, pasti menang kali ini” seruan dari Ginanjar tidak dihiraukan kakaknya yang saat ini lebih memilih menggendong anaknya, membawanya menjauhi Ginanjar yang tampak masih tak terima, terbukti dengan dirinya yang menendang hampa kedua kakinya ke depan.   |||   “Kak!Kak!Kakak!” seruan yang tak habis terucap dari tadi baik di ruang olahraga, mobil sampai mereka sudah berada di sebuah ruangan di dalam gedung besar ini, membuat kakaknya yang masih menggendong anaknya namun dengan pakaian formal yang sudah dikenakan, menghentikan langkah kakinya.   “Ada apa? Kamu nggak malu sama umur?” Ginanjar yang sudah berpakaian casual dengan tatanan rambut khas anak muda memberengut tak suka.   “Sadam, tolong undur lima belas menit pertemuan dengan para Direksi” perintah yang ditujukan untuk laki-laki berpakaian formal tak jauh di hadapannya yang merupakan wasit dipertandingan tadi sekaligus menjabat sebagai sekertaris kakaknya membuat Ginanjar tersenyum senang, ucapan sang kakak pertanda dirinya diperbolehkan berbicara dengan kakaknya atau lebih tepatnya, dirinya bisa memelas meminta belas kasih.   Di ruangan bernuansa hitam putih dengan sudut kanan bagian sayap kiri yang sengaja didekorasi lebih cerah karena terdapat beberapa perabotan mainan anak kecil, terlihat kedua orang laki-laki dewasa yang sedang beradu pandang sedangkan anak kecil di antara mereka tampak asyik memainkan mobil-mobilannya.   “Jadi?” gerakan gugup dengan kedua tangan saling meremas membuat kakaknya yang sudah duduk di belakang meja kebesarannya, sekilas memandangnya datar.   Laki-laki di hadapannya bahkan hanya kakaknya tapi auranya lebih menakutkan dari orangtuanya sendiri.   “Sebelas bulan” Ginanjar menunjukkan wajah tak percayanya. “Tiga belas bulan” tawar Ginanjar membuat mata tajam kakaknya tampak diarahkan padanya.   “Sembilan bulan” Ginanjar membulatkan mata bersiap protes. “Yang ada ditambahin bukan dikurangin, Kak!” melihat kakaknya hanya menatap tajam. Ginanjar menarik napas, memutuskan mengalah. “Setahun deh Kak. Tuh udah aku kurangin. Kasih izin ya?” tanyanya berharap peruntungan.   “Delapan bulan” Ginanjar sudah ketar-ketir di tempat, harusnya dia paham bahwa kebaikan kakaknya tidak bisa dikompromi. Melihat raut adiknya yang kembali ingin memprotes, kakaknya pun menyela terlebih dahulu.   “Enam bulan atau tidak sama sekali” keputusan final dari laki-laki yang sudah beranjak dari kursinya membuat Ginanjar memasang wajah nelangsa, walau tak puas tapi dirinya harus tetap bersyukur. Ginanjar berlari untuk menggendong keponakannya dengan berputar sesekali.   “Dengar keponakan tertampan Ongkel” anak kecil di gendongannya yang tampak terkejut namun memilih membiarkan saja dirinya digendong paksa oleh Ginanjar hanya memperlihatkan raut tanya.   “Ongkel bisa ikutan penelitian!!!” pekikan girang Ginanjar membuat keponakannya menutup kedua telinganya. “Kamu membuat telinganya mendengung” teguran dari kakaknya disambut cengiran bersalah dari Ginanjar namun hanya sesaat.   Karena setelah itu, Ginanjar menyerahkan keponakannya ke gendongan kakaknya sedangkan dirinya pamit undur diri, pergi dengan sesekali melompat dan memukul hampa tangan kanannya ke atas.   “sss!!! I am coming” pekikan terakhir terdengar begitu Ginanjar menutup pintu ruangan kakaknya, meninggalkan keponakannya yang menatap dirinya bingung sedangkan sang kakak hanya menggelengkan kepalanya pelan.   Memang Ginanjar berlatih salah satu olahraga fisik plus otak -Anggar- hanya untuk mengalahkan kakaknya agar diberi izin mengikuti penelitian di sungai sss bersama beberapa kawannya yang terhubung dalam sebuah organisasi global.   Walau akhirnya dirinya kalah tapi setidaknya kakaknya mau memberikan izin, padahal waktu penelitian seharusnya dilakukan selama satu setengah tahun, tapi tidak apa, setidaknya dirinya dapat mengikuti rangkaian awal dan akan memberikan hasil yang terbaik.   Beberapa tempat liar memang sudah organisasinya tapaki dan karena tahun depan, dirinya dan beberapa angkatannya di wisuda, membuat organisasinya ingin sesuatu yang berbeda, yaitu membuat petualangan di salah satu paru-paru dunia terbesar itu.   Membayangkan bila kakaknya tidak memberi izin membuatnya hampir gila, pasalnya untuk meyakinkan beberapa pihak kampus sangatlah susah, hampir dua tahun izin yang diajukannya terbengkalai di ruang profesor, namun dirinya tak kalah banting, sebelum misi terealisasi tidak ada kata pasrah diri.   Sudah mengantongi persetujuan profesor tak begitu saja dimuluskan, terlebih kakaknya yang menolak keras rencana penelitian, membuatnya mengambil tindakan menantang kakaknya di area anggar pribadi milik kakaknya yang terletak di bagian rumah mewahnya.   Masalah orangtua? Bila kakaknya menyetujui pastilah orangtuanya pun setuju.   “sss itu apa, Ayah?” dengan nada kelewat penasaran pertanyaan terlontar. “Nama hutan plus sungai terbesar dan terpanjang kedua di dunia” balasan dari sang ayah membuat anak laki-laki bermata coklat jernih membulatkan mulutnya.   “Ongkel keren! Asdan juga mau ikut!” pekiknya, memaksa turun dari gendongan ayahnya dan mengejar Ginanjar.   Sedangkan laki-laki bermata tajam yang ditinggalkan seorang diri hanya menghela napas. Bahkan adiknya tidak dia biarkan begitu saja pergi ke bagian bumi antah berantah, itu yang sudah berpengalaman ke dunia luar. Apalagi anaknya? Jelas tidak!   Walau sudah besar sekali pun.   Entah dari mana asalnya Ginanjar sangat suka hal-hal berbau ekstream padahal jurusan yang dia ambil sampai mau wisuda strata dua adalah Programmer dan dia lebih fokus ke Networking Engineering.   Bahkan tahun kemarin Ginanjar sudah mendapatkan sertifikat CCNA (Cisco Certified Network Associate) sedangkan saat ini dalam proses mendapatkan sertifikat CCNP (Cisco Certified Network Professional) yang adalah sertifikat yang lebih dikembangkan oleh Cisco System.   Faktor organisasi dirasa menjadi hal utama yang memacu adrenaline-nya.   Berbeda dengan dirinya yang dari awal sudah mengambil Arsitektur sebagai pilihan bahkan mengambil lanjutan master di negara yang memiliki pentolan menara jam empat sisi dengan lonceng terbesar di dunia, namun saat mengambil program studi lanjutan akhir, dirinya malah harus terjun ke dunia bisnis, sehingga Management Bussiness menjadi akhir dari pendidikannya.   Tersenyum simpul, anaknya pastilah saat ini sedang merengek kepada adiknya untuk ikut dan tentu saja Ginanjar akan menolak keras dengan berbagai macam rayuan dan iming-iming lainnya.   Memilih mengambil langkah keluar untuk ke ruang meeting. Laki-laki tampan tersebut terlebih dahulu mengambil berkas di atas meja yang terdapat papan nama kaca mengukir namanya.     Gildan Syiden Kawirya Chief Executive Officer
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD