Bab 9 Acara Minum Teh Bersama Utusan Kekaisaran

1187 Words
Dari jauh, Anne bisa melihat ayahnya tengah berbincang dengan seorang lelaki berumur tiga puluhan di meja taman. Lelaki asing itu memakai seragam hitam dengan hiasan ukir emas di dadanya, dan sebuah jubah merah menutupi sebagian seragamnya dan ujungnya menyentuh lantai. Auranya terlihat formal, elegan, berkelas, tapi santai. Apakah itu utusan dari kekaisaran? batin Anne, penasaran. Dulu ia memang seorang psikologi, meski psikolog kriminal. Tetap saja ia tanpa sadar masih suka menganalisis orang lain. Padahal ia juga sudah memutuskan akan pensiun dari hal-hal terkait pekerjaannya di masa lalu. Ia hanya ingin hidup tenang sepanjang sisa hidupnya di dunia baru itu. "Oh! Putriku! Kemarilah!" seru sang ayah dengan wajah begitu cerah ke arahnya. Anne melirik ke arah tamu kekaisaran, lalu membungkuk memberi salam sejenak. Ibunya juga melakukan hal yang sama dengannya di sampingnya, kemudian dengan senyum lebar, Calista menggandeng Anne menuju kursi kursi di meja itu. "Maaf membuat anda lama menunggu, Perdana Menteri!" ucap Calista selembut mungkin. Anne hampir terjengkang dari kursinya mendengar perkataan sang ibu, untungnya tangannya mencengkram kuat bagian bawah meja. Perdana Menteri? Pria ini bukan utusan biasa! pekik Anne dalam hati. Matanya melirik sang ibu yang tersenyum berbinar dan sesekali tertawa kecil malu-malu. Ada yang aneh! Kenapa seorang Perdana Menteri datang jauh-jauh dari istana kekaisaran hanya untuk melakukan kunjungan rutin pada bangsawan seperti mereka? Bukankah masih ada Grand Duke lainnya yang lebih besar wilayah kekuasaannya untuk lebih diperhatikan? Apa hubungan keluarganya dengan pihak kekaisaran? Apakah bangsawan Barnett adalah bagian dari keluarga kekaisaran? Jika tidak, itu artinya ayahnya memiliki posisi penting di bidang kemiliteran kekaisaran. Anne sepertinya harus cepat-cepat menyelidiki banyak hal tentang keluarganya dan dunia barunya. Masalahnya, bagaimana ia bisa melakukannya sementara ia menjadi burung dalam sangkar emas? Pikiran Anne sibuk melayang jauh tentang bagaimana cara keluar dari mansion tanpa ketahuan meski seolah terlihat menyimak percakapan, sang tamu istimewa menegurnya setelah beberapa menit berlalu. "Benarkah itu, nona Anne?" "Hmm?" Mata mereka berdua bertemu. Tersirat kebingungan hebat di kedua bola mata Anne, dan sang tamu tampak ikut-ikutan bingung dengan reaksinya. Melihat ini, buru-buru Calista menginterupsi. "Kurasa Anne masih belum pulih benar. Ia kadang masih linglung dengan keadaan sekitarnya. Tolong maafkan, dia, Yang Mulia!" "Oh! Benar juga. Demam tinggi dan kelelahan tak bisa diremehkan. Aku pernah mendengar beberapa prajurit yang tengah menjalankan tugas mengawal barang dagangan dari daratan Benua Timur memiliki gejala yang sama. Mereka meninggal karena terlambat ditangani. Kuharap dokter Marvin dan kawan-kawannya bisa menemukan obat demam baru yang lebih manjur suatu hari nanti." "Tentu saja, Yang Mulia. Semoga begitu." Calista tersenyum ramah, walau diam-diam keringat dingin menuruni punggungnya. Berbeda dengan sang ibu, ayah Anne tampak santai. Ia memasang wajah tegas dan berwibawa miliknya, dan berkata dengan nada penuh perhatian, "Anne adalah gadis dengan penuh keberuntungan. Kalau hanya sekedar demam dan kelelahan tidak akan membunuhnya. Daya tahan tubuhnya kuat. Dokter Marvin mengakui hal itu!" Tak disangkanya ternyata ayahnya sedikit sombong juga! Anne hanya bisa tertawa pelan dan canggung. Selama hampir sebulan di keluarga Barnett, ia baru mengendus ada yang aneh dari mereka. Seolah ada rahasia besar yang mereka tutupi mati-matian darinya, entah demi apa. Namun, jika hal itu diketahuinya sepertinya bukan hal yang bagus. Ia berharap dugaannya salah. Jika kakaknya ada sini, mungkin akan lebih mudah membujuk kedua orang tuanya dengan cara memintanya menjadi sekutu. Kakaknya, Theodorus Barnett, juga sama sayangnya padanya. Itu terbukti dari surat yang dikirim untuknya secara teratur dengan isi yang penuh perhatian dan kasih sayang yang melimpah. Ada dua kotak berisi surat-surat dari kakaknya, jika saja ada yang melihat surat itu, mungkin dikiranya itu adalah surat sepasang kekasih. Begitu wangi dan ditulis rapih penuh kepedulian yang tinggi. Theodorus atau biasanya dipanggil dengan sebutan Theo oleh para penghuni mansion adalah lelaki bertubuh tinggi tegap dan tampan. Saking luar biasanya fisik dan rupa sang kakak, jantung Anne berdebar tak karuan. Ia malu sendiri memikirkannya. Apakah ia kini tiba-tiba mengalami brother complex*? Sial! Kakaknya terlalu ikemen** sekali! ______ *Perasaan suka yang berlebihan pada saudara laki-laki sampai bisa menjadi rasa cinta **Pria tampan dan seksi Saat dulu ia berkeliling mansion, lalu tak sengaja melihat sosok kakaknya yang mengenakan seragam tugas pada sebuah lukisan keluarga, keningnya sedikit berkerut. Selain kagum dengan ketampanan putra keluarga Barnett. Sayang sekali mereka adalah kakak-adik! Mungkin ia akan mendekati kakaknya sebagai Sayako, bukan Anne Barnett! Namun, hal yang menganggunya adalah warna rambut Theo. Rambut sedikit lebih cerah jika dibandingkan dengan miliknya. Kedua orang tuanya pun lebih menyerupai rambut sang kakak. Kenapa hanya ia yang sedikit lebih gelap jika diperhatikan lebih saksama? Apa mungkin Anne adalah anak angkat? Dalam hati, ia tertawa geli memikirkannya. Jika benar mereka bukan saudara kandung, apaka ia boleh menjalin hubungan dengannya? Pikiran gila dan menantang mulai mengisi otaknya. Tapi itu tidak mungkin! Sungguh mereka terlalu baik jika memperlakukan perempuan yang bukan putri kandungnya dengan cara seperti itu! batinnya dengan hati yang agak dihinggapi perasaan seolah sedang lari dari kenyataan. Ia dan Theo adalah anak-anak keluarga bangsawan Barnett! Kenapa ia mesti meragukan hal itu? Apakah pikiran anehnya itu gara-gara efek dari tinggal nikah oleh Shinji? Ia seperti orang tidak tahu malu! Bukankah ia sudah membulatkan tekad hidup sebagai perawan yang tidak tergoda oleh nafsu? Syukur-syukur sekarang hidupnya sangat terjamin meski bagaikan burung dalam sangkar. Bukankah di dunia modern juga ada banyak yang seperti itu? Selama jamuan minum teh itu, Anne tak berbicara sampai tiba saatnya sang utusan pamit. Calista, ibunya, mewakilinya dalam setiap pembicaraan yang ada. Dengan isi kepalanya yang campur aduk, ia yang sibuk sendiri bergulat dengan begitu banyak pertanyaan ajaib membuat semua kata-kata di meja taman berlalu layaknya angin sepoi-sepoi di hadapannya. Masuk telinga kanan, keluar telinga kiri! Dan untuk menutupi ketidaksopanannya itu, ia tersenyum balik pada siapa saja yang menatap ke arahnya sambil tersenyum. Setelah pamit dengan sedikit basa-basi, sang utusan kekaisaran yang ternyata adalah Perdana Menteri yang Anne tak ingat siapa nama beliau sejak acara dimulai, mengingatkan ayahnya dengan cara berbisik. "Aku harap pesta dansanya bisa berjalan lancar." "Tentu. Yang Mulia. Saya akan memastikan hal itu berjalan sebagaimana mestinya!" Ayah Anne membungkuk memberi hormat pada Perdana Menteri yang mulai menaiki kereta kudanya. Anne yang berdiri di belakang bersama ibunya yang mengamit lengannya hanya bisa terbengong-bengong. "Pesta dansa?" "Iya. Pesta dansa kekaisaran." Ibunya tersenyum bersemangat padanya. "Pesta dansa kekaisaran?" Anne mengalihkan pandangannya dari ibunya ke ayahnya yang tengah melambai pada kereta kuda yang makin menjauh dari gerbang mansion. Ia tak mengerti, apa urusannya ayahnya yang seorang Grand Duke mengurusi sebuah pesta dansa kekaisaran? Bukankah ayahnya hanya terjun ke hal-hal terkait militer kekaisaran? Apakah ada rencana jahat yang berusaha merusak pesta itu, makanya ayahnya ikut andil? Benar! Mungkin saja begitu! Ia terlalu berlebihan dan paranoid telah memikirkan hal yang bukan-bukan selama ini! Anne menggeleng pelan dengan tawa kecilnya, geli dengan prasangka tak berdasarnya. Ayahnya bertugas di bagian kemiliteran, rasanya masuk akal jika keamanan keluarga sang pemimpin kemiliteran kekaisaran menjadi perhatian pihak istana. Jika tak bisa melindungi keluarganya sendiri, bagaimana bisa melindungi kekaisaran? Hatinya tiba-tiba menjadi lega. Begitu rupanya. Otaknya terlalu lambat mencerna situasi. "Anne? Kenapa kau tertawa?" tanya ibunya heran. "Bukan apa-apa, bu. Aku hanya senang acara hari ini berjalan lancar." Ibunya tersenyum lebar, tampak bangga dan cerah. "Ya. Kau benar. Syukurlah demikian!" Calista menggamit kuat lengan sang anak dengan rasa gemas dan senang di saat bersamaan. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD