Prolog
Salam dari kota The Port Of Java atau Pelabuhannya Jawa, Semarang. Ibu kota Jawa Tengah. Lebih tepatnya di tengah keramaian manusia, ratusan besi dan baja, serta di tengah kebahagiaan warga sipil. Aku diam mematung, menyaksikan seorang pria yang telah lama meninggalkanku untuk yang lebih dicintainya, yaitu seuatu yang amat kubenci di masa lampau. Cinta yang telah merebut priaku.
Setelah tujuh tahun berselang, setelah dia meninggalkanku, kini kami bertemu kembali dalam keadaan yang tidak terduga. Setelah tanpa kabar bak hilang di telan Ibu Pertiwi, kini dia tetap diam tanpa mengatakan apapun. Apapun, apapun yang seharusnya perlu dia jelaskan saat ini, atau sejak awal memang tak ada yang perlu dia jelaskan.
Mataku menatap bola mata hitamnya dalam, sedalam dulu, sebelum dia memilih cinta yang lain. Bola mata itu tetap menyimpan sejuta kesejukan untuk siapa pun yang menatapnya. Bola mata hitam itu tidak banyak berubah, justru semakin tajam saja menyeruak perasaanku yang sedianya hampir redam.
Aku terdiam karena lidahku kelu tapi telingaku terbuka lebar seperti mataku. Aku harap ada yang bisa aku dengar selain riuh para warga sipil. Setidaknya, "Apa kabar?" yang akan membuat perasaanku kembali mengaung-ngaung dan meruntuhkan dinding-dinding kokoh yang kubangun. Haruskah aku yang bertanya padamu, "Apa kabarmu? Lama tak berjumpa, wahai masa lalu."
- Sad Satya Sri Sena
***
Tujuh tahun yang lalu aku meninggalkan seorang perempuan cantik karena cinta yang lain. Cinta yang membuatku bahagia tetapi juga cinta yang dia benci mungkin hingga mati. Perempuan itu adalah dia yang sekarang berdiri di hadapanku. Mematung sama sepertiku, matanya yang tiba-tiba sendu pun membawaku pada kenangan indah masa itu. Masa saat aku berbunga-bunga hanya dengan melihat senyum manisnya.
Lidahku kaku, bibirku terkunci, mataku tajam menatap mata yang telah lama tidak aku lihat dan kian menit kian sendu itu. Tidak ada bagian tubuh luarku yang bergerak, hanya organ dalam khususnya jantung yang terus berolah raga di siang bolong. Jantungku masih sama seperti saat terakhir aku meninggalkannya.
Aku telah memilih cinta yang lain, tetapi jika aku harus jujur aku masih saja merindukannya, bahkan lebih dalam dari kerinduanku saat dia masih menjadi milikku. Rindu itu semakin dalam tapi aku berhasil menidurkannya karena tak ada pertemuan di antara kami, akan tetapi sekarang ini, aku ingin sekali memeluknya seperti saat terakhir aku harus meninggalkannya.
Tidak, tidak, aku tak boleh membiarkan rinduku terbangun. Dia terlihat baik-baik saja tanpaku, tak seperti hari di mana aku harus meninggalkannya demi cintaku yang lain.
- Manggala Yudha
***
Hai, anak muda yang sedang hanyut dalam masa lalunya. Mengapa tak duduk dan saling menanyakan kabar? Mengapa tak saling tersenyum bila perasaan itu masih tersisa? Mengapa tak saling mengungkapkan maaf apabila ada yang harus diperbaiki? Mengapa hanya berdiri mengganggu pengunjung pameran? Duduk lah, selesaikan perkara yang terjadi hari itu, berdamai lah!
Oh, haruskah melihat pada masa lalu? Mengapa cinta yang berapi-api kala itu menjadi dingin?