Aman untuk Terbang?

1708 Words
Hukumannya telah ditentukan, waktu pelaksanaan hukuman juga ditetapkan. Bahkan lengkap dengan atribut hukuman. Iya, sampai harus mengenakan atribut hukuman. Ia diharuskan memakai baju khusus untuk orang-orang yang mendapatkan hukuman. Baju khusus tersebut memiliki tulisan yang disablon cukup besar. Bertuliskan kalimat “Saya Tidak Akan Melanggar Aturan Lagi”. Baju berwarna putih dengan sablonan hitam itu kini telah melekat ditubuh Richelle. Saatnya ia melaksanakan hukuman berupa berjalan keliling gedung perumahan yang ia tinggali sebanyak tiga kali. Orang-orang pada melihatnya. Ia seolah dijadikan tontonan oleh keputusan yang dibuat Manggala. Ia disuruh berjalan mengelilingi rumah di jam 9 pagi, saat matahari sudah mulai bersinar dengan terik. Richelle sungguh merutuk dalam hati sambil ia melakukan hukumannya. Sebenarnya bukan jalannya yang membuat ia kesal. Kenyataan bahwa ia ditonton layaknya orang gila itulah yang membuat ia ingin sekali kabur. “Berjalanlah dengan langkah kaki yang normal. Jangan berlari.” Terdengar suara pria itu memerintah. Orangnya bahkan tak kelihatan, tapi suaranya terdengar dengan bantuan pengeras suara. Richelle bahkan tak tahu di mana pria itu saat ini, hanya perintahnya yang kedengaran. “Kau juga dilarang berjalan cepat. Berjalanlah biasa saja.” Apakah aku sedang dilatih militer? Dasar tak punya hati! Bisa-bisanya dia menghukumku seperti ini, padahal aku sedang hamil. Ternyata wajah sok ramah itu hanya kebohongan. Rupanya dia bersembunyi di balik topeng senyum palsunya itu. Aslinya dia sangat kejam. Bulir-bulir keringat tampak jelas di kening wanita itu saat ia berhasil menuntaskan hukumannya. Ia menengok ke kanan dan ke kiri untuk mencari keberadaan Manggala. Ingin melaporkan langsung pada pria kejam itu bahwa ia telah menyelesaikan hukumannya. “Mencari siapa celingak-celinguk seperti itu?” tanya Bu Irina, wanita itu telah memantau Richelle menjalani hukumannya. “Atau ada sesuatu yang salah?” “Tidak, saya hanya mencari keberadaan Pak Manggala. Tadi saya mendengar suaranya terus memperingatkan kalau saya dilarang berlari atau berjalan cepat. Makanya saya ingin bertanya padanya apakah saya sudah melakukannya dengan benar atau belum. Jangan sampai saya disuruh mengulang hukuman ini lagi karena tak sesuai dengan keinginannya.” “Pak Manggala sudah meninggalkan rumah,” jawab Bu Irina. “Beliau meninggalkan rumah kurang dari lima menit yang lalu.” “Oh ….” Hanya kata oh yang terdengar kecewa yang meluncur dari mulut Richelle. Ia pikir pria itu akan menungguinya hingga Richelle menyelesaikan hukuman yang diberikan pria itu. Ternyata pria itu bahkan tak peduli, buktinya ia pergi saja tanpa menunggu Richelle selesai. “Hukuman Bu Richelle sudah selesai, saya harap Bu Richelle tidak mengenakan seragam hukuman itu lagi,” ujar Bu Irina. “Silakan kembali beristirahat.” “Terima kasih, Bu Irina.” Begitu sampai di kamar, Richelle langsung merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Mengistirahatkan tubuhnya yang kelelahan. Ia sempat bermain HP sejenak sebelum ia tidur tanpa sadar. Gara-gara kelelahan, ia sampai tertidur begitu saja. Wanita hamil itu baru bangun di jam setengah dua belas siang. Ia kaget saat melihat jam. “Aku tidur selama itu?” Ia menggelengkan kepala. “Gara-gara pria kejam itu aku sampai tepar begini. Hanya karena aku mengidam dan begini jadinya. Aku sampai dihukum seperti anggota militer. Apa jangan-jangan orang itu jebolan militer, makanya aturan-aturan di rumahnya sangat ketat. Kalau ada yang melanggar langsung dihukum dengan kejam tanpa mempertimbangkan kondisi orang yang dihukum.” Wanita itu baru meninggalkan ranjangnya setelah ia puas mengomel. Aktivitas selanjutnya yang ia lakukan adalah mandi dan selanjutnya siap-siap untuk makan siang bersama. Harus ia pastikan kalau bayinya bisa diajak makan apa saja. Kalau bayinya punya ngidam-ngidam aneh, kasihan sekali. Pasti tak akan terpenuhi karena tak ada kebijaksanaan untuk ibu hamil. “Kau baik-baik saja?” Sarah bertanya saat ia bertemu Richelle di koridor. Mereka berjalan beriringan menuju ruang makan. “Aku seperti pingsan. Habis dihukum tadi aku langsung tidur dan baru saja bangun.” “Beginilah di sini, aturannya sangat ketat. Kupikir mereka akan mempertimbangkan kondisimu yang sedang hamil, rupanya tidak.” Richelle menghela napas panjang. “Aku hanya berharap bayiku selalu sehat dan tak punya keinginan-keinginan aneh selama aku berada di sini.” “Pengumuman! Pengumuman!” Terdengar pengumuman begitu Richelle dan Sarah hampir memasuki ruang makan. “Siang ini koki libur atas perintah Pak Manggala. Jadi, tidak ada makanan yang disajikan oleh koki untuk siang ini.” “Apa?” “Yah.” “Kok mendadak begini pemberitahuannya?” “Jadi, kita makan apa dong?” Suara riuh mulai terdengar di ruang makan. Pegawai-pegawai yang sudah menanti karena kelaparan terdengar mendendangkan protes mereka. “Pasti gara-gara orang baru itu.” Seseorang menunjuk ke arah Richelle. “Kepala koki pasti marah besar gara-gara dia memesan makanan dari luar. Kepala koki merasa diremehkan. Makanya mereka tidak mau memasak.” “Orang baru sudah bikin masalah.” “Kalau sudah begini, apa kau bisa bertanggung jawab?” “Apa kau bisa memberi makan orang-orang yang sudah kelaparan ini?” Richelle diserang dengan kata-kata kasar. Orang-orang jadi menyalahkannya. Membuat ia ingin sekali melarikan diri. Baru juga masuk ke ruang makan, tapi ia sudah ditunjuk-tunjuk oleh orang-orang yang kesal padanya. “Tapi, Richelle sudah dihukum karena pelanggarannya.” Sarah membela. “Pak Manggala sendiri yang sudah memberikan hukuman. Richelle juga sudah menyelesaikan hukuman itu.” “Tetap saja, kalau dia tidak bertingkah, para koki pasti akan tetap memasak seperti biasanya.” “Perhatian! Perhatian!” Suara dari arah luar terdengar. Membuat mereka secara otomatis memfokuskan pandangan ke sumber suara. “Ini makan siang kalian. Koki tidak masak hari ini, sebagai gantinya Pak Manggala memesankan makan siang untuk kalian.” Pemilik suara itu muncul dengan kantong merah besar di masing-masing tangannya. Membawa makan siang. Di belakang pria itu muncul pria-pria lainnya yang juga membawa kantongan besar berisi makanan. “Makanan dari luar?” Salah seorang bertanya. “Benar, Pak Manggala sendiri yang memilihkan jenis makanannya.” Dalam sekejap, kumpulan wanita-wanita itu sudah mengerumuni makanan. Seolah takut sekali kalau tak kebagian. “Yang teratur, yang rapi, semuanya akan kebagian! Apa kalian lupa dengan aturan dari Pak Manggala? Jangan menyambar makanan selayaknya hewan buas. Bertindaklah seperti manusia!” Peringatan pria yang membawa makanan itu membuat para pegawai wanita itu langsung bergerak mundur dan mengambil barisan dengan rapi. Makanan dibagikan dengan teratur. “Ayo kita mengantri.” Sarah meraih tangan Richelle. Tak terlalu lama ia dan Sarah mengantri hingga akhirnya mendapatkan jatah makan siang. Richelle mengamati makanan yang ia terima itu dengan perasaan campur aduk. Bingung, terharu, sempat merasa kesal juga, tapi ia juga bersyukur. Makanan di tangannya itu adalah rice bowl. “Kenapa? Kok gak makan?” tanya Sarah saat ia dan Richelle sudah mendapatkan kursi di ruang makan. “Ini makanan yang tidak sempat kumakan kemarin siang. Ini makanan yang sangat ingin kumakan sampai aku dihukum.” Sarah tersenyum. “Dan hari ini kamu mendapatkannya. Rezeki Si Kecil,” ucapnya sambil menyentuh perut Richelle. “Kebetulan sekali Pak Manggala memilihkan makanan yang sama dengan makanan yang kamu inginkan. Alhamudillah ngidamnya keturutan, bayi kamu gak bakalan ileran kalo nanti udah lahir.” Apa ini? Apa pria itu merasa bersalah sudah menghukum ibu hamil seperti dirinya? Makanya sekarang ia membayar rasa bersalahnya itu dengan meliburkan para koki dan memesan rice bowl yang Richelle inginkan. Ah, jangan terlalu banyak berharap. Seperti yang dikatakan oleh Sarah, kebetulan Pak Manggala memilih makanan yang sama. Iya, kebetulan. Kebetulan, tapi … sungguh Richelle amat terharu dibuatnya. “Richelle.” Seseorang memanggil saat Richelle tengah mengunyah makan siangnya. “I-iya.” Ia menjawab walau agak tak jelas suaranya. Kepalanya menoleh ke sumber suara. “Kamu diminta untuk ke ruang kesehatan setelah makan siang.” Richelle meraih gelas berisi air minum lebih dulu sebelum ia mempertanyakan alasan kenapa ia dipanggil untuk menghadap ke ruang kesehatan. Diteguknya air minum tersebut sehingga makanannya terdorong masuk. “Ruang kesehatan?” “Iya, kamu di minta untuk melakukan pemeriksaan untuk memastikan kondisimu apakah memungkinkan untuk melakukan penerbangan malam ini.” “Baiklah. Terima kasih informasinya.” “Sepertinya kamu sudah mulai akan bertugas,” tutur Sarah. “Bagaimana rasanya menjadi pramugari? Jujur saja, aku selalu sangat mengagumi pramugari. Tiap kali aku naik pesawat aku selalu menaruh kekaguman pada pramugari. Mereka cantik, mereka berkomunikasi dengan bahasa yang sopan. Waktu aku kecil aku ingin menjadi pramugari. Walau setelah besar aku memilih jalan lain.” Richelle sedikit tertawa. “Apa kau tau alasanku masuk pramugari?” “Apa?” tanya Sarah dengan penasaran. “Karena pramugari itu cantik. Alasanku hanya itu, aku takjub saat melihat mereka dengan seragamnya yang menurutku cantik sekali.” “Sama, aku juga selalu takjub dengan seragam mereka. Pas di tubuh, mereka anggun sekali saat memakainya. Apalagi saat mereka menarik koper, sumpah cantiknya gak ada lawan.” “Aku juga merasa seperti itu, aku selalu merasa aku berkali-kali lipat lebih cantik saat aku mengenakan seragam pramugariku. Aku merasa percaya diri. Aku merasa hebat. Makanya aku suka sekali dengan pekerjaanku ini. Walaupun seseorang selalu memintaku untuk berhenti, tapi aku tidak bisa melakukannya. Karena aku terlalu menyukai pekerjaan ini.” “Senang sekali karena sekarang aku punya teman pramugari di sini. Aku bisa melihat pramugari tiap hari.” Richelle memukul pelan lengan Sarah. “Kau membuatku malu saja.” “Segeralah menyelesaikan makan siangmu. Kamu harus diperiksa, setelah itu kau pasti harus bersiap-siap. Aku akan menunggu untuk melihat pramugari cantik kita mala mini.” “Berhentilah menggodaku.” “Aku tidak sedang menggodamu.” Setelah menyelesaikan makan siangnya, Richelle bersegera ke ruang kesehatan. Sarah mengantar wanita hamil itu hingga ke depan gedung yang difungsikan sebagai ruang kesehatan karena Richelle belum tahu keseluruhan tempat tersebut. Rupanya fasilitas kesehatannya terbilang hampir menyamai rumah sakit. Ada dokter, bidan, perawat, dan tenaga medis pendamping lainnya. Bahkan dokternya pun bukan hanya dokter umum saja, tapi ada dokter spesialis juga. Tiap dokter memiliki ruang periksa khusus yang dilengkapi fasilitas pendukung untuk melakukan pemeriksaan. Dibandingkan menyebutnya dengan ruang kesehatan, bangunan yang terpisah dari tempat tinggal Richelle itu lebih tepat untuk disebut rumah sakit mini. “Kondisi Ibu Richelle baik-baik saja, bayinya juga dalam keadaan sehat,” ujar dokter wanita dengan name tag Linda di jas kedokteran yang ia pakai. “Artinya, Ibu Richelle aman untuk melakukan penerbangan malam ini.” “Baik, dokter Linda, terima kasih.” Setelah pemeriksaannya usai, Richelle kembali ke kamar daan bersiap-siap untuk melaksanakan tugas. Ia diberitahu bahwa penerbangannya malam ini memiliki tujuan ke negara tetangga, Singapura. Benarkah aman bagiku untuk terbang? Benarkah aman bagiku untuk melihat langit lagi? Aku takut untuk melihat langit lantas kembali dihancurkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD