Bersembunyi dari Langit

2238 Words
Richelle mengetik pesan kepada teman-temannya melalui group chat, berniat memberi tahu pria-pria itu bahwa ia akan bertugas mulai malam ini. Malam ini aku mulai bekerja, aku akan terbang ke Singapura. Terkirim, dan tak seorang pun membalasnya. Padahal sudah terbaca. Richelle juga tak berharap pesannya dibalas, ia sudah tahu jika pria-pria itu malas membalas chat. Mereka lebih suka langsung menelepon Richelle. Radit dan Daniel yang kebetulan berada di TK tentunya langsung membaca pesan Richelle. “Katanya Richelle akan mulai bekerja, dia akan ke Singapura malam ini.” Daniel memberitahu, membuat Radit yang fokus pada ponselnya karena sedang bermain game mengalihkan perhatian pada pria itu. “Apa dia pergi bersama bosnya?” Radit tertawa kecil. “Kesenengan tuh Si Richelle.” “Dia tidak mengatakan pergi sama siapa, dia hanya mengatakan jadwalnya.” “Dan, teleponlah Richelle. Video Call!” Radit menyuruh karena ponsel pria itu masih ia pakai untuk bermain game. “Ayo kita lihat bagaiamana tampang kesenangan Richelle mau bekerja dengan bosnya itu.” “Nanti saja.” “Kenapa?” “Orang lain pasti sedang menelepon Richelle saat ini,” tebak Daniel. “Haikal?” Radit ikut menebak. Daniel menggedikkan bahu. “Kalau kau mau tahu, lihat saja di kamarnya. Sejak tadi siang Haikal ada di kamarnya.” Radit tertarik untuk memastikan kebenaran ucapan Daniel. Ia menghentikan aktivitasnya bermain game dengan meletakkan ponsel canggihnya di atas meja. Pria itu kini berjalan menuju kamar Haikal. Ia ketuk dua kali saat berada di depan pintu. Pintu terbuka setelah beberapa detik, pria itu muncul dengan ponsel berada di telinganya. “Apa?” tanya Haikal. “Dengan siapa kau bicara di telepon?” Alis pria itu mengerut untuk sesaat. Ia jauhkan ponselnya dari telinga lalu menunjukkan layarnya tepat di depan wajah Radit. Nama Richelle muncul di sana. Benar tebakan Daniel. “Kenapa?” “Gak kenapa-napa, lanjut gih,” ujar Radit lalu membalikkan tubuh dan kembali bergabung bersama Daniel di ruang tengah. Meninggalkan Haikal yang masih kebingungan di depan kamarnya. “Benar, ‘kan?” tanya Daniel. “Iya. Bagaimana kau tau?” “Aku sudah tau kebiasaan mereka. Richelle itu nomor satu dalam list prioritas Haikal.” “Nomor 2?” “Richelle juga.” “Nomor 3?” “Richelle juga?” “Nomor 4?” “Masih tetap Richelle.” “Kalau dia segitunya memprioritaskan Richelle, kenapa dia membiarkan Richelle menikahi laki-laki lain?” “Entahlah, kalau itu aku tidak mendapatkan jawabannya.” Daniel menggelengkan kepala disertai helaan napas panjang setelahnya. “Sebenarnya, antara mereka berdua, Haikal adalah penentunya. Menurutku, Richelle dekat dan pacaran dengan orang lain hanya sebagai bentuk protesnya pada Haikal. Tapi, kamu tau sendiri bagaimana Haikal. Selain mengomeli Richelle dia tak melakukan apa-apa. Dia tak mau menyenangkan Richelle, padahal Richelle ngebet mau nikah.” “Iya juga sih. Mana Richelle ya … begitulah, dia terlalu gampang diperdaya. Dimanisin dikit dia langsung percaya.” “Tepat sekali.” “Eh, eh, Haikal sudah selesai menelepon Richelle.” Radit memberitahu saat melihat Haikal keluar lagi dari kamarnya, ia lihat pria itu berjalan masuk ke dapur, sepertinya ia sedang ingin mengambil minuman. Karena Haikal sudah selesai menelepon Richelle, maka giliran Radit dan Daniel yang mewawancarai. Padahal sebenarnya bisa saja jika mereka mau ikut bergabung dalam panggilan Haikal dan Richelle, tapi mereka selalu memberi privasi satu sama lain. Dari layar ponsel Daniel, melalui sambungan video call tampaklah Richelle yang sedang tersenyum. Wanita hamil itu sudah selesai bersiap-siap. Ia memamerkan seragam pramugarinya. “Itu seragam kamu yang baru, Syel?” tanya Radit. “Iya. Cantik, gak?” “Not bad,” jawab pria itu lagi. “Tampak Indonesia sekali.” Seragam pramugari Richelle kali ini memang lebih berasa Indonesianya dibandingkan seragam yang dulu ia pakai saat masih di Turkis Airlines. Jika dulu ia mengenakan blazer merah maroon dilengkapi dengan inner yang panjangnya hingga ke lutut, plus topi dengan warna merah maroon untuk menghiasi kepalanya. Kalau kali ini, ia mengenakan seragam khas ala pramugari-pramugari di maskapai penerbangan Indonesia. Mengenakan atasan bermodel kebaya lalu dipasangkan dengan rok panjang berbahan batik yang terbelah di paha. “Kau akan terbang bersama Pak Manggala?” tanya Daniel. “Iya.” “Asik, dong,” goda Radit. “Asik apanya?” keluh Richelle. “Tadi pagi dia menghukumku. Semalam aku bahkan dipanggil komite pendisiplinan. Aturan di sini sangat ketat.” Haikal yang mendengar keluhan Richelle saat ia menghampiri Radit dan Daniel tentu langsung geram mengetahui bahwa wanita itu dihukum. “Dihukum? Dihukum apa? Kenapa gak bilang apa-apa?” “Kenapa ada suara tukang omel itu di sana?” kesal Richelle. Haikal merebut ponsel Daniel. Ia perlu berbicara langsung dengan wanita itu. Kalau Richelle dihukum, artinya ia harus menyelematkannya. “Kamu dihukum apa? Kenapa kamu gak bilang apa-apa saat aku bicara padamu?” “Karena kamu pasti bakalan bikin keributan. Lagian udah selesai juga hukumannya. Aku gak kenapa-napa, buktinya aku bakalan terbang.” “Jawab aku! Kamu dihukum apa dan gara-gara apa?” “Gara-gara makanan yang kamu kirim. Di sini ada aturan kalo kita gak boleh memesan makanan dari luar. Hanya boleh memakan yang disediakan oleh koki di sini. Untuk alasan kesehatan.” Richelle menjelaskan. “Makanya semalam aku dipanggil oleh komite pendisiplinan terkait aturan yang aku langgar itu. Dan tadi pagi aku dapat hukuman.” “Apa hukumannya, Syel?” Radit segera bertanya, pria itu ikut mengambil tepat di dekat Haikal karena ingin melihat Richelle dari sambungan video call. Bahkan Daniel pun ikut mepet-mepet untuk melihat Richelle. Semuanya penasaran hukuman macam apa yang diterima oleh janda cantik itu. “Tadi pagi aku disuruh jalan keliling perumahan yang aku tinggali di sini, aku keliling tiga kali sambil pakai baju khusus untuk orang yang melanggar.” “Pagi? Jam berapa?” Kali ini Daniel yang bertanya. “Sekitaran jam 9.” “Pagi? Jam 9? Disuruh jalan keliling?” Daniel sedikit tertawa. “Kamu tidak sedang dihukum, Syel. Pria itu tampaknya sangat memperhatikan kesahatan bumil satu ini.” “Memperhatikanku?” ulang Richelle. “Iya, jalan pagi-pagi sambil berjemur itu baik untuk ibu hamil dan pembentukan janin. Bukanya untuk ibu hamil sebenarnya.” “Oh ya?” “Iya, apa kau tidak percaya padaku?” “Tapi, tetap saja, dia mempermalukanku. Semua orang melihatku sambil tertawa.” “Yah … karena kamu memang melanggar aturan. Jadi, sambil dihukum dia sedang menyuruhmu berolahraga. Perhatian sekali bosmu itu, Syel.” “Makin kesenengan kamu pasti, Syel.” Radit menggoda. “Apaan sih, gak.” Richelle menyangkal. “Gara-gara aturan itu, ngidamku kemarin gak keturutan. Kayaknya ngidamku ke depannya juga gak bisa keturutan, kata Pak Manggala yang kamu bilang perhatian itu, gak ada perlakuan khusus hanya karena aku hamil.” “Jadi, rice bowl yang kemarin gak sempet kamu makan, Syel?” Kali ini Haikal yang bertanya. Pria itu tampak tak senang saat tahu jika ngidamnya Richelle tak keturutan. “Haruskah aku melakukan sesuatu untuk itu?” “Tidak perlu, Kal. Gak usah repot-repot. Yang kemarin emang gak keturutan, tapi hari ini udah keturutan. Ternyata tadi siang koki di sini libur masak, dan Pak Manggala membelikan rice bowl untuk semua penghuni rumah.” “Pak Manggala membelikan rice bowl? Tiba-tiba? Setelah tau kalau kamu ngidam itu, Syel?” Tampaknya Radit mulai berasumsi lagi. “Kok kebetulan banget yah?” “Kamu juga mikir kebetulan, Dit? Temenku di sini juga bilang kayak gitu, katanya kebetulan banget Pak Manggala memilih menu yang sama dengan yang aku pengen.” “Memangnya Pak Manggala benar-benar tau makanan yang kamu mau, Syel? Dia tau makanan yang dikirim Haikal kemarin?” Daniel mengorek-ngorek informasi. “Iya, soalnya dia hadir langsung saat aku disidang di komite pendisiplinan.” Jawaban Richelle membuat ekspresi Haikal tak senang. “Kayaknya bukan kebetulan deh.” Kini Radit menyeringai lebar. “Si kecil kayaknya bakalan segera dapat papa baru nih.” “Gak usah ngomong sembarangan deh,” ketus Haikal lalu mematikan sambungan video call itu secara sepihak. Tak peduli jika Radit dan Daniel masih ingin bicara pada Richelle. Pria ia meletakkan ponsel milik Daniel di sofa sebelum ia berlalu ke kamarnya. Pria itu ditertawakan oleh Radit dan Daniel. “Kamu dukung siapa?” Radit bertanya. “Mendukung apanya?” “Ya, mendukung siapa yang nantinya bakal sama Richelle. Haikal atau Pak Manggala yang perhatian?” “Bagaimana kalau nantinya yang jadi sama Richelle adalah orang lain.” Daniel menunjuk Radit. “Kamu misalnya.” “Boleh juga, kalau begitu kutambah kandidatnya, Haikal, Pak Manggala, atau aku?” “Entahlah,” jawab Daniel sambil menggedikkan bahu. Pria itu meraih ponselnya. “Mungkin lebih baik Richelle sendiri.” “Kenapa? Kalau Richelle sendiri dia tetap dengan statusnya sebagai janda. Kau mengincar Richelle sekarang? Sekarang kau mempertimbangkan Richelle sebagai wanita?” Daniel hanya menggedikkan bahunya saat berdiri meninggalkan Radit. “Hei, kau tau, aku mendukung Richelle dengan Pak Manggala.” Meninggalkan drama yang sedang terjadi di TK, Richelle kini siap untuk bertugas. Ia sudah berada di bandara dan bersiap menuju pesawat. Ada beberapa orang yang berangkat bersamanya. Manggala, Miss Yonna beserta dua orang asistennya, dua orang wanita cantik yang Richelle belum tahu namanya, beberapa pengawal, seorang pramugara—Randy nama pria itu—Richelle sempat berkenalan saat ia tiba di bandara, seorang pilot, dan co-pilot. Richelle menarik napas dalam-dalam sebelum ia melangkah naik ke pesawat. Sejak ia memutuskan untuk berhenti dari Turkish Airlines saat Ronald kecelakaan pesawat, saat itu ia sebenarnya mengatakan bahwa ia ingin menyerah dari dunia penerbangan. Namun, entah bagaimanapun, kerinduannya akan warna-warni langit selalu memanggilnya. Dan hari ini, entah itu kerinduan, entah itu kemalangan, atau justru takdir yang menempatkan Richelle untuk berada di sebuah pesawat dengan posisinya sebagai pramugari. Tugas Richelle sama saja pada penerbangan lain pada umumnya, ia memulai dengan memberikan instruksi keselamatan selama penerbangan, yang walaupun hal itu ia yakin sepenuhnnya bahwa orang-orang di dalam pesawat tersebut sudah tahu betul dan sudah berkali-kali mendengar hal yang sama. Namun, Richelle tetap menyampaikan, melakukan tugasnya dengan profesional. Richelle dibuat salah tingkah saat Manggala memperhatikannya untuk beberapa detik. Di antara belasan penumpang yang ada di pesawat tersebut, hanya Manggala yang tampak memperhatikan instruksinya. Walau hanya untuk hitungan detik. Jujur saja, Richelle sempat gugup akan tatapan pria itu. Terutama saat ia teringat kembali ucapan Radit di sambungan video call sebelum panggilannya mati tiba-tiba. “Si kecil kayaknya bakalan segera dapat papa baru nih.” Hanya beberapa detik, mungkin enam atau tujuh detik jika hitungan Richelle tak meleset. Singkat, karena setelahnya Manggala tampak mengalihkan fokusnya pada salah satu dari wanita cantik yang belum Richelle tahu identitasnya. Pria itu tampak membicarakan sesuatu yang serius, sesekali Manggala tampak menganggukkan kepalanya atas apa yang diucapkan oleh wanita itu. Atau sesekali ia tampak tersenyum, menunjukkan kembali raut ramah miliknya, persis yang ia tunjukkan di hari pertama ia bertemu Richelle. “Richelle, saya membutuhkan kopi.” Seseorang bersuara setelah Richelle selesai dengan pengarahannya. “Baik, akan saya antarkan untuk Miss Yonna. Ada lagi yang dibutuhkan?” “Cukup.” Richelle kembali beberapa saat kemudian, ia mengantarkan kopi seperti yang diminta oleh Miss Yonna. Wanita itu tampak sedang amat sibuk mengerjakan sesuatu di tabletnya. Termasuk dua asistennya, dua-duanya juga tak melepaskan pandangan dari tablet masing-masing, bahkan untuk sejenak. Pemandangan yang berbeda dengan Manggala yang tampak santai-santai saja bersama dua wanita cantik itu. Setelah melayani kebutuhan penumpang pesawat, Richelle beristirahat di crewbunk. Di tempat yang sama Randy juga tengah beristirahat. Mungkin Richelle bisa mengorek-ngorek info dari pria itu. “Kamu sudah lama bekerja dengan Pak Manggala?” “Sekitaran 1 tahun. Ini penerbangan pertamamu di sini?” “Benar.” “Sebelumnya kamu bekerja di maskapai mana?” “Turkish Airlines.” “Wah, hebat, pengalaman kerjamu ternyata sampai maskapai luar negeri. Kalau aku hanya punya pengalaman kerja di maskapai dalam negeri.” Randy memberi informasi bahkan tanpa diminta. “Oh ya, apa Pak Manggala sering melakukan penerbangan seperti ini?” “Cukup sering, dia kan punya bisnis di luar negeri. Makanya penerbangan dalam dan luar negeri sudah sangat sering. Penerbangan dalam negeri juga beberapa kali, tapi Pak Manggala kebanyakan memiliki tujuan penerbangan ke luar negeri.” “Selama ini, penerbangan paling jauhnya ke mana?” “Rhetymno, Yunani. Ibunya Pak Manggala adalah orang Yunani.” Richelle mengangguk-angguk. Sedikit demi sedikit ia mendapatkan infromasi tentang pria itu. “Oh ya, apa Pak Manggala selalu ke mana-mana membawa tim sebanyak ini? Maksudku ada pengawalnya, asisten-asistennya.” “Kalau perjalanan bisnis biasanya memang banyak orang yang berangkat bersamanya. Terutama wanita-wanita cantik itu, yang duduk di dekat Pak Manggala.” Randy bahkan sudah membahasnya padahal Richelle belum bertanya. Seolah tahu saja jika wanita-wanita cantik itulah yang membuat Richelle penasaran. “Memangnya siapa wanita-wanita itu? Pacarnya Pak Manggala?” Randy sedikit tertawa. “Kalau Pak Manggala memacari wanita-wanita cantik itu, entah berapa puluh pacar yang dimilikinya. Setiap kali perjalanan bisnisnya, Pak Manggala memang selalu memilih wanita-wanita cantik yang ada dirumahnya untuk menemani. Awalnya aku juga bingung siapa wanita-wanita itu. Tapi, mungkin ….” “Mungkin apa?” Richelle bertanya dengan penasaran karena Randy berhenti dengan ucapannya. Pria itu mencondongkan tubuh agar lebih dekat pada Richelle, sepertinya hendak berbisik agar ucapannya tak kedengaran oleh siapa-siapa. Dan Richelle dengan sigap mendekatkan telinganya. “Pria yang sukses, tampan, punya banyak uang seperti Pak Manggala, dengan wanita-wanita cantik itu untuk menemaninya. Menurutmu apa yang mereka lakukan? Tidak bisakah kau menebaknya?” Pria itu menarik diri menjauh. “Aku, kalau punya uang sebanyak Pak Manggala mungkin akan melakukan hal yang sama juga.” Richelle manggut-manggut. Langit malam ini? Entahlah, aku memilih tak melihatnya. Aku memiluh menyembunyikan diri, memilih menunduk. Tak ingin penasaran dengan warna yang dihadirkan langit malam ini.

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD