8 | Hope

1083 Words
Zidan dan Evan berjalan santai dari toilet menuju perpustakaan fakultas untuk mengerjakan tugas kuliah. Sesekali membicarakan tingkah kocak mereka berdua dan juga Syauqi kemarin saat mereka mengikuti pertandingan futsal dengan komunitas yang mereka ikuti. Evan bahkan sampai memegangi perutnya yang sakit karena terlalu bersemangat tertawa. Mereka berdua berbelok dan masuk ke dalam perpustakaan. Evan mengedarkan pandangannya untuk mencari tempat duduk yang kosong. "Ett, tunggu!" Evan langsung menghentikan langkahnya saat melihat gadis yang sedang duduk di pojok dengan membaca buku. Berhentinya Evan itu langsung membuat Zidan sontak berhenti dan mengikuti arah pandang Evan. "Suka ke perpus juga dia?" "Hah?" tanya Zidan karena suara Evan yang terdengar begitu pelan di telinganya. Evan menoleh dan menatap Zidan yang juga menatapnya. "Haha, gak papa." Zidan menghela napasnya, padahal Airin duduk di tempat paling pojok tapi mata Evan mampu untuk menjangkaunya. "Ente ngeliatin Airin?" "Iya," jawab Evan percaya diri sehingga membuat Zidan langsung menatapnya. "Kenapa?" tanya Zidan lagi. Evan menoleh lalu tersenyum simpul. "Gak ada alasan khusus. Ayo ke sana, samperin dia." Zidan langsung menahan lengan Evan yang ingin melangkah ke depan. "Kita kerjain aja tugas kita, jangan gangguin dia lagi." Evan menatap balik mata Zidan. "Siapa tahu dia juga lagi ngerjain tugas yang sama kan? Lagian hari ini gue gak ada niat bikin dia marah kaya biasanya kok." Zidan menghela napas panjang begitu akhirnya Evan tetap melangkah maju. Mendekati Airin dengan lengkah semangat. "Hai.. Kita ketemu lagi di sini," sapa Evan dengan manis yang kemudian duduk di kursi kosong di hadapan Airin. Airin mengangkat kepalanya dan sontak memutar bola matanya malas saat tahu di depannya duduk musuh bebuyutannya. "Gue nyapa lo, loh, barusan." Airin mencoba tak merespon. Ia tetap fokus membaca buku bacaannya. "Assalamu'alaikum," Airin langsung mengangkat kepalanya lagi, karena ia tahu suara itu bukanlah milik Evan tetapi milik Zidan. Matanya bertemu pandang dengan mata teduh milik Zidan. "Wa'alaikumsalam," jawab Airin. Evan langsung mendengus sebal menatap Airin. "Gue yang nyapa gak dibales. Giliran Zidan aja," keluh Evan. Zidan menepuk bahu Evan dan akhirnya duduk di sampingnya. "Gak usah pundung," kata Zidan dengan menatap Airin sekilas. Sebelum akhirnya ia beedeham dan memilih berkutat dengan handphonenya. "Lo lagi baca buku apa?" tanya Evan. Airin diam. "Emang seru yah baca buku begituan?" Alis Evan menyatu tatkala membaca buku yang sedang Airin baca. "Gue mah paling gak suka loh baca buku fisika kaya gitu. Bikin pusing." Mendengar Evan yang terus-terusan mengoceh, membuat Airin sedikit membanting bukunya ke atas meja. Airin menatap tajam Evan lalu berkata. "Lo tuh kenapa sih sukanya gangguin orang terus? Udah, pergi aja sana." "Shhhttt.. " Airin semakin menatap kesal Evan saat laki-laki itu malah menyuruhnya diam. "Ngeselin lo!" "Yang penting ganteng!" balas Evan untuk Airin. Airin langsung menampakkan wajah mualnya karena kepedean Evan. "Cuma orang aneh yang bilang lo ganteng." "Udah-udah, stop. Kalian nih ribut terus sih," keluh Zidan setelah menghela napas panjang. "Kalau kalian saling sebel gitu, hati-hati loh ya nanti malah saling suka." Lanjut Zidan yang mengundang reaksi berbeda dari Evan dan Airin. "Ya bag—" kalimat Evan langsung terpotong karena ucapan Airin yang menggebu-gebu. "Idih, gak mau!" tolak Airin tanpa berpikir panjang. Evan yang mendengarnya malah tersenyum manis, alih-alih menanggapi perkataan Airin. Salma berjalan cepat melintasi koridor demi koridor fakultas ilmu komunikasi. Ia akan segera membuat perhitungan dengan Airin karena telah memberikan nomornya pada Syauqi. Karena seharusnya Airin paham bagaimana Salma yang selalu menjaga dirinya dengan interaksi kepada lawan jenis. Salma membuka pintu perpustakaan dengan terburu-buru. Ia langsung melengos ke arah rak favorit Airin duduk jika sahabatnya itu sedang di perpustakaan. Dapat. Salma melihat Airin yang sedang duduk di pojok sana dengan membaca buku. "Airin," panggil Salma dengan terus melangkah mendekat ke arah Airin. Airin menoleh bersamaan dengan 2 orang laki-laki yang tidak ia duga ternyata adalah Zidan dan Evan. "Salmaa!!" "Shhtt.. Ini perpustakaan, bukan hutan!" smtegur Evan untuk Amirin. Airin langsung mendelik pada Evan dan menjulurkan lidahnya. "Bawel!" Kini Salma telah tiba di samping meja yang Airin tempati. Ia tersenyum tipis pada Zidan dan Evan, ia bahkan tak ingat untuk mengucapkan salam karena terlalu terburu-buru ingin bertemu dan bicara dengan Airin. "Rin, kita harus bicara." Airin mengerutkan keningnya karena melihat raut wajah Salma yang terlihat serius. "Bicara apa? Di sini aja, Sal." Ucapnya dengan melirik ke arah Zidan dan Evan. Salma menggeleng kecil pada Airin. Tidak mungkin ia bicara saat ada Zidan dan Evan di sana. "Sebentar aja," Salma langsung menarik tangan Airin. Sedikit menjauh dari Zidan dan Evan. "Ada apa sih, Sal?" "Kamu kasih nomor aku ke Syauqi, ya?" "Ha? Kata siapa?" "Syauqi, Rin... " suara Salma terdengar rendah dan sebal. "Oooohh.. " Airin nyengir menampilkan jejeran gigi putihnya. "Iya, itu karena dia cegat aku di parkiran, Sal." "Airin... Kenapa kamu kasiiihhh?!" Salma kembali merengek sebal pada Airin. "Ya habisnya dia maksa banget, Sal. Dia ngancem kalau aku gak kasih nomor kamu, dia bakal bikin bocor ban motor aku." Salma berdecak pelan. "Kamu tahu, semalam Syauqi bukan cuma sms aku, tapi dia juga nelepon aku, Rin." "Ah, serius kamu?" "Iyaaa, Rin! Dia bilang bakalan sering-sering nelepon aku." Airin kembali nyengir lalu menepuk bahu Salma. "Maafin, tapi kamu tenang aja. Dia kayaknya anak baik-baik kok." "Airiiinnn!" sebal Salma pada Airin, sementara Zidan dan Evan tentu mendengar apa yang 2 gadis itu bicarakan. "Syauqi minta nomor Salma?" tanya Evan pada Zidan. Ia juga menatap Zidan dengan alis terangkat sebelah. "Nggak mungkin, ah." Respon Zidan. "Ini pertama kalinya, bukan?" tanya Evan. Zidan menoleh dan membalas tatapan Evan. Ini memang pertama kalinya Zidan dan Evan tahu kalau Syauqi minta nomor seorang perempuan. Karena sejak mereka kenal pun, percaya atau tidak, Syauqi tidak pernah menyimpan nomor perempuan satu pun. Zidan mengangguk, "Apa maksud Syauqi minta nomor Salma?" "Wah! Jangan-jangan tuh anak—?" Zidan kembali menghadap ke depan, ke arah Salma dan Airin. "Apa Syauqi mulai merasa tertarik sama Salma?" "Gue sih seneng Dan, kalau akhirnya Syauqi bisa suka sama perempuan. Tapi kalau begini caranya, kenapa gue malah jadi khawatir ya?" "Syauqi harus bisa jaga hatinya. Kalau dia sampai beneran suka sama Salma, maka akan rumit urusan kedepannya." "Karena takdir mereka hanya untuk dipertemukan, bukan untuk disatukan. Akan lebih rumit lagi kalau pada akhirnya Syauqi berhasil bikin Salma juga suka sama dia. Pada akhirnya mereka hanya akan saling tersakiti." "Tapi gak ada yang gak mungkin di dunia ini, Van. Allah Yang Maha Membolak-balikkan hati manusia. Kita cuma bisa berdo'a semoga Syauqi bisa berubah dan menemukan jalan yang dulu pernah ia impikan. Kita sebagai sahabatnya gak boleh ngebiarin Syauqi terus terpuruk dalam kenangan masa lalu. Dan perihal jodoh, Allah lebih tahu yang terbaik untuk kita."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD