bc

TIGA PULUH RIBU SEHARI

book_age18+
46
FOLLOW
1K
READ
family
cheating
like
intro-logo
Blurb

Tiga puluh ribu rupiah.

Itu bukan harga makanan restoran.

Bukan pula ongkos ojek ke kantor.

Tapi itulah uang belanja harian Dara — istri rumah tangga dengan dua anak dan satu suami yang hobi menuntut tanpa melihat kenyataan.

Setiap hari, Dara dituntut menyajikan hidangan lezat ala restoran mewah dari uang yang bahkan tak cukup beli kopi kekinian. Tapi dengan tangan cekatan, bumbu warisan emak, dan sedikit air mata yang ditelan diam-diam, ia menyulap dapurnya jadi ladang keajaiban.

Ini bukan hanya cerita soal masak memasak, tapi tentang perjuangan perempuan, harga diri, dan bagaimana dapur kecil bisa jadi tempat revolusi dimulai.

Kocak, menyentuh, dan kadang menyayat hati.

Kisah ini akan membuatmu tertawa getir, mengangguk paham, dan mungkin... mulai menghargai siapa yang menghidangkan makanan di mejamu setiap hari.

chap-preview
Free preview
DAPUR SERIBU RASA
Jam setengah enam pagi. Matahari belum benar-benar muncul di balik atap seng yang mulai berkarat, tapi Dara sudah berdiri di dapur, masih dengan daster lusuh warna pudar dan rambut digulung asal pakai jepitan plastik. Dapur sempit itu hanya berisi kompor gas satu tungku, rak piring besi yang sudah mulai miring, dan meja kayu kecil yang jadi tempat potong sekaligus tempat naruh semua harapan hari ini. Ia membuka laci meja, mengambil dompet kain bermotif bunga yang mulai robek di ujungnya. Isinya? Selembar uang dua puluh ribu dan selembar sepuluh ribu. Total: tiga puluh ribu rupiah. Sama seperti kemarin. Sama seperti lusa kemarin. Sama seperti lima tahun terakhir sejak ia menikah dengan Rafi. Ponsel bututnya berbunyi. Sebuah pesan w******p dari suaminya, seperti rutinitas harian yang menyebalkan: “Masak yang enak ya. Jangan kayak kemarin. Nasi keras, sayur hambar. Bikin ayam bakar madu kek, atau rendang kek. Masa gitu aja gak bisa?” Dara menatap layar ponsel itu lama-lama, seperti ingin menyalurkan segala kekesalan lewat tatapan. Tapi ia tahu, percuma. Rafi bukan tipe lelaki yang akan mengerti kalau tidak ditunjukkan langsung dengan kepala dibentur kenyataan. Sayangnya, kenyataan selama ini seperti terlalu jinak padanya. Tiga puluh ribu. Tapi harus masak enak. Harus ada lauk. Harus ada sayur. Harus ada sambal. Harus kelihatan mewah. Seperti restoran, tapi tanpa modal. Seperti hidup di istana, tapi tanpa raja sejati. Dara menghela napas, pelan dan berat. Ia menoleh ke arah kamar, melihat dua anaknya masih tertidur pulas. Zidan dan Zahra, si kembar manis yang baru duduk di bangku kelas dua SD. Mereka tidak tahu apa-apa soal uang belanja, soal tuntutan ayahnya, soal perasaan ibunya yang tiap malam sering menangis diam-diam di kamar mandi. Mereka hanya tahu kalau setiap pulang sekolah, mereka selalu disambut bau masakan hangat dan senyuman ibu yang pura-pura kuat. Dara menyambar tas kain dan bergegas ke pasar. Ia sudah hapal betul jalur termurah, ibu-ibu penjual mana yang bisa ditawar lebih dalam, dan kapan waktunya belanja sebelum harga naik. Di pasar kecil pinggir kampung itu, Rp30.000 bisa jadi senjata atau kutukan, tergantung seberapa lihai tangan dan otaknya bernegosiasi. Hari ini, ia membeli: 250 gram daging ayam bagian sayap: Rp9.000 Setengah ikat daun singkong segar: Rp2.000 Sebongkah kecil tahu putih: Rp3.000 Cabai, bawang merah, bawang putih, tomat, dan santan instan kecil: Rp9.000 Sisa Rp7.000 untuk beli beras ¼ kg dan sedikit gula untuk teh Setibanya di rumah, Dara langsung memulai ritual hariannya. Mengupas, mencuci, memotong, menumbuk bumbu di cobek, dan sesekali mencicipi sambal dengan ujung sendok kecil. Ia menciptakan ayam bumbu rujak pedas manis, sayur daun singkong kuah santan, tahu goreng kriuk, dan sambal terasi segar. Semuanya tampak mewah—jika dilihat dari sisi rasa dan tampilan. Tapi hanya ia yang tahu, betapa nyaris tak ada sisa uang di dompetnya. Saat semuanya tersaji rapi di meja, Dara mengganti dasternya dengan baju yang sedikit lebih rapi, menyisir rambut, dan menyeka keringat. Anak-anak sudah bangun, sarapan dengan gembira. Dara duduk bersama mereka, menyuapi Zahra sambil bercerita soal makanan dari luar negeri. "Di Jepang itu, nasi bentuknya kayak segitiga, namanya onigiri. Di luar dikasih rumput laut. Tapi isinya bisa ayam juga, kayak punya Bunda ini." Zidan berseru, “Onigiri Indonesia! Hebat Bunda!” Dara tersenyum. Itu cukup. Kalimat sederhana dari anak-anaknya selalu jadi penyejuk. Apalagi kalau dibandingkan dengan yang akan datang nanti—saat Rafi pulang. Menjelang malam, Rafi datang sambil mengeluh soal kerjaan. Ia membuka tudung saji tanpa sempat mencuci tangan. Makan dengan lahap, mengunyah cepat, dan—seperti biasa—tanpa komentar manis. “Lumayan lah. Ini baru masakan. Besok bikin opor ya, pake telur juga biar nggak ngebosenin.” Dara hanya menjawab lirih, “Iya, Mas.” Dalam hati, ia menghitung. Berapa harga satu butir telur sekarang? Kalau ayam saja tadi sudah segitu, telur? Belum santan, belum bumbu. Tapi Dara tidak pernah protes. Ia tahu, kalau ia mengeluh, jawabannya hanya akan dua: dibilang kurang bersyukur atau dibandingkan dengan istri orang lain yang "lebih hemat dan gak banyak protes". Malam itu, setelah rumah sepi dan anak-anak tertidur, Dara duduk di pojokan dapur. Ia membuka aplikasi catatan di ponselnya, lalu mulai menulis. "Hari ke-1: Tiga puluh ribu untuk empat orang. Ayam bumbu rujak, daun singkong santan, tahu goreng, sambal. Masih bisa bikin suami kenyang. Tapi aku mulai kenyang juga, sama ketidakadilan." Ia menulis bukan untuk siapa-siapa. Hanya untuk dirinya sendiri. Tapi entah kenapa, malam itu ia berpikir—bagaimana kalau orang lain tahu? Apa mereka juga berjuang dengan angka kecil seperti dirinya? Apa mereka juga dipaksa jadi koki mewah dengan anggaran yang menyedihkan? Dara menatap layar kosong ponselnya. Mungkin... suatu hari, ia akan berani bercerita. Dan hari itu lebih dekat dari yang ia duga.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Sentuhan Semalam Sang Mafia

read
187.7K
bc

TETANGGA SOK KAYA

read
52.2K
bc

B̶u̶k̶a̶n̶ Pacar Pura-Pura

read
155.6K
bc

DIHAMILI PAKSA Duda Mafia Anak 1

read
40.5K
bc

Setelah Tujuh Belas Tahun Dibuang CEO

read
1.2K
bc

TERNODA

read
198.2K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
233.3K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook