DAPUR SERIBU RASA
Jam setengah enam pagi. Matahari belum benar-benar muncul di balik atap seng yang mulai berkarat, tapi Dara sudah berdiri di dapur, masih dengan daster lusuh warna pudar dan rambut digulung asal pakai jepitan plastik. Dapur sempit itu hanya berisi kompor gas satu tungku, rak piring besi yang sudah mulai miring, dan meja kayu kecil yang jadi tempat potong sekaligus tempat naruh semua harapan hari ini.
Ia membuka laci meja, mengambil dompet kain bermotif bunga yang mulai robek di ujungnya. Isinya? Selembar uang dua puluh ribu dan selembar sepuluh ribu. Total: tiga puluh ribu rupiah. Sama seperti kemarin. Sama seperti lusa kemarin. Sama seperti lima tahun terakhir sejak ia menikah dengan Rafi.
Ponsel bututnya berbunyi. Sebuah pesan w******p dari suaminya, seperti rutinitas harian yang menyebalkan:
“Masak yang enak ya. Jangan kayak kemarin. Nasi keras, sayur hambar. Bikin ayam bakar madu kek, atau rendang kek. Masa gitu aja gak bisa?”
Dara menatap layar ponsel itu lama-lama, seperti ingin menyalurkan segala kekesalan lewat tatapan. Tapi ia tahu, percuma. Rafi bukan tipe lelaki yang akan mengerti kalau tidak ditunjukkan langsung dengan kepala dibentur kenyataan. Sayangnya, kenyataan selama ini seperti terlalu jinak padanya.
Tiga puluh ribu. Tapi harus masak enak. Harus ada lauk. Harus ada sayur. Harus ada sambal. Harus kelihatan mewah.
Seperti restoran, tapi tanpa modal. Seperti hidup di istana, tapi tanpa raja sejati.
Dara menghela napas, pelan dan berat. Ia menoleh ke arah kamar, melihat dua anaknya masih tertidur pulas. Zidan dan Zahra, si kembar manis yang baru duduk di bangku kelas dua SD. Mereka tidak tahu apa-apa soal uang belanja, soal tuntutan ayahnya, soal perasaan ibunya yang tiap malam sering menangis diam-diam di kamar mandi. Mereka hanya tahu kalau setiap pulang sekolah, mereka selalu disambut bau masakan hangat dan senyuman ibu yang pura-pura kuat.
Dara menyambar tas kain dan bergegas ke pasar. Ia sudah hapal betul jalur termurah, ibu-ibu penjual mana yang bisa ditawar lebih dalam, dan kapan waktunya belanja sebelum harga naik. Di pasar kecil pinggir kampung itu, Rp30.000 bisa jadi senjata atau kutukan, tergantung seberapa lihai tangan dan otaknya bernegosiasi.
Hari ini, ia membeli:
250 gram daging ayam bagian sayap: Rp9.000
Setengah ikat daun singkong segar: Rp2.000
Sebongkah kecil tahu putih: Rp3.000
Cabai, bawang merah, bawang putih, tomat, dan santan instan kecil: Rp9.000
Sisa Rp7.000 untuk beli beras ¼ kg dan sedikit gula untuk teh
Setibanya di rumah, Dara langsung memulai ritual hariannya. Mengupas, mencuci, memotong, menumbuk bumbu di cobek, dan sesekali mencicipi sambal dengan ujung sendok kecil. Ia menciptakan ayam bumbu rujak pedas manis, sayur daun singkong kuah santan, tahu goreng kriuk, dan sambal terasi segar. Semuanya tampak mewah—jika dilihat dari sisi rasa dan tampilan. Tapi hanya ia yang tahu, betapa nyaris tak ada sisa uang di dompetnya.
Saat semuanya tersaji rapi di meja, Dara mengganti dasternya dengan baju yang sedikit lebih rapi, menyisir rambut, dan menyeka keringat. Anak-anak sudah bangun, sarapan dengan gembira. Dara duduk bersama mereka, menyuapi Zahra sambil bercerita soal makanan dari luar negeri.
"Di Jepang itu, nasi bentuknya kayak segitiga, namanya onigiri. Di luar dikasih rumput laut. Tapi isinya bisa ayam juga, kayak punya Bunda ini."
Zidan berseru, “Onigiri Indonesia! Hebat Bunda!”
Dara tersenyum. Itu cukup. Kalimat sederhana dari anak-anaknya selalu jadi penyejuk. Apalagi kalau dibandingkan dengan yang akan datang nanti—saat Rafi pulang.
Menjelang malam, Rafi datang sambil mengeluh soal kerjaan. Ia membuka tudung saji tanpa sempat mencuci tangan. Makan dengan lahap, mengunyah cepat, dan—seperti biasa—tanpa komentar manis.
“Lumayan lah. Ini baru masakan. Besok bikin opor ya, pake telur juga biar nggak ngebosenin.”
Dara hanya menjawab lirih, “Iya, Mas.”
Dalam hati, ia menghitung. Berapa harga satu butir telur sekarang? Kalau ayam saja tadi sudah segitu, telur? Belum santan, belum bumbu.
Tapi Dara tidak pernah protes. Ia tahu, kalau ia mengeluh, jawabannya hanya akan dua: dibilang kurang bersyukur atau dibandingkan dengan istri orang lain yang "lebih hemat dan gak banyak protes".
Malam itu, setelah rumah sepi dan anak-anak tertidur, Dara duduk di pojokan dapur. Ia membuka aplikasi catatan di ponselnya, lalu mulai menulis.
"Hari ke-1: Tiga puluh ribu untuk empat orang. Ayam bumbu rujak, daun singkong santan, tahu goreng, sambal. Masih bisa bikin suami kenyang. Tapi aku mulai kenyang juga, sama ketidakadilan."
Ia menulis bukan untuk siapa-siapa. Hanya untuk dirinya sendiri. Tapi entah kenapa, malam itu ia berpikir—bagaimana kalau orang lain tahu? Apa mereka juga berjuang dengan angka kecil seperti dirinya? Apa mereka juga dipaksa jadi koki mewah dengan anggaran yang menyedihkan?
Dara menatap layar kosong ponselnya. Mungkin... suatu hari, ia akan berani bercerita.
Dan hari itu lebih dekat dari yang ia duga.