"Darren?", panggil Laurel ketika ia melihat pria itu tengah duduk di lobi gedung apartemennya. Sambil melangkah mendekat dan mengerutkan kening ia menyapa. "Hei... apa yang kau lakukan disini?",
Darren bangkit dari sofa. Ia meletakkan sebuah majalah diatas meja. "Tentu saja menemuimu.",
"Untuk?",
"Sejak kapan aku harus memiliki alasan untuk menemuimu?",
Laurel meringis. "Maafkan. Hanya saja, kau paham maksudku? Kita sudah membahasnya minggu lalu saat kau sarapan di tempatku.",
"Ah maafkan. Aku lupa. Sudah kebiasaan.", ujar Darren sambil tersenyum kikuk.
"Jadi?", Laurel sengaja menggantung kalimatnya agar Darren menjelaskan lebih lanjut apa tujuan pria itu kemari. Apalagi ini sudah petang menjelang malam dan akhir pekan. Mohon digaris bawah, akhir pekan. Seharusnya pria itu bersama Stella bukan?
"Aku dan Stella bertengkar.",
"What???",
Darren mengangguk samar. "Can i buy you a drink?",
...
Orland sedang menikmati makan malamnya dan nyaris mati tersedak ketika membaca pesan dari Laurel. Gadis itu mengatakan bahwa saat ini sedang berada di sebuah kafe bersama Darren.
"Sialan!", makinya setelah minum dan berhasil menetralkan napas.
Dengan cepat ia bangkit dari kursi meja makan lalu berlari kedalam kamar untuk ganti baju.
...
Darren baru saja selesai membayar pesanan mereka. Ia menarik bangku disebrang Laurel dan duduk sambil tersenyum. "Sedang apa?",
Laurel memasukkan ponselnya kedalam tas. "Lihat-lihat.",
Untung Darren tidak banyak bertanya dan hanya mengangguk sambil membentuk bibirnya seperti huruf O.
"Jadi?",
"Jadi apanya?", tanya Darren bingung.
Laurel mengerutkan keningnya, ia jadi ikut bingung. "Katanya kau ingin bercerita setelah kita selesai makan.",
"Tentang?", Darren balik bertanya.
"Kau dan Stella bertengkar.",
Darren menepuk keningnya. "Maafkan aku sampai lupa. Aku hanya terlalu senang akhirnya kita bisa pergi berdua.",
Laurel mengerjap. Apa ia tidak salah dengar? Senang karena pergi berdua dengannya? Ia memaksakan sebuah senyuman dan pura-pura tidak mendengar meski dalam hati mencoba menebak. "Tidak apa.",
"Baiklah...", Darren menarik napasnya. "Stella ingin break sejenak.",
"Break?",
Darren mengangguk.
"Apa dia tidak menjelaskan?",
"Dia tidak memberiku alasan yang jelas kenapa. Tiba-tiba ia datang siang tadi ke kantorku dan mengatakan itu.",
Laurel terdiam sejenak. Sambil mengusap tengkuknya ia bertanya, "Apa kau mencintainya?",
"Tentu.", jawab Darren cepat tanpa ragu sedikitpun. Anehnya kali ini Laurel tidak terganggu sedikitpun dengan jawaban itu.
"Saranku bicarakan dan cari tahu alasannya. Setelah kau tahu, kau bisa memutuskan ingin seperti apa.",
"Tapi kau tahu Stella seperti apa. Apa yang ia katakan harus dituruti.",
Laurel mengulas senyum tipis. "Aku tahu. Tapi hubungan kekasih melibatkan dua orang. Jadi tidak bisa hanya satu orang yang memutuskan.", balasnya. "Aku tahu sepertinya saranku terdengar omong kosong mengingat aku baru sekali ini berpacaran. Tapi itu yang aku tahu.",
Memang sangat omong kosong. Dirinya dan Orland saja memutuskan berpacaran hanya karena satu pihak. Meski ia yang meminta duluan sebagai kekasih palsu namun Orland lah yang terlebih dulu mendeklarasikan bahwa mereka pasangan kekasih sungguhan.
"Aku akan coba bertanya.",
"Kalau bisa malam ini kau datangi rumahnya. Bawakan dia makanan atau sesuatu yang dapat membangkitkan mood.", saran Laurel. "Mungkin kau bisa membawakan Stella puding. Ia sangat suka itu.",
Darren mendengus geli. "Dia memang sangat menyukai puding. Pernah ia membeli semua puding yang ada di toko kue dekat kantorku.", ujarnya sambil menerawang mengingat kejadian konyol itu.
"Kalau begitu belilah puding dari sana.", timpal Laurel sambil tersenyum.
Tiba-tiba Darren menggenggam kedua tangannya yang sejak tadi berada di atas meja. Laurel terkejut namun ia berusaha mengontrol diri untuk tetap tenang dan bepikir positif. Mungkin, pria itu refleks karena senang mendengar sarannya.
"Terima kasih, Laurel.", nadanya terdengar tulus.
"Sam- bugghh!",
Seseorang menonjok Darren dengan keras hingga pria itu limbung dan jatuh dari kursi membuat Laurel memekik.
"Darren! Astaga!",
Bersamaan dengan seorang gadis meneriaki nama Orland membuat Laurel mendongak. Keterkejutannya berkali lipat saat melihat Orland dan Stella berdiri disana.
"Kenapa kau memukulnya?!", seru Stella tak terima sambil mendorong Orland kasar.
Laurel hanya bisa terdiam mematung di tempatnya sambil menatap Orland tak percaya. Hingga Stella mendorongnya agar menjauh dari Darren, ia tersadar.
"Minggir! Ini semua karenamu!",
Laurel mengerjap. "Bagaimana bisa ini salahku?", tanyanya.
"Stella...", panggil Darren dengan suara merintih. "Ini bukan salahnya.",
Stella semakin marah. "Berhenti membelanya. Semua masalah dalam hubungan kita adalah salahnya!", teriaknya tanpa peduli seluruh isi kafe malam itu melihat kearah mereka.
"Apa kau yakin?", timpal Orland dengan nada mengejek. Ia melangkah mendekat dan menarik Laurel agar gadis itu bangkit berdiri. "Berhenti menyalahkan orang lain dan introspeksi diri, Stella.", tambahnya dengan nada ketus dan tajam.
Orland menunjuk Darren. "Dan kau! Aku harap ini yang terkahir kalinya atau aku tidak akan menganggapmu sebagai sahabatku lagi.", ancamnya sebelum berlalu keluar dari dalam kafe dan membawa Laurel pergi.
...
"Orland! Lepas!",
Dengan kasar Orland melepaskan cekalannnya dari tangan Laurel sambil menghela napas kasar ketika mereka sudah berada di parkiran yang cukup sepi. Sudah sekali drama didalam kafe, ia tidak ingin membuat lebih banyak seriannya.
Laurel menggeleng tak percaya. "Kenapa kau memukulnya?",
Orland dengan santainya menjawab, "Karena dia pantas.",
Jawaban itu membuat Laurel mendengus. Ia menunduk beberapa saat sebelum berkata, "Seharusnya kau yang pantas dipukul.",
Orland diam. Ia tidak mengerti maksud perkataan Laurel. Tapi ia tidak menjawab karena dirinya tahu jika ini saatnya ia mendengarkan.
"Aku tidak mengerti dengan jalan pikiranmu, Orland.",
"Kalau begitu untuk apa kau mengerti dan kau pikirkan? Aku tidak memintanya.",
Laurel berusaha menahan emosinya. Malam ini Orland benar-benar menyebalkan. "Aku tidak akan memikirkannya jika kau tidak memukulnya tadi!", serunya dengan nada setingkat lebih tinggi. "Kau sangat egois.",
"Egois huh?", Orland menahan tawa cemoohnya. Emosinya mendadak meningkat seketika Laurel mengatakan bahwa dirinya egois. "Bisa kau jelaskan dimana letak keegoisanku? Aku datang kemari karena aku takut hal buruk terjadi padamu.",
"Dengan cara memukulnya? Kau melewati batas!",
"Melewati batas?", tatang Orland. "Kalau aku memukulnya melewati batas, katakan padaku. Apa saat Darren berbohong padamu tentang ia bertengkar dengan Stella melewati batas?",
"What?", Laurel tertegun.
Orland menarik napas dalam berusaha menenangkan diri. Ia tidak ingin bertengkar dengan Laurel. "Saat kau mengirimkan pesan alasanmu kenapa pergi minum bersamanya. Aku menghubungi Stella. Awalnya aku bermaksud membawanya untuk membantuku. Tapi ternyata Stella mengatakan jika ia dan Darren tidak ada masalah.",
Laurel meneguk salivanya. "Apa kau yakin?",
Orland terdiam sejenak. Ia lupa jika seorang Stella sangat pandai berakting. Mungkin saja ini hanya akal-akalan gadis itu agar hubungannya dan Laurel retak. Terdengar sangat jahat jika Orland menuduh Stella seperti itu. Tapi mau bagaimana lagi?
Apalagi mengingat emosinya terlebih dulu memuncak karena melihat Darren menggenggam tangan Laurel membuatnya buta seketika. Dirinya sendiri bahkan nyaris tidak pernah menggenggam tangan Laurel. Bagaimana bisa pria lain boleh menggenggam kekasihnya?
"Entah benar atau tidak. Tapi memang Darren pantas mendapatkan pukulan itu.", jawabnya. "Dan kumohon berhentilah membelanya. Disini aku yang kekasihmu.",
"Aku tidak membelanya!", seru Laurel tak terima.
"Lalu kenapa sejak tadi kau terdengar marah padaku?",
Laurel mengusap wajahnya sambil mendesah pelan. "Orland...",
"Apa?",
"Apa kau tidak pernah diajari orang tuamu jika memukul itu salah?", tanyanya kesal.
Orland menggeleng, "Tidak.",
Laurel mengerutkan keningnya bingung. Apakah jawaban pria itu serius?
Orland yang paham dengan apa yang Laurel pikirkan hanya bisa menghela napas. Ia menangkup wajah Laurel. "Orang tuaku meninggal sejak aku masih kecil. Aku hanya tinggal bersama kakek nenekku. Dan tiga tahun lalu, nenekku meninggal. Jadi....",
Sepertinya hari ini banyak hal yang mengejutkan dirinya. Ia tak menyangka jika Orlando Spencer seorang yatim piatu. Ia merasa menyesal. "Maafkan aku. Aku tidak tahu.", ujarnya sambil melepaskan tangan Orland perlahan dari wajahnya. Lalu ia menggenggam tangan itu.
Orland mengangguk pelan. "Tidak masalah.",
"Untuk masalah memukul tadi. Lupakan saja. Aku hanya tidak ingin hubunganmu dan Darren semakin runyam.",
"Aku tahu. Anggap saja itu peringatan untuk Darren agar tidak mendekatimu. Terlepas dari benar tidaknya perkatan Stella.",
Laurel memutar matanya. "Dia tidak mendekatiku.",
"Aku tidak percaya padanya.",
"Kalau begitu percaya padaku.",
Orland mengangkat sudut bibirnya, "Aku memang sudah mempercayaimu.",
"Lipat gandakan kepercayaan itu, karena aku sudah tidak menyukai Darren sedikitpun.",
...