Laurel terduduk diatas ranjang dengan mata masih terpejam. Entah kenapa tidurnya tidak nyaman. Ranjangnya seolah melayang dan beberapa kali bergetar seolah dirinya tidur di dalam...
Seketika matanya terbuka. Dan benar saja apa yang ada di pikirannya. Ia tidur di dalam sebuah pesawat pribadi dengan interior yang sangat mewah.
Laurel tidak akan bertanya bagaimana bisa ia berada disini, siapa yang membawanya. Siapa lagi jika bukan Orlando Spencer, kekasihnya.
Dengan cepat Laurel menggeleng pelan saat sadar ia baru saja mengatakan dalam hati jika Orland adalah kekasihnya. Masih terlalu dini mengklaim pria itu miliknya meski saat ini memang Orland kekasihnya.
"Kau sudah bangun rupanya...",
Lamunan Laurel terbuyar. Ia menoleh ke arah pintu yang terbuka dan menampilkan Orland. Pria itu mengenakan pakaian yang santai, sebatas kaus, celana pendek jeans, dan sandal. Ditangannya ada segelas s**u.
"Kau tidak bertanya bagaimana caraku membawamu kemari?", Orland bertanya.
Laurel menghela napas. Ia menekuk lututnya dan bertumpu tangan diatasnya. "Berhentilah membiusku.", gerutunya. "Dan kenapa kau selalu bisa memberiku obat tidur? Sial!", makinya pelan di akhir kalimat.
Orland melangkah mendekat sambil terkekeh pelan. Ia duduk di tepian ranjang sambil menyodorkan segelas s**u. "Minumlah...",
Dengan kesal Laurel menerima gelas itu. "Mau kemana kita?", tanyanya sebelum meneguk s**u itu.
"Rumahku.",
Laurel hampir saja tersedak. Ia langsung memundurkan gelas itu dari wajahnya. Matanya melebar membuat mata bulatnya semakin tampak besar. "Apa?!", ia setengah berterik.
Orland mengusap telinganya, "Jangan berteriak. Yang lain masih tidur.",
"Bagaimana aku ti- Apa maksudmu dengan yang lain?",
Orland meraih gelas dalam genggaman Laurel dan diletakkannya diatas meja kecil di sisi ranjang. "Helen, Steven, Stella, dan Darren.",
"Kenapa kau mengajak mereka?", tanya Laurel bingung.
Bukannya menjawab, Orland menyeringai membuat Laurel bertanya, "Kenapa kau menatapku seperti itu?",
Orland mencolek dagu Laurel. "Jadi kau ingin berduaan saja denganku ceritanya?", godanya. "Tak masalah... Aku sudah menyiapkan kamar khusus unt-",
Laurel segera membungkam Orland sebelum pria itu melanjutkan perkataan yang jelas sekali berhubungan dengan hal yang v****r. "Maksudku, kau lupa jika hubungan kita dengan Stella dan Darren sedang bermasalah sejak kau menonjoknya? Dan sekarang? Kau memberi mereka obat tidur.",
"Kejadian itu sudah seminggu. Lagi pula aku yakin mereka semua tidak akan marah mengingat aku yang menanggung semua biaya. Dan, untuk Darren, aku sudah pernah membiusnya jauh sebelum mengenalmu.", Orland melepaskan tangan Laurel.
"Lalu?", tanya Laurel sambil menarik tangannya dan dilipat di depan d**a. "Belum tentu dia memaafkanmu sekarang.", dustanya. Ia tahu sekali bagaimana Darren, pasti pria itu sudah memaafkan perbuatan Orland keesokan harinya. Hanya saja, ia ingin menghindari Stella dan Darren agar tidak terlibat drama lagi.
"Itu dia tujuanku membawa kalian semua ke Indonesia. Kita akan berlibur di salah satu rumahku yang ada di Bali. Dan anggap liburan ini sebagai permintaan maafku.",
Laurel menyipitkan matanya seolah ia tidak percaya dengan perkataan Orland. "Kau tidak ada maksud tersembunyi bukan?",
Orland mengangkat bahunya. "Mungkin saja.",
Hendak saja Laurel ingin protes. Namun Orland lebih dulu membungkam Laurel. "Rencanaku tidak ada hubungannya dengan Darren maupun Stella.",
"Lalu?", tanya Laurel setelah melepaskan tangan Orland.
"Ini tentang kita.",
...
Laurel tidak pernah menyangka jika Bali sangatlah indah. Bahkan melebihi ekspetasinya meski baru melihat hamparan laut dari atas pesawat. Ia yakin, tempat ini akan menjadi tempat yang ajaib dan tak akan pernah ia lupakan karena ini merupakan liburan pertamanya keluar negri. Ya, mengingat Laurel tidak lahir di keluarga seberuntung orang-orang disekitarnya.
"Sepertinya kau sangat senang...", Orland membuka suara ketika baru selesai mengirim surel dan mendapati Laurel yang tampak sumringah mengamati pemandangan di luar jendela. Setelah mereka berbincang tadi, Orland keluar sebentar untuk membiarkan Laurel mandi dan berganti pakaian. Lalu membawa gadis itu menuju kabin utama untuk bersantai beberapa saat sebelum pesawat landing. "
"Hmm ini liburan pertamaku ke luar negri.", jawabnya tanpa mengalihkan pandangan.
Orland yang duduk di hadapan Laurel tersenyum simpul. "Benarkah?",
"Iya.",
Laurel masih saja memperhatikan pemandangan laut dibawah sana. Membuat Orland mendengus geli, "Apa pemandangan itu lebih indah dariku?",
"Iya.", jawaban Laurel masih sama. Kali ini nadanya lebih riang.
"Aku jadi cemburu dengan laut.",
Keyakinan Orland terbukti. Ucapannya berhasil membuat Laurel menoleh dan menatapnya.
"Kenapa kau cemburu dengan laut?", Laurel balik bertanya karena ia tak mengerti apa maksud perkataan Orland.
Orland memutar matanya. "Kau dari tadi lebih tertarik melihat pemandangan ketimbang diriku.",
Pernahkah Laurel mengatakan jika Orlando Spencer pria yang menarik? Sepertinya tidak. Baiklah, Laurel akui sekarang. Orland memang sangat menarik dan mempesona. Tapi jika dibandingkan dengan pemandangan yang indah Laurel pasti akan lebih memilih pemandangan. Jika ditanya kenapa, jawabannya adalah...
"Pemandangan ini belum tentu bisa kulihat lagi. Jadi jawabanku, ya, aku lebih memilih memperhatikan pemandangan dibandingkan dirimu.", jawabnya tanpa dosa.
Benar-benar diluar dugaan. Mengenal Laurel hampir tiga bulan lamanya tapi Orland masih saja tidak bisa menebak apa keinginan gadis itu. Ia menggeleng pelan, "Sepertinya aku salah membawamu kemari.", gumamnya.
Ia kembali melanjutkan mengirim surel dan membiarkan Laurel sepuasnya mengamati pemandangan dibawah sana daripada sakit hati. Dengan kesal ia mengetik sesuatu diatas wireless keyboard di iPadnya hingga menimbulkan suara ketukan yang cukup keras.
Lama kelamaan suara itu membuat Laurel mengalihkan pandangannya. Ia menahan senyum melihat bibir Orland yang berkomat-kamit tidak jelas. Cukup menggemaskan jika diperhatikan.
Detik berikutnya Laurel tersadar. Ia menggeleng pelan. Kenapa bisa ia tiba-tiba memiliki kebiasaan mengamati atau memperhatikan pria?
...
"This is yours?", tanya Steven Arckeley kekasih Helen dengan nada tak percaya ketika kami sampai di sebuah rumah musim panas di tengah hutan rimbun, Ubud, Bali.
Rumah itu sangat besar dengan bangunan bergaya modern bercampur tradisional khas Bali. Dihalaman utama, mereka disambut taman yang tidak terlalu besar, naik beberapa anak tangga ada kolam renang dan kolam air hangat beserta gazebo beratap jerami di sisinya. Lalu bangunan dibuat tiga tingkat. Di tingkat teratas, meski tidak jelas bisa dilihat karena cukup tinggi, mereka yakin jika di atap ada tempat untuk bersantai. Jangan lupa dengan dinding berwarna putih tulang dengan ornamen-ornamen kayu yang membuat rumah itu terkesan sangat menyatu dengan alam. Karena sangat menakjubkan, semua dari mereka terkecuali Orland dan Darren- yang memang pernah kemari- hanya bisa tercenga.
"Iya.", jawab Orland singkat sambil melepaskan kacamata hitamnya. "Ayo masuk.",
Dibantu beberapa orang suruhan Orland membawa semua barang. Mereka kini berada di ruang tamu utama rumah itu. Ralat, lebih pantas disebut vila. Sambil berdiri melingkar, Orland yang berdiri di tengah kini mengeluarkan tiga buah kunci.
Belum sempat pria itu membuka suara. Laurel terlebih dahulu menyela membuat semuanya menatapnya.
"Kenapa hanya ada 3 kunci?",
Helen yang paham dengan maksud Laurel langsung menyenggol lengan gadis itu. Dalam hati ia memaki dirinya sendiri karena lupa mengingatkan Laurel. Jika bepergian seperti ini. Tentu saja mereka akan mendapatkan kamar bersama pasangan. Sedangkan Orland, senyum licik di wajahnya terukir.
"Satu untukku, satu untuk Steven, dan satu untuk Darren.", jawab Orland santai.
Laurel hendak protes. Namun ia urungkan ketika mengingat Darren dan Stella kini menatapnya. Tentu saja lebih baik ia diam.
Orland yang melihat Laurel hanya terkekeh pelan. Ia segera memberikan kunci itu kepada orang yang baru saja disebut.
"Dimana kamarnya?", tanya Steven.
"Disana.", Orland menunjuk sebuah pintu yang tak jauh dari mereka berdiri. Kamar itu menghadap kearah pemandangan hutan dan sungai.
"Kamarku?", tanya Darren.
Orland menunjuk ke arah belakangnya. Menunjuk sebuah pintu kamar yang memiliki pemandangan keluar kearah kolam. Ia maju selangkah sebelum membiarkan Darren dan Stella masuk kedalam kamar. Ia berbisik, "Selamat bersenang-senang. Kau tenang saja, semua kamar disini memiliki peredam.",
Darren mendengus. Meski ia sudah memafkan tindakan Orland. Dalam lubuk hatinya ia masih merasa takut. Apalagi setelah mendengar pria itu menggodanya kini ketakutannya bertambah. Tapi detik berikutnya ia mencoba membiarkan. Lagi pula, benar apa kata Laurel saat itu. Toh yang menjalani Laurel dan Orland. Jadi terserah mereka mau berbuat apa meski Darren was-was.
Darren memaksakan seulas senyum tipis. "Kalian juga, selamat bersenang-senang.", ia menggandeng Stella sambil menggeret koper masuk kedalam kamar.
Kini, hanya Laurel dan Orland dengan koper mereka di ruang tamu. Laurel melipat tangan di depan d**a dengan maksud meminta penjelasan. Sedangkan Orland mengangkat bahunya santai.
"Apa?", tanyanya meski ia paham maksud Laurel. Gadis itu jelas menahan kekesalannya karena mereka tidur di kamar yang sama. Tak membayangkan jika Laurel tahu ini semua hanya akal-akalan Orland agar bisa bersama. Orland sengaja memilih vilanya yang ada di ubud karena hanya memiliki tiga kamar. Padahal, masih banyak vila yang ia miliki dengan kamar yang banyak sehingga setiap orang bisa tidur sendiri-sendiri.
Laurel menggeleng pelan. "Lupakan.", ia segera mengambil kopernya. Lebih baik mengalah mengingat Orland sudah membiayai semua perjalanan ini. "Dimana kamarnya?",
Orland tersenyum miring. "Di lantai dua.",
Laurel menyambar kunci yang ada di tangan Orland. Ia berlalu melewati pria itu begitu saja sambil berkata, "Untuk kali ini saja aku mau tidur denganmu. Dan jangan harap kau bisa menyentuhku!", serunya.
Orland hanya bisa menahan tawanya. Sambil menggeleng pelan ia mengambil koper miliknya yang ada di dekat sofa sebelum mengikuti Laurel. "Baiklah, tapi kalau kau yang menyentuhku, boleh saja. Dengan senang hati aku menerimanya.",
...