16. Bugs

1566 Words
Laurel lagi-lagi dibuat terperanga. Tak hanya eksterior namun interior kamar yang akan menjadi tempat berlabunya ke pulau mimpi beberapa hari kedepan juga sangatlah indah. Bahkan kamar ini  nyaris sebesar apartemen miliknya. Kamar itu memiliki dinding dua sisi, dua sisi sisanya di penuhi dengan jendela geser dengan bingkai kayu yang bisa menembus ke dua balkon. Balkon pertama menampilkan pemandangan hutan yang indah. Apalagi posisi vila ini sedikit diatas sehingga balkon terlihat sangat tinggi. Balkon kedua, menampilkan bagian utama vila. Pemandangan kolam renang dan juga tempat bersantai. Perlahan Laurel melepaskan kopernya. Ia mulai membuka jendela geser itu dan melangkah keluar ke balkon yang menghadap ke arah hutan. Sambil memejamkan matanya ia menghirup aroma pepohonan dan menikmati udara sejuk menerpa wajahnya. Rasanya, di kota Sydney sudah tidak bisa menemukan udara seperti ini. Untuk Orland, ia berdiri di dekat ranjang dengan empat pilar kayu di setiap ujungnya. Ia tersenyum sambil menarik kelambu putih yang menutupi dan mengikatnya di setiap ujung pilar. "Kau suka?", Laurel menoleh kebelakang dan mengangguk cepat. Senyuman merekah masih melekat di wajahnya. "Kata kakekku, orang tuaku juga suka kemari.", tambahnya. Mendengar Orland bercerita membuat Laurel kembali masuk kedalam dan menghampiri pria itu. "Benarkah?", tanyanya. "Iya, ini tempat mereka berbulan madu.", Laurel yang baru saja memeluk pilar kayu ranjang hanya bisa mendengus geli lalu terkekeh. "Apa maksudmu kita juga harus berbulan madu disini?", "Apa kau mau?", Orland balik bertanya sambil menyeringai. Tangannya masih bergerak mengikat kelambu terakhir di pilar kayu ujung atas kanan ranjang. "Aku hanya akan melakukannya bersama orang yang aku cintai. Jadi, kalau kau bertanya, kau tahu jawabanku.", Orland mengerutkan keningnya. Ia melangkah lebih dekat. Lalu bersandar pada pilar kayu di sebrang Laurel di ujung kanan bawah. "Aku masih tidak paham. Kalau menurutku, kau mencintaiku. Jadi...", Laurel memutar matanya, "You perv!", "I know.", balasnya sambil mengedipkan sebelah mata. Lalu ia teringat sesuatu. "Wait...", "Apa?!", tanya Laurel sewot. "Jadi kau belum pernah...", ia sengaja menggantung kalimatnya. Laurel mendengus. Ia merasa harga dirinya seolah diinjak-injak oleh Orland. "Aku tak akan menjawab!", padahal sudah bisa dipastikan Orland mengetahui apa jawabannya. Tiba-tiba saja Orland membuka kausnya membuat Laurel panik. Ia menegakkan tubuhnya dan melepas pelukannya dari pilar kayu. "Apa yang kau lakukan?", "Melepas kaus.", jawab Orland santai sambil membuang kausnya keatas ranjang. "Aku tahu bodoh! Maksudku kenapa kau melepasnya?!", seru Laurel. Orland mengangkat bahunya. "Entahlah, tergantung dirimu.", "Cepat pakai kembali!", perintahnya. Jujur saja, Laurel tidak takut bila pria itu mendadak menyerangnya. Meski ia tahu Orland adalah pria badboy, tapi selama mengenalnya ia paham jika ia masih memiliki sopan santun terhadap Laurel. Terbukti beberapa kali pria itu bisa mengambil kesempatan tapi ia tidak melakukannya. Tapi yang membuat Laurel kesal karena ia takut perkataan Orland saat di ruang tamu tadi adalah benar. Ia takut jika ia yang tidak bisa menahan diri. Sekarang, siapa yang bisa tahan jika dihadapannya ada pria tampan dan mempesona seperti Orlando Spencer tengah bertelanjang d**a? Apalagi, ini baru pertama kalinya Laurel melihat tubuh Orland yang ternyata sangat indah. Selama berteman dengan Darren ia tidak pernah melihat tubuh pria itu. Laurel meneguk salivanya. Ia membuang wajah ke arah lain. Mendadak oksigen di dalam kamar ini menipis membuatnya susah bernapas. Sekuat tenaga Laurel menahan napas. "Aku tidak mau. Bagaimana?", Laurel kembali menatap Orland. "Cepat pakai! Kau lupa kita berada di tengah hutan?", "Lalu apa masalahnya?", "Banyak se-SERANGGA!", Laurel hendak mengelak namun malah berteriak seketika melihat seekor serangga baru saja terbang dan mendarat di lengan Orland. Ia langsung melompat mundur. Orland tertawa. "Ini hanya capung.", ujarnya sambil menunjukkan capung yang mendarat di lengannya. "Tetap saja!", teriak Laurel. "Jangan mendekat!", Senyuman licik nan jahat seketika mengembang di bibir Orland. Ide iblis terlintas di kepalanya. "Aku pikir, gadis sepertimu tidak takut pada sesuatu. Ternyata....", ia sengaja menggantung kalimatnya. "Orland! Don't you dare!", peringatnya dengan nada tajam. "Kenapa sih kau membeli vila di tengah hutan seperti ini?!", karena terlalu menganggumi bangunan vila membuat Laurel lupa jika ia takut dengan serangga. "Apa kau tak tahu? Ubud adalah desa termahal di Indonesia. Dan karena kekasihmu ini sangat kaya raya, jadi... kau paham?", Laurel melipat tangannya di depan d**a. "Aku tidak pe- ORLAND!", jeritnya seketika Orland menangkap capung itu dan melangkah mendekat kearahnya. Laurel langsung berlari menghindari dengan naik keatas ranjang. "Berhenti menggodaku!", "Ini sungguh menarik.", gumam Orland sebelum kembali mengejar Laurel. Alhasil mereka berlari mengintari seluruh kamar. Dari menaiki ranjang, turun mengintari sofa. Kembali lagi hingga berputar-putar. Orland tertawa lepas. Sedangkan Laurel hampir saja menangis meski sesekali diselingi tawa ketika melihat Orland. Hingga beberapa saat mereka masih berlari. Orland melepaskan capung di tangannya dan segera menangkap Laurel dari belakang. Mereka jatuh kesamping diatas ranjang. Jelas sekali, Laurel berteriak sekencang-kencangnya karena gadis itu tidak tahu jika Orland sudah melepas capung tadi. Ia menutup wajahnya dan berteriak. Orland terbahak. "Laurel...", panggilnya sambil berusaha berhenti tertawa. Laurel sudah tidak berteriak. Namun masih menutup wajahnya membuat Orland berhenti tertawa dan tersenyum. Sambil menyangga kepala dengan sebelah tangan, ia bertanya, "Hei... aku sudah membuang capungnya sejak tadi.", Detik berikutnya Orland menyadari sesuatu membuatnya menahan tawanya. Sebelah tangannya mencoba menarik tangan Laurel yang menutupi wajahnya. "Apa kau menangis?", Laurel akhirnya terisak. Ia mengangguk pelan sambil merapatkan tangannya. Orland menggeleng pelan, tak menyangka jika saat menangis Laurel sangat menggemaskan. Perlahan ia menarik Laurel kedekapannya. Menjadikan sebelah tangannya menjadi bantal untuk kepala Laurel. "Sudah jangan menangis lagi. Maafkan aku... aku hanya terlalu senang menggodamu.", Laurel sedikit membuka tangannya dan mendongak. Ia menatap Orland, "Jangan menjahiliku dengan serangga lagi.", Orland mencubit gemas hidung Laurel yang memerah karena menangis. "Aku janji aku tidak akan menjahilimu dengan serangga lagi. Dan, aku akan memanggil orang untuk membasmi serangga di kamar ini.", "Benarkah?", Orland tersenyum simpul, "Apa aku pernah tidak menepati ucapanku?", ... Sore harinya, mereka semua bersantai di rooftop vila. Ternyata diatas ada sebuah gazebo dan beberapa kursi berjemur. Di sisi kanan terdapat kolam ikan dengan teratai menghiasi. Helen dan Steven, mereka menyiapkan panggangan. Darren dan Stella menyiapkan minuman. Sedangkan Orland dan Laurel menyiapkan bahan-bahan untuk bbq. Setelah semua selesai, mereka mulai membakar satu persatu bahan. Sosis, ikan, seafood, dan lain sebagainya. Saat makan dimulai, Helen tiba-tiba membuka pembicaraan. "Hmmm apa tidak ada musik?", Orland yang baru menggigit sate udang melirik Helen. "Ada speaker dibawah.", "Tidak perlu!", sergah Darren membuat semuanya menatap pria itu. Ia tersenyum, "Bagaimana kalau kita mendengar Laurel bernyanyi? Sudah lama sekali aku tidak mendengarnya.", Laurel gelagapan. Apalagi saat Orland bertanya padanya, "Kau bisa bernyanyi?", Laurel meringis pelan. Ia meletakkan piring di tangannya lalu mengusap tengkuk. "Sedikit.", "Ayolah jangan merendah. Aku tahu kau sangat pandai bernyanyi dan bermain musik.", Stella menatap Orland. "Kau harus mendengarnya.", "Iya aku juga penasaran.", celetuk Steven. Mau tidak mau Laurel mengangguk. "Baiklah aku akan mengambil gitar. Tunggu sebentar...", Tak lama karena Orland mengambil gitar di lantai dua. Ia langsung menyodorkan gitar itu kearah Laurel. "Silahkan...", "Terima kasih.", Laurel berdehem membersihkan tenggorokannya. "Kalian mau lagu apa?", "Apa saja.", jawab Orland. Yang lain mengangguk mengiyakan. Laurel mencoba berpikir sejenak. Lalu ia teringat akan sebuah lagu yang sering ia nyanyikan saat masih awal-awal kuliah. Sebelum mulai, ia menggosok kedua tangannya. Jujur, ia cukup grogi mengingat sudah lama ia tidak bermain musik. Perlahan ia mencoba memainkan beberapa kunci. Setelah merasa kuncinya pas. Laurel berdehem pelan sesuai irama lagu yang hendak ia nyanyikan. "I'm imprisoned, I'm living a lie Another night of putting on a disguise I wanna tear it off and step in the light Don't you, don't you? So now I'm knocking at your front door And I'm looking for the right cure I'm still a little bit unsure 'Cause I know, Yeah I know.", Laurel semakin cepat memainkan gitarnya ketika hendak memasuki reff. Tanpa sengaja ia menatap Darren yang duduk di sebrangnya. "That most people see me as ordinary But if you look close you'll find I'm very Interesting and hard to know You can never tell where this might go 'Cause I'm not your average, average person I don't know much, but I know for certain That I'm just a little bit extra, extra I'm just a little bit extra ordinary.", Laurel menunduk sejenak. Lalu ia mengalihkan pandangannya pada Orland. Sambil tersenyum ia menyanyikan bait kedua. "I can see it from the spark in your eyes You believe in all the things you deny You wanna fly and leave your worries behind Don't you, don't you? Well now I'm knocking at your front door And I'm looking for the right cure I'm still a little bit unsure 'Cause I know, Yeah I know That most people see me as ordinary But if you look close you'll find I'm very Interesting and hard to know You can never tell where this might go 'Cause I'm not your average, average person I don't know much, but I know for certain That I'm just a little bit extra, extra I'm just a little bit extra ordinary.", Semuanya langsung bertepuk tangan ketika Laurel berhenti bernyanyi membuat gadis itu tersipu malu dan menyelipkan anak-anak rambut ke belakang telinga. Apalagi sejak tadi, ia dan Orland cukup lama saling menatap hingga tanpa disadari mereka mencondongkan tubuh, menghapus jarak yang ada sambil menatap bibir satu sama lain. Perlahan, Orland menarik dagu Laurel dan mengecup bibir itu singkat. Tepuk tangan semakin riuh. Terutama dari Helen karena gadis itu sangat senang melihat keduanya semakin dekat. Ia tahu, meski hanya pura-pura, namun keduanya mampu memantapkan diri untuk menjalin hubungan yang sesungguhnya. Untuk Darren, ia sejenak merasakan hal yang janggal ketika mendengar Laurel menyanyikan setiap lirik sambil menatapnya. Tapi ia berusaha tersenyum dan bertepuk tangan seolah ikut senang dengan Orland dan Laurel. ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD