Gadis dihadapannya sama sekali belum mengeluarkan satu katapun sejak tadi. Padahal sudah hampir setengah jam setelah kedatangan mereka di sebuah Cafe yang tak jauh dari kampus untuk menikmati sarapan bersama seperti biasa.
Akhirnya ia berdehem dan membuka pembicaraan, "Tentang pesan tadi malam... jadi?", pancing Orland.
Laurel yang sejak tadi menunduk, menggigit bibir dan memainkan jari kini mengangkat kepalanya. Ia mengangkat sebelah alisnya. "Hmm?", lalu ia mengerjap. "Maaf.",
Orland mengangkat kedua sudut bibirnya. "Apa ada yang mau kau sampaikan?", tanyanya. Sebenarnya, pagi ini ia merasakan ada hal yang berbeda dari Laurel. Biasanya gadis itu akan menggerutu, mengomel, memakinya terkadang. Tapi pagi ini? Gadis itu lebih banyak diam, berdehem, dan tampak gugup?
"Sebenarnya. Aku....",
"Aku?", Orland mengikuti cara bicara Laurel. "Aku kenapa?",
Laurel meneguk salivanya. Ia menatap sekeliling ruangan untuk mengurangi kegugupannya.
Orland yang melihat sikap Laurel menjadi terbawa. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri sama seperti yany Laurel lakukan tanpa tahu apa yang sebenarnya di cari.
"Apa yang kau cari?",
"Ti-tidak ada.", jawabnya cepat. Kali ini ia menatap Orland.
Orland mendengus pelan. Ia menggeleng beberapa kali sebelum memutuskan memanggil pelayan untuk mengurangu suasana aneh ini.
Setelah selesai memesan. Mereka kembali terdiam. Hingga Orland sudah tidak tahan. Ia menyeret kursinya mendekat ke sisi Laurel.
Gadis itu cukup bingung. Apalagi ketika Orlans bertumpu pada sandaran tangan membuat jarak diantara mereka semakin menyempit.
Dari jarak yang sangat dekat itu. Laurel bisa mencium aroma parfum dari tubuh Orland secara jelas. Ia juga bisa melihat manik mata Orland yang ternyata memancarkan warna cokelat. Tentu hal itu sedikit membuatnya gugup.
"Apa yang kau lakukan?", tanya Laurel pelan.
"Apa yang aku lakukan?", Orland mengulangi pertanyaan Laurel sambil menyeringai. "Seharusnya aku yang bertanya seperti itu, Laurel. Kau tadi malam mengirimku pesan karena ingin mengatakan sesuatu. Dan pagi ini kau bersedia ikut sarapan bersamaku tanpa paksaan sedikitpun. Sekarang? Kau terlihat gugup. Kemana sifat pemberontakmu terhadapku?", tanyanya.
Laurel mendesah pelan. "Sebenarnya aku ingin meminta bantuanmu.", cicitnya.
"Hmm? Bisa kau ulangi?",
Pada saat inilah, sifat pemberontak Laurel akhirnya kembali. Ia mendelik sebal kearah Orland dan siap mencerca pria itu. "Apa aku harus mengulanginya? Aku yakin kau mendengarku",
Orland menjauhkan sedikit tubuhnya. Ia bersandar pada sandaran kursi cafe dan terkekeh pelan. "Aku mendengarmu. Hanya saja aku ingin mendengarnya lagi kau mengatakan bahwa kau membutuhkan bantuanku.",
Laurel mendengus. "Jadi, kau mau tidak membantuku?",
"Apa yang kau pikirkan sehingga kau berpikir bahwa aku mau membantumu? Secara... aku sudah membantumu banyak hal. Membantumu saat di klab, cek. Membantumu dalam kredit poin, cek.",
"Aku hanya butuh jawaban ya atau tidak.", gerutunya.
"Tapi apa salah kalau aku bertanya? Aku harus tahu bantuan apa yang kau butuhkan dariku. Siapa tahu kau hanya memanfaatkanku.", ujar Orland dengan penuh percaya diri. Sebenarnya ia tidak benar-benar berniat mengatakan hal itu. Hanya saja, menggoda Laurel cukup menyenangkan baginya. Ia juga tahu bahwa sejak awal, Laurel bukanlah orang yang memiliki sifat memanfaatkan orang lain. Selama inipun, semua bantuan yang dilakukannya bukan karena Laurel yang meminta. Itu semua karena dirinya bersedia.
"Aku ti-",
"Biar aku puas. Bagaimana kalau kau membalasku.", potong Orland.
"Dasar pamrih!", seru Laurel. Ia melemparkan tatapan tajam kearah Orland.
Orland mengangkat bahunya santai. "Selama ini aku sudah banyak membantumu. Apa salahnya kalau aku meminta balas budi?",
Laurel berdecak. Ia melipat tangannya di depan d**a. "Apa maumu?",
"Aku tidak tahu.", jawab Orland cepat. "Tapi...", tambahnya sebelum Laurel kembali membuka suara untuk protes. Gadis itu menutup mulutnya rapat dan cemberut. "Katakan terlebih dahulu apa yang kau butuhkan dariku. Baru aku memberitahumu apa mauku agar kau bisa membalasnya.",
Laurel meletakkan kedua tangannya di tepian meja. Ia mencondongkan sedikit tubuhnya kedepan dan menatap Orland. "Ini berhubungan dengan kejadian di klab.",
"Maksudmu?",
"Pria yang saat itu mengajakku berkenalan. Dia suruhan salah satu sahabatku bernama Stella. Dan Stella memintaku membawamu makan malam sabtu besok sebagai bukti apakah benar kau kekasihku apa tidak.",
Setelah mendengar penjelasan Laurel. Senyuman di wajah Orland kian melebar. Senyuman lebar itu lebih seperti menyeringai membuat Laurel sedikit bergidik ngeri.
"Kenapa kau tersenyum seperti itu?",
"Sekarang aku tahu apa yang aku mau.",
"Apa?",
"Be my girlfriend.".
"Hah?!",
...
Selamat, kau diterima menjadi kekasih Orlando Spencer.
Tanpa membaca pesan itu, Laurel sudah uring-uringan sendiri sejak pulang kuliah siang karena ucapan Orland saat sarapan tadi pagi. Dan sekarang? Pria itu mengirimnya pesan seolah dirinya harus merayakan tentang hal menyebalkan itu. "Dia mau menembak perempuan atau memberi pengumuman lomba sih?!",
Laurel dengan cepat membalas pesan itu,
Aku belum mengatakan kalau aku mau!
Disisi lain, Orland yang baru saja keluar dari kamar mandi setelah membersihkan diri tersenyum licik. Ia mengetik balasan. Kalau begitu aku tidak mau ikut makan malam denganmu.
Laurel melebarkan matanya. Lalu ia berpikir sejenak. Dasar tukang ancam! Tempo hari kau mengancam akan memotong kredit poinku. Dan sekarang kau mengancam tentang makan malam. Baiklah, aku juga bisa mengancammu...
Orland membalas, Aku akan mendengarkan dengan baik ancamanmu ;)
Laurel berdecak kesal. Kenapa ia sangat bodoh mengatakan akan mengancam seorang Orlando Spencer? Padahal selama ini dirinya yang membutuhkan Orland. Aku akan mencari pria lain yang mau membantuku tanpa pamrih! Tanpa Laurel sangka. Balasannya itu membuat pria yang menerimanya mendadak tersedak salivanya sendiri.
Kalau kau mencari pria lain. Silahkan saja. Katakan sampai jumpa dengan kredit poin dan magangmu.
Orland yakin, pesan terakhirnya pasti membuahkan hasil yang baik. Ia sangat tahu bahwa Laurel membutuhkan kredit poin. Pasti gadis itu tidak bisa menolak. Dan benar saja, gadis itu membalas.
Fine! Jangan terlambat! Jemput aku jam 7.
Orland tersenyum penuh kemenangan.
As your wish my queen. Setelah itu, ia melemparkan ponselnya diatas ranjang dan merebahkan diri.
...
Laurel menatap dua buah kotak yang cukup besar diatas meja makannya saat ini. Baru saja ada seorang kurir mengantarkan paket untuknya tanpa memberitahu siapa pengirimnya. Dengan melipat tangan di depan d**a dan menggigit jempol. Lurel menggeleng pelan karena ragu.
"Jangan-jangan isinya bom.", gumamnya pelan.
Tapi tidak mungkin berisi bom. Apartemen ini punya sistim pengecekan barang di lobi. Kalau sampai isinya bom, pasti paket ini sudah di tahan di bawah.
Pada akhirnya Laurel memilih membuka kotak itu.
Kotak pertama yang ia buka, kotak berwarna biru donker dengan pita biru muda diatasnya. Didalam kotak itu ada sebuah kotak lagi yang ia yakini adalah kotak sepatu. Lalu disebelah kotak sepatu itu ada satu paper bag sedang yang ia tahu dari sebuah store untuk kosemtik. Benar saja sesuai dugaannya. Ada sepasang pump stiletto dan makeup highend brand yang cukup lengkap.
Berpindah ke kotak besar kedua. Kotak itu berwarna hitam polos bergliter. Ketika Laurel membuka tutup kotak itu, terdapat sebuah dress berwarna salem.
Meski dalam posisi terlipat, dress itu sudah mampu memukau Laurel.
"Siapa yang mengirim ini semua?", tanyanya entah pada siapa.
Laurel mencoba mencari di dalam semua kotak itu. Apa ada surat atau apapun yang bisa menjelaskan siapa yang mengirimnya. Tapi hasilnya nihil. Tidak ada apapun yang bisa ia temukan.
Hingga ponselnya berdering. Laurel segera mengangkat panggilan itu tanpa melihat siapa yang menghubunginya.
"Halo?", sapa Laurel.
"Hei.",
"Siapa ini?", tanyanya.
"Really? Kau tidak menyimpan nomor ponsel pacarmu sendiri?",
Segera Laurel menjauhkan ponselnya dan menatap layar yang menyala itu dengan pandangan horor. Ternyata Orlando Spencer. Perlahan ia kembali mendekatkan ponsel di genggamannya ke telinga. Ia meringis pelan karena merasa sedikit bersalah. Memang tindakannya ini cukup kejam bila dipikir. "Maafkan aku. Aku tidak melihat namamu.", dustanya. Padahal apa yang pria itu katakan benar. Ia selama ini tidak menyimpan nomornya. "Aku sedang mencari sesuatu. Jadi aku tidak fokus.", tambahnya yang semoga mampu menutupi kebohongannya.
"No need to say sorry. Apa yang sedang kau cari?", tanya Orland dengan nada lembut.
Sambil kembali mencari nama pengirim yang mengirimkan semua barang mahal dihadapannya, Laurel berkata, "Ada yang mengirimkan paket untukku. Tapi tidak ada naman- kenapa aku bercerita ini padamu? Arrggg! Kenapa kau menghubungiku? Kalau tidak penting akan ku tutup!",
Disisi lain, Orland yang tadinya tersenyum kini mengerutkan keningnya bingung. Padahal dirinya sudah senang bahwa Laurel tiba-tiba melembut dan menjelaskan apa kegiatannya. Tapi sialnya, mendadak gadis itu sadar. "Eh tunggu dulu!",
"Cepatlah. Aku ingin bersiap.",
Orland berdehem pelan. "Aku menghubungimu karena ingin bertanya pendapatmu mengenai barang yang ku kirim. Tapi ternyata kau dulu yang mengatakannya.",
"Hah?!",
Keyakinan Orland saat ini seratus persen bila Laurel melotot dan membuka mulutnya lebar. Memikirkan hal itu membuat Orland tertawa renyah. "Aku sedang membayangkan wajahmu saat ini. Sangat-sangat lucu...",
"Jangan bercanda!",
"Siapa yang bercanda? Sekarang ku tanya padamu. Siapa diantara semua orang yang kau kenal bersedia memberikan semua barang itu kepadamu secara cuma-cuma? Tentu saja jawabannya adalah kekasihmu ini.", ujar Orland bangga menjawab pertanyaannya sendiri.
Kembali ke sisi Laurel. Gadis itu mendesah panjang. Sepertinya ia harus berhenti berkata kasar, mengomel, menggerutu, dan lain sebagainya kepada Orland. Tapi jika ia melakukan itu, Orland akan besar kepala dan semakin menjadi. Apa yang harus ia lakukan?
"Pakai semua barang yang kuberi dan jangan lupa dandan yang cantik. Aku akan menjemputmu tepat pukul 7. See you beib.",
"Orland tun-",
Laurel menatap layar ponselnya sebal karena Orland langsung memutus panggilannya. Dengan sedikit kasar, ia meletakkan ponselnya diatas meja makan dan berkacak pinggang sambil melirik kearah semua barang dihadapannya.
...