8. Double (Date) Trouble

1490 Words
Laurel melangkah keluar dari dalam lobi dengan sangat anggunya. Gadis itu tampak sangat menakjubkan dengan dress yang Orland sengaja pilih sendiri. Dan tak disangka, ternyata pilihannya sangat pas dengan warna kulit Laurel. Tak hanya itu, malam ini Laurel terlihat sangat cantik meski hanya dengan polesan makeup yang natural. Bukan berarti selama ini gadis itu jelek.  Laurel Anderson, sejak awal sudah menarik perhatian Orland saat di klab meski tanpa perlu melambai kearahnya untuk meminta bantuan. "Wow.", Kata itu yang hanya bisa Orland sampaikan untuk mendeskripsikan apa yang ia lihat saat ini. Ia bangkit berdiri setelah bersandar di atas kap mobil dan melangkah mendekat kearah Laurel. "Kenapa kau melihatku seperti itu?", tanya Laurel membuat Orland mengerjap. Momen yang menurutnya epik tadi mendadak seperti kaset yang rusak karena pertanyaan dengan nada ketus itu. Orland menggeleng, "Tidak. Hanya saja, aku lebih suka kau tanpa makeup.", ia tidak bohong. Ia lebih menyukai Laurel yang seperti biasa meski tak menampik kenyataan bahwa ia juga suka dengan apa yang ia lihat saat ini. Tapi ia tak mau mengakui kenyataan yang pastinya membuat Laurel semakin gencar mengejeknya. "Kau yang menyuruhku berdandan.", sindirnya. "Dan sebaiknya lain kali aku memanggilkan makeup artist untukmu.", balas Orland membuat Laurel mendengus. Lalu Pria itu membukakan pintu untuk Laurel. ... "Jadi, bisa kau jelaskan sedikit tentangmu dan orang yang akan kita temui?", Untuk pertama kalinya, Laurel menyetujui perkataan Orland. "Ternyata kau pintar juga.", Orland mendengus. "Kau lupa siapa aku?", "Ingat. Orlando Spencer, pria menyebalkan yang punya tingkat kepercayaan yang tinggi.", "Jangan lupa tentang ta-", "Tampan dan kaya.", potong Laurel. "Ya aku ingat.", tambahnya. Orland menyeringai. "Kau lupa satu hal.", Laurel menoleh. Alisnya berkerut. "Your boyfriend.", ujarnya penuh percaya diri sambil melirik Laurel. "Jadi, mulai dari mana yang ingin kau tahu?", Laurel mengalihkan pembicaraan membuat Orland menahan senyumnya. Gadis itu sama sekali tidak menyanggah perkataannya. Orland berdehem. Matanya kembali fokus dan lurus kejalan. "Hmm langsung saja ke orang-orang yang akan kita temui.", "Katanya kau juga ingin tahu tentangku?", tanya Laurel sedikit tak terima. "Aku sudah banyak tahu tentangmu.", Laurel menghela napasnya. "Tentu saja. Kau pasti membayar mahal orang untuk menyelidikiku. Benar?", Orland mengangkat bahunya. "Tapi tak masalah kalau kau mau aku mempelajari lagi tentangmu. Siapa tahu saat memperlajari lebih dalam kau akan menjadi kekasihku.", jawabnya. "Kekasih sesungguhnya.", tambahnya sambil mengangkat sudut bibirnya. "Bisa kita kembali ke topik?", tanya Laurel tajam. Orland mengangkat bahunya santai. ... "Jadi, kau menyukai pria ini sejak kau SD?", tanyanya yang baru saja mengunci mobil. Laurel mengangguk pelan. "Dan sekarang dia sudah bertunangan.", jawabnya lesu. Orland berhenti melangkah diantara dua mobil yang terparkir. Membuat Laurel yang tadinya sudah melangkah dahulu ikut berhenti ketika sadar bahwa Orland tertinggal. "Kenapa?", tanya Laurel. "Tunggu dulu...", Laurel melangkah mendekat. Alisnya terangkat sebelah. "Ada apa?", tanyanya lagi. "Jadi, sahabat yang kau maksud itu... Wanita yang berusaha menjodohkanmu di klab dan wanita yang bertunangan dengan pria yang kau sukai?", "Iya. Dia sengaja berusaha menjodohkanku agar aku tidak merebut tunangannya.", "Lalu, apa kau memang mau merebutnya?", Laurel menggeleng. "Aku tidak pernah berpikiran seperti itu.", "Sepertinya, sahabatmu ini tipe orang yang cemburu dan posesif.", "Bisa dibilang begitu.", Orland mendengus. "Ternyata hidupmu sial juga.", Tangan Laurel langsung melayangkan pukulan di lengan Orland. Tapi pria itu sama sekali tidak kesakitan dan semakin terbahak. "Jangan tertawa!", peringat Laurel. Orland berusaha menahan senyumnya. Ia kembali melangkah membuat Laurel mengikuti pria itu dari belakang. "Tapi jika dipikir lagi. Kau tidak terlalu sial.", "Kenapa bisa?", Orland merangkul bahu Laurel. Menarik gadis itu agar tidak ada jarak diantara mereka. Sambil tersenyum lebar, ia mengatakan dengan percaya diri, "Karena kau bertemu denganku.", ... "Okey guys, what is going on right now?", Stella membuka suara pada akhirnya. Sejak dua puluh menit yang lalu. Mereka berempat hanya duduk diam dan saling berpandangan satu sama lain. Darren yang duduk di sisi Stella, menatap Orland, begitupun sebaliknya. Mereka saling menatap seolah mereka bisa berbincang melalui mata mereka. Sedangkan Stella dan Laurel hanya melirik sesekali sambil bertanya-tanya dalam hati dengan apa yang sedang terjadi saat ini. "Laurel... apa benar kalian berpacaran?", tanya Darren pada Laurel. Tapi matanya masih menatap Orland. Dan kali ini tatapannya kian menajam. Laurel hendak membuka suara. Tapi Orland segera memotong pembicaraan, "Kenapa kau tidak langsung bertanya padaku?", "Aku ingin mendengar langsung dari bibirnya.", jawab Darren ketus. Darren kini menoleh kearah Laurel. Sedikit gelagapan, Laurel berdehem. "Hmmm iya kita berpacaran.", Darren sontak bangkit dari kursi, memutari meja dan berdiri di belakang Laurel. "Ikut aku.", Laurel melirik Stella dan Orland sebelum ia bangkit berdiri. Tercetak jelas di wajah mereka berdua terukir ekspersi yang tidak suka. Ralat, cemburu. Perlahan Laurel membungkuk dan berbisik pada Orland, "Aku tinggal sebentar.", Orland sempat menahan Laurel dengan menggenggam lengan gadis itu. Tapi perlahan ia melepaskannya karena Laurel menatapnya seolah mengatakan, "Kumohon, hanya beberapa menit.", sebelum ia benar-benar melepas tangannya dan membiarkan Darren membawa Laurel untuk berbincang empat mata di luar. Dengan sedikit kesal, Orland menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi sambil mengusap wajahnya. Mengetahui bahwa pria yang Laurel ceritakan sejak tadi adalah sahabatnya sendiri cukup membuatnya pusing. Rasanya seperti beberapa kejadian yang ia alami kembali terulang. Hampir sama ketika ia menyukai Michelle Harrison yang pada akhirnya lebih memilih sahabatnya Daniel. Memang, dari luar, seorang Orlando Spencer terlihat sangat beruntung. Lahir dalam keluarga yang kaya, punya paras dan fisik nyaris sempurna. Tapi ternyata dalam masalah percintaan ia kurang beruntung. Sepertinya ia terkena karma karena mengejek Laurel tadi. Atau, karma karena banyak mempermainkan perempuan? ... Laurel menggigit bibir bawahnya sambil memandang Darren yang berdiri membelakanginya di taman saat ini. Pria itu tampak mengusap wajah hingga melewati kepala. Lalu melemparkan tangannya keudara seraya membuang kekesalan dalam diri. Ketika Darren berbalik, Laurel segera menunduk. Rasanya keadaan saat ini lebih seperti orang tua yang akan mendisiplinkan anaknya. Dan ia benci itu. "Apa benar kau berpacaran dengannya?", Darren membuka pembicaraan. Laurel mengangguk. "Oh Tuhan...", desahnya. Darren tampak frustasi. "Maaf tidak memberitahumu.", cicit Laurel. Darren berdecak. "Aku bukan mempermasalahkan kau memberitahuku apa tidak, Laurel.", ujarnya. "Aku disini mempermasalahkan kenapa kau berpacaran dengannya? Why him?", "Maksudmu dengan Orland?", "Orlando Spencer, he's a bad- maksudku, jika saja kau berpacaran dengan pria lain, aku mungkin merelakanmu.", Laurel mengerutkan keningnya, "Mungkin?", tanyanya. Darren mengangguk kecil. "Aku mengenal Orland cukup lama. Dia tidak mungkin serius denganmu. Dia tidak pernah serius dengan siapapun.", ia melangkah mendekat. Menepuk kedua bahu Laurel. "Aku tidak ingin kau berakhir sama seperti wanita-wanitanya.", timpalnya. Sudut bibir Laurel terangkat. Ia melepaskan tangan Darren dari bahunya. "Terima kasih sudah mengkhawatirkanku, Darren. Tapi sekarang aku bisa menjaga diriku sendiri.", "Kau belum bisa menjaga dirimu sendiri.", komentarnya. Darren paham sekali bagaimana Laurel. Ia juga paham bahwa selama ini Laurel juga belum pernah menjalin hubungan cinta dengan siapapun membuatnya semakin khawatir. Apalagi dengan pria bad boy seperti Orlando Spencer. "Kalaupun apa yang kau katakan benar. Aku harap kau berhenti menjagaku. Kita berdua sudah punya kehidupan masing-masing sekarang.", Terdengar helaan napas panjang dari bibir Darren. Pria itu menunduk sesaat sebelum menarik napas kembali sambil mengusap kepala Laurel. "Ayo kita kembali kedalam. Aku yakin Orland dan Stella lebih khawatir dibandingkan dirimu.", timpal Laurel. Darren mengangguk kecil. ... Orland menatap jam tangannya sembari menghitung detik yang berjalan. Sesekali matanya menatap kearah pintu restoran berharap melihat Darren dan Laurel melangkah masuk. "Jadi, bagaimana kalian bertemu?", tanya Stella tiba-tiba. Tanpa mengalihkan pandangannya, Orland menjawab cepat, "Kampus.", "Benarkah? Tapi kenapa aku baru melihatmu?", "Kau saja yang kurang jauh saat bermain. Jadi kau tak melihatku.", jawab Orland acuh. Stella berdehem, membuat Orland melirik sinis sekilas. Menurutnya, Stella berusaha menarik perhatiannya sejak kepergian Darren dan Laurel lima belas menit lalu. Dan itu sangat mengganggu. Orland memang memiliki trek yang buruk jika menyangkut dengan perempuan. Tapi ia konsisten dan setia. Jika ia sedang bersama perempuan A, ia tidak akan berpaling ke B sebelum ia bosan atau memutuskan hubungan. Jadi, bukan sekaligus bersama A, B, bahkan C. "Aku dengar, kampus sekarang menjadi milikmu. Apa benar?", "Ya.", "Berarti kau juga memiliki saham sebanyak 45% dari bisnis kakekmu?", "Ya.", Stella membuat gerakan menyelipkan rambut kebelakang telinga. "Lalu, apa kau tinggal disini selamanya atau kembali ke Indonesia?", Orland mulai geram. Ia menatap Stella malas. "Bisakah kau berhenti bertanya?", Baiklah, terdengar kasar. Tapi Stella pantas mendapatkannya. "Maaf membuatmu tak nyaman.", mendadak wanita itu memasang ekspresi menyesal. Ingin sekali Orland bertepuk tangan sekencangnya dan memberi selamat pada Stella jika gadis itu pandai berakting. Tapi demi menjaga persahabatnnya dengan Darren ia memilih diam dan kembali menghitung waktu. Terdengar bodoh, tapi lebih baik dibandingkan mendengar ocehan-ocehan Stella. "Ah itu mereka.", ujar Stella beberapa saat setelahnya. Orland bangkit berdiri. Menghampiri Laurel dan menggandengnya. "Apa kau baik-baik saja?", "Dia baik-baik saja. Seharusnya aku yang bertanya seperti itu padanya.", sindir Darren. Orland mengangkat sebelah alisnya. "Apa sebenarnya masalahmu? Kau sahabatku dan sahabat Laurel, seharusnya kau mendukung kami.", ujarnya langsung menebak apa alasan Darren mendadak tidak menyukainya. "Maaf, untuk masalah ini aku tidak bisa mendukung kalian.", Laurel menghela napas. Keningnya mendadak berdenyut. "Bisakah kalian berhenti berdebat?", Darren tak menjawab. Pria itu melewati Orland dan Laurel untuk menggandeng Stella pergi. Tapi ketika ia kembali melewati keduanya, Darren berhenti melangkah tepat di depan Laurel dan mengatkan, "Kalau dia menyakitimu, katakan padaku.", ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD