"Selamat pagi.",
Laurel menggeram dan langsung menerobos masuk kedalam penthouse Orland tanpa menggubris sapaan pria itu ketika membukakan pintu.
Sambil meletakkan dua cup kopi yang baru ia beli di coffee shop sebrang di atas meja foyer, Laurel mengatakan, "Ini hari sabtu, kenapa kau memanggilku?",
"Aku banyak pekerjaan. Jadi kau harus membantuku.",
Laurel mengusap wajahnya kasar. "Asal kau tahu, aku baru tidur jam 2 pagi karena menilai semua tugas-tugas yang kau berikan di kelas exim.", jawabnya. Lalu ia melepaskan jaketnya.
Orland yang membantu menggantungkan jaket Laurel kini terkekeh pelan. "Demi kredit poin pasti tak masalah bukan?", godanya.
Laurel memutar matanya. Ia mengambil kembali kopi yang ia letakkan dan melangkah masuk kedalam.
"Apa kau sudah sarapan?", tanya Orland. Pria itu tidak mengikuti Laurel menuju ruang kerjanya. Ia berbelok menuju dapur dan membuka kulkas.
"Bagaimana caraku sarapan jika kau menyuruhku kemari pukul tujuh pagi hah?!", serunya setengah berteriak.
"Aku hanya ada roti isi tuna dan mayonaise. Apa kau mau?" Orland ikut berteriak.
"Asal kau tidak meracuniku!",
Orland menggelengkan kepala. "Mana mungkin aku meracuni kekasihku.", gumamnya tanpa sadar.
Lalu ia segera membuat sarapan itu dengan cekatan.
Tak banyak yang tahu bila Orland cukup pandai memasak. Hanya segelintir orang seperti Daniel, Axel dan kakeknya. Dan sekarang, Laurel. Gadis itu tiba-tiba sudah berdiri di depan kitchen island dan setengah bersandar kedepan.
"Tadinya aku mau membantumu. Tapi ternyata kau bisa memasak.",
"Dan kau orang pertama selain orang terdekatku yang bisa merasakan masakanku.", ujarnya tanpa menatap Laurel. Matanya terlalu fokus pada roti gandum yang ia panggang di atas teflon.
"Kalau begitu setiap hari saja kau bawakan aku makanan. Aku bisa mengirit biayaku.", ceplos Laurel.
Orland menyeringai. "Awas nanti kau jatuh cinta padaku.",
Masih terlalu pagi mendengar gombalan Orland. Laurel memutar matanya dan mengalihkan pembicaraan, "Dimana sausmu?",
"Diatas." Orland menunjuk kebelakang, kearah kitchen set yang menggantung sebatas kepalanya.
Laurel sedikit berjinjit. Berusaha mengambil botolan kecil saus sambal di rak atas. Tapi sialnya rak itu terlalu tinggi baginya. "Kau ini memasang rak atau lampu sih? Kenapa tinggi sekali?!", gerutunya.
Tiba-tiba tangan Orland melewati wajahnya. Meraih saus yang ingin Laurel ambil sambil mengatakan, "Kau yang terlalu pendek.", ujarnya. Lalu memberikan botolan itu pada Laurel. "Ini.",
Laurel membalikkan tubuh. Sambil setengah bersandar pada marmer dibelakangnya ia memutar mata, lagi. "Terlalu pagi untuk mengambil kesempatan dalam kesempitan.", gerutunya.
"Apa? Aku hanya membantumu mengambil.", Orland membantah tanpa dosa. Ia menyeringai sambil kembali melanjutkan membuat roti isi.
"Jangan kau pikir aku tidak merasakan kau meniup telingaku.",
"Lalu?",
Meladeni Orland membuat darahnya mendidih. Terlebih lagi jelas sekali bahwa pria itu berusaha menarik perhatiannya. Entah hanya untuk main-main ataupun serius. "Berhentilah menggodaku. Hari ini kita punya banyak pekerjaan.",
"Baiklah, tapi aku tak bisa menjamin berhenti menggodamu. Kau terlalu menarik perhatianku.", balasnya sambil mengedipkan sebelah mata.
...
Tak ada suara yang terdengar selain gesekan antara kertas dan bolpoin beradu di dalam ruangan itu sejak lima jam yang lalu. Laurel sibuk mengkoreksi pekerjaan rumah teman-temannya. Sedangkan, Orland mengerjakan hal yang berkaitan dengan bisnisnya.
Meskipun begitu, sesekali Orland mencuri pandang kearah Laurel. Melihat gadis itu serius dan fokus pada pekerjaan membuat Orland tersenyum tipis. Laurel benar-benar memecahkan rekor bisa bertahan di sisi Orland lebih dari tiga jam.
Maksudnya bertahan, gadis itu tidak tergoda sedikitpun. Tergoda meliriknya, merayunya, bahkan mengajaknya bicara. Entah Laurel yang memiliki sifat cuek atau memang gadis itu tidak tertarik padanya?
"Kenapa sepi sekali?", tanya Orland. Sejak tadi ia berusaha untuk tidak membuka pembicaraan. Namun tidak berhasil.
Laurel nyaris tak melihat Orland. "Kau bisa menyalakan musik.",
Orland meletakkan pena di tangannya. Lalu membereskan beberapa lembar kertas dihadapannya sebelum menyandarkan diri. "Bagaimana kalau istirahat sebentar dan mengobrol?",
"Pekerjaanku belum selesai. Kalau kau mau kau istirahat sendiri.", ujarnya. "Aku tidak mau kredit poinku berkurang."
Ini kesekian kalinya Laurel menolak Orland. Bahkan gadis itu sekarang mulai pandai membalas dan membalik perkataannya.
"Fine. Tak masalah. Siap-siap kehilangan poin-",
"Ayo istirahat!", seru Laurel bersemangat. Ia dengan cepat membereskan mejanya membuat Orland menahan senyumnya.
...
"Jadi dari yang bisa kusimpulkan mendengar ceritamu. Kau mengenal Darren karena bertetangga?",
Laurel mengangguk sambil mengunyah makanan yang memenuhi mulutnya. Siang ini Orland memesan masakan china untuk mereka berdua. "Bagaimana denganmu?", tanyanya.
Orland mengaduk-aduk kwetiau di hadapannya. "Well, waktu SMA.",
"SMA? Bukankah Darren mengambil SMA di Indonesia?",
Orland memasang ekspresi sakit hati. "Kau rupanya tidak mengenal kekasihmu ini.",
Laurel mendengus kecil. "Aku punya banyak hal untuk dipikirkan dibandingkan memikirkan tentangmu.",
"That's rude.", komentar Orland. "But it's okay, i like it.", ia menyeringai.
"Kembali ke topik!", sahut Laurel. Ia tahu jika diteruskan pria itu pasti menggodanya.
Orland mengikuti permintaan Laurel. "Orang tuaku blasteran. Ayahku orang Amerika dan Ibuku orang Indonesia. Dan aku besar di Indonesia. Jadi, ya, aku bisa bertemu Darren saat di Indonesia karena kita satu sekolah.",
"Lalu kenapa kau disini sekarang? Kenapa tak di Indonesia saja?", tanya Laurel dengan nada galak. Siapapun yang mendengar pasti mengira gadis itu mengusir Orland.
Orland mengangkat bahunya. "Awalnya aku kemari hanya untuk mengecek bisnis baruku dan kampus. Bertemu beberapa teman lalu kembali.",
"Tapi?",
"But i met you.",
Mendengar kalimat singkat itu, kali ini Laurel tak bereaksi apapun. Ia hanya menatap Orland sambil memperlambat kunyahan di mulutnya.
"Kau orang pertama yang jujur dan tidak palsu yang kutemui setelah sekian lama. Kau berani marah, mencerca, memaki, bahkan terang-terangan membenci tindakanku.",
"But for me, it sounds like you playing a game.", gumam Laurel masih bisa di dengar Orland.
"Aku tahu. Percayalah, aku tidak pernah berpikir ingin mempermainkanmu. Tapi hanya itu cara yang bisa aku lakukan...", Orland menggantung kalimatnya. Ia menatap Laurel yang tampak meneguk salivanya. "Agar kau tidak pergi dariku.",
...
Orland menghela napasnya melihat Laurel masih bekerja. Padahal dirinya sudah berhenti sejak tepat pukul sembilan malam tadi. Dan sekarang, waktu menunjukkan pukul setengah dua belas ketika Orland melihat jam.
"Laurel, berhentilah.", ujarnya. Orland melangkah masuk ke dalam ruang kerja dan menghampiri gadis itu.
"Sebentar lagi.",
Melihat meja yang berantakan dengan banyak kertas menumpuk membuat Orland meringis. Sebanyak itukah tugas yang ia berikan pada Laurel? Sepertinya Orland tak perlu bertanya pada dirinya sendiri.
"Berhentilah sekarang. Aku yang akan mengerjakan sisanya.",
Laurel menghentikan sejenak aktivitasnya. Ia menatap Orland. "Setengah jam lagi?",
"Setengah jam? Apa kau mau melihat kaca bagaimana matamu sekarang?",
Melihat mata gadis itu mulai membengkak dan merah membuat Orland meringis pelan. Meskipun tampak kacau tapi Orland masih mengakui bahwa Laurel tetap cantik.
"Tapi aku pasti tidak bisa tidur kalau tugasku belum selesai. Jadi percuma saja jika aku berhenti.", ujarnya. "Dan kumohon, jangan menggodaku. Aku tahu apa yang ada di otakmu sekarang.",
Orland mengerutkan keningnya. "Aku bahkan belum mengatakan apapun.",
"Bersamamu setiap hari membuat alarm gombalanku bekerja ekstra keras.", gerutunya.
Orland terkekeh pelan. "Sepertinya kau anti sekali denganku.",
"Apa aku harus menjawab?", sarkas Laurel. "Bagaimana kalau kau pergi dari sini dan kembalilah lagi setelah aku pulang?",
Orland semakin mendekat. Menumpukan kedua tangannya diatas meja dan mencondongkan kepalanya kedepan. "Bagaimana kalau kau menginap disini malam ini? Aku tak yakin membiarkanmu menyetir sendiri.",
"Daripada aku menginap. Bagaimana kalau kau mengantarku pulang? Aku tidak mau menginap di tempat pria semacammu.",
"Aku malas mengantarmu. Jadi pilih saja menginap disini.",
Laurel mendengus. "Aku bisa menghubungi Darren. Aku akan memintanya menjem-",
"Tidak perlu!", sergah Orland cepat. Ia menegakkan tubuhnya.
Laurel tersenyum penuh kemenangan. Menyebut nama Darren pasti membuat Orland berhenti mendebatnya.
"Kenapa? Apa kau cemburu?", entah kenapa pertanyaan itu keluar dari bibir Laurel. Terdengar cukup menjebak.
"Aku tidak cemburu. Hanya saja aku tidak suka kekasihku diantar pria lain.",
"Apa bedanya?",
"Tentu beda!", bantahnya. "Lagipula kau yang akan rugi jika menghubungi Darren.",
"Kenapa aku yang rugi?",
Orland menyeringai. "Pertama, pasti Darren curiga. Kedua, Stella pasti akan mendatangimu. Ketiga, kau menolak tidur dalam pelukanku.",
Laurel hampir tersedak. "Kau gila!",
"Terserah kau menyebutku gila atau tidak. Jadi apa pilihanmu?",
...
Laurel membuka matanya perlahan ketika merasakan terpaan hangat sinar matahari di wajahnya. Sambil merenggangkan otot-otot ditubuhnya, ia bangun dan duduk di tepian ranjang.
Ketika sudah seratus persen sadar. Ia terkejut mendapati bahwa dirinya tidak terbangun di kamar tidurnya.
"s**t!",
Laurel mencoba mengingat kenapa ia bisa ada disini. Jelas sekali ia masih berada di penthouse milik Orland. Memangnya mau dimana lagi?
Meskipun ia beruntung pria itu masih memiliki sopan santun untuk menidurkannya di kamar tamu, bukan di kamar dan disisi Orland. Ada satu hal yang membuat Laurel mendadak berteriak sekencang-kencangnya.
Orland yang tadinya sedang menikmati kopi di balkon langsung menghentikan aktifitasnya dan berlari menuju kamar tamu yang digunakan Laurel.
Ketika ia membuka pintu, hal pertama yang di dapatkannya adalah pukulan-pukulan Laurel.
"Hei! Kenapa kau memukulku?!",
"Rasakan!", seru Laurel tak terima.
"Apa salahku?", Orland berusaha menghentikan perbuatan Laurel. Meskipun pukulannya tak begitu menyakitkan tapi kuku gadis itu yang menyakitinya.
"Masih bertanya apa salahmu? Jangan kau pikir aku tidak tahu!",
Laurel memberontak Orland.
"Tahu apa?", Orland masih dengan polosnya tak mengerti.
"Kau memberiku obat tidur!",
Laurel ingat jelas. Setelah ia mengatakan bahwa akan pulang sendiri. Pria itu tiba-tiba membawakannya secangkir kopi dan memaksanya menghabiskan. Alasan Orland, agar Laurel tetap terjaga.
"Oh tentang itu. Maafkan.",
Demi bumi langit beserta gugusannya. Bolehkan lima menit saja membunuh orang di legalkan? Batin Laurel.
...