Lagu ridin' by Chamillionaire and Krayzie Bone mengalun cukup keras ketika Orland baru saja turun dari mobil.
"Ada acara?", tanya Laurel bingung. Ia mengedarkan pandangan kesekitar dan mendapati beberapa mobil sport terparkir berjejer.
Orland mengangguk. "Disini tidak mungkin tidak ada acara. Party everyday...", ujarnya dengan nada malas.
"Memangnya siapa yang tinggal disini?", tanya Laurel saat Orland menggandengnya masuk kedalam vila.
Vila itu berbeda dengan vila milik Orland. Bangunannya bergaya minimalis dan berada di tepi pantai pribadi di nusa dua. Persamaannya, kedua vila itu sama-sama besar.
Sambil menatap lurus kedepan. Orland berkata, "Kakekku.",
...
Kaki Laurel melangkah mengikuti Orland. Tapi matanya melayang kemana-mana. Untung pria itu menggandengnya, jadi Laurel tak perlu khawatir kehilangan jejak saat ia melihat banyaknya orang di kolam renang sedang berpesta.
Tak hanya itu, ada juga permainan bir pong, kartu, dan lainnya.
Terlihat sangat menyenangkan. Tapi sepertinya Laurel salah kostum.
Ia mengenakan terusan panjang midi bewarna kuning mustard. Orland mengenakan kemeja putih santai dan celana bewarna senada selutut. Sedangkan semua yang ada disini mengenakan pakaian renang mereka.
"Kondisikan matamu.",
Laurel menatap Orland dengan kening berkerut. "Kenapa mataku?",
Orland melirik sekilas, "Jangan kau pikir aku tidak tahu kau sejak tadi melihat pria-pria disana.", gerutunya.
Laurel terkekeh pelan, "Jangan salahkan aku.", timpalnya. "Lagi pula, para pria hanya shirtless. Sedangkan wanita mengenakan bikini yang minim. Seharusnya aku yang berkata seperti itu, kondisikan matamu.", cibirnya.
Orland berhenti melangkah. Ia menangkup wajah Laurel dan mencari sesuatu seolah ada sesuatu yang menempel. "Apa benar ini Laurelku?",
"Maksudmu?",
Seringaian muncul di wajah Orland. "Kau cemburu.",
Laurel diam sambil berusaha menahan senyumnya. Lalu ia berkata, "Kau juga cemburu.", serangnya balik.
"Aku akui aku cemburu. Tapi, kenapa kau cemburu?",
Laurel mengangkat bahunya. Jujur saja ia tidak cemburu, ia bukanlah tipikal seperti itu. Tapi entah kenapa ia mengatakan kalimat seolah ia cemburu. "Entahlah, karena kau pasti juga menatap wanita-wanita dengan bikini disini.",
Orland terkekeh pelan sambil merapikan rambut Laurel yang tertiup angin laut. "Sejak tadi aku tidak melihat mereka sedikitpun.", katanya jujur. Ia memang tidak minat sedikitpun.
Jika dulu ia seperti itu, sekarang tidak. Itu semua karena Laurel.
"Baguslah kau bisa menjaga diri.", gumam Laurel. Dalam hati ia senang mendengar penuturan Orland.
"Bagaimana denganmu?",
Laurel mengangkat sebelah alisnya. "Bagaimana apanya?",
"Apa kau bisa menjaga diri?",
Laurel menepuk bahu Orland. "Kau bilang kau percaya padaku. Jadi tenang saja, aku hanya melihat. Lagipula, ini Bali.", jawabnya sambil menjulurkan lidah.
Orland menggeleng pelan. Ia terkekeh setelah itu, "Baiklah, hanya karena ini di Bali. Kalau sampai saat kembali ke Australi dan matamu masih melayang kemana-mana. Aku akan mengurungmu dikamarku.",
"Deal!",
Orland baru saja merangkul Laurel dan hendak membawa gadis itu masuk ke dalam. Namun mendadak mereka dikejutkan dengan seseorang yang menyemprotkan air bertekanan tinggi.
"What happen?", seru Laurel sambil berusaha sembunyi di balik tubuh Orland. Air yang menyembur cukup menyakitkan di kulit.
Ketika air sudah tidak lagi menerjang. Orland menghempaskan tangannya sebelum mengusap wajah. "Grandpa happen.", jawabnya.
Ia menatap kesal kearah pria baya yang berdiri di ambang pintu masuk. Di tangan pria itu terdapat selang air yang cukup besar dan di wajahnya terukir senyuman mengejek.
"Di vila ini tidak boleh ada yang memakai baju. Jadi, pergi atau lepaskan.",
...
Jika ini film animasi kartun. Wajah Laurel pasti digambarkan dengan mata membesar dan rahang jatuh kebawah hingga membentur lantai. Bagaimana tidak? Ia tak menyangka jika pria baya yang sedang b******u mesra dengan gadis yang tampak sebaya dengannya adalah kakek Orland, Robert Spencer.
Bahkan kakeknya tidak bisa benar-benar disebut kakek. Meski rambutnya sudah memutih, namun tubuh Robert masih tegap dan cukup bagus untuk seusianya. Kalau Laurel tak salah dengar dari pelayan yang membantunya berganti pakaian dengan bathrobe, Robert sekarang masih berumur baru menginjak umur 70. Berarti, pria itu menikah pada umur 17 tahun. Sungguh gila!
Deheman Orland membuat Laurel tersadar. Tapi tidak untuk Robert yang masih setia mencumbu gadis di pangkuannya.
"Kek! Aku disini...", teriaknya.
Aku meringis pada Orland membuat pria itu memutar matanya. "Maafkan kelakuannya. Memang kakek satu ini tidak ingat umur!", ujarnya dengan nada menyindir di akhir kata.
Robert mendengarnya. Ia melepaskan cumbuannya sesaat sambil menatap Orland dan Laurel bergantian. "Aku mendengarmu cucu biadab.",
Mendengar itu sontak membuat Laurel menahan tawanya. Bahkan tawa itu nyaris lolos jika Orland tidak melototinya dan menegur, "Jangan tertawa...",
Laurel berusaha menahannya. Tapi tidak bisa. Ia terbahak beberapa saat. "Maafkan, ini sangat lucu.",
"Kalau saja bukan karena warisan aku pasti sudah menaruhnya di panti jompo.", gerutu Orland.
Tak disangka hubungan Orland dan kakeknya seperti ini. Meski saling mengejek tampaknya mereka sangat dekat. Laurel jadi iri, ia tidak sedekat itu dengan ayah ibunya. Apalagi dengan kakek neneknya. "Sudah belum?!",
Seketika Robert melepaskan cumbuannya. Ia menyuruh gadis di pangkuannya pergi meninggalkan gazebo. "Jadi ada apa? Sudah kubilang, warisanmu tidak akan keluar sebelum aku mati.",
"Lalu kapan kau mati?", tanya Orland dengan santainya.
Robert mendengus geli, "Sepertinya kau yang akan mati duluan.",
Orland bangkit berdiri. Melangkah menuju meja kecil di dekatnya lalu menuang botol sampanye. "Lihatlah kaca sebelum berbicara.",
Robert tak membalas cucunya. Bisa jadi masalah semakin panjang. "Kenapa kau kemari?",
"Aku kemari karena aku sudah menemukan uang perusahaan yang hilang.",
Kakeknya tidak menjawab. Malah suara Laurel yang terdengar. "Hmm Orland?",
Orland menoleh. Ia meletakkan gelas di tangannya dengan sedikit kasar diatas meja. "Jangan ganggu kekasihku, kek.", peringatnya.
Robert yang berpindah duduk di sisi Laurel tak menggubris perkataan cucunya. Ia diam mengamati Laurel hingga gadis itu hanya bisa mengulas senyum terpaksa.
"Kek!", panggil Orland setengah berteriak.
Robert memutar matanya, "Aku tidak tuli!", balasnya. Lalu kembali menatap Laurel. "Siapa namamu?",
"Laurel Anderson.",
"Kenapa kau mau menjadi kekasih cucuku?",
"Karena aku menyukainya?", Laurel balik bertanya membuat Orland menepuk keningnya.
Robert mendengus. "Kau sama saja dengan wanita kebanyakan.", sindirnya.
Laurel mendengar. Tak terkejut bila Orlang membantah jika Robert memang menjengkelkan. Bahkan lebih menjengkelkan ketimbang Orland. "Apa maksud anda?", tanyanya berani.
"Kalau kau memutuskannya, aku akan memberimu uang, mobil dan rumah mewah, bahkan jet pribadiku akan kuberikan.",
Laurel mengerutkan keningnya. "Untuk apa?",
"Entahlah terserahmu.", jawab Robert santai. Ia melambai kearah bodyguard yang sejak tadi berdiri menjaga mereka. Lalu ia meminta sesuatu dari pria yang memakai jas itu.
Laurel menatap Orland meminta penjelasan. Tapi Orland hanya memberinya kode untuk tenang sejenak.
Tiba-tiba Robert memberikan selembar kertas yang baru ia isi dan tanda tangani. "Ini cek senilai 5 triliun. Kau bisa membeli apapun yang kau mau dengan uang ini.",
Laurel diam.
"Ayo ambilah.", paksa Robert.
Sejenak Orland merasa was-was saat Laurel tampak berpikir. Entah apa yang gadis itu pikirkan namun membuat Orland takut. Selama ini ia memandang Laurel berbeda dengan perempuan di luar sana.
Bagai disambar petir, Laurel menerima cek itu membuat Orland membeku di tempat. Sedangkan Robert tersenyum penuh kemenangan. Ia berhasil lagi, kesekian kalinya ia berhasil menunjukkan sifat asli wanita yang kali ini cucunya bawa.
Ia melakukan itu semua karena ia menyayangi cucu satu-satunya. Ia tidak ingin Orland hidup bersama perempuan matre yang hanya tahu cara menghabiskan uang.
Namun diluar dugaan Robert, Laurel merobek cek itu menjadi beberapa bagian dan melemparnya ke lantai. "Asal anda tahu... Aku mau berpacaran dengan Orland bukan karena harta yang ia miliki. Aku mau berpacaran dengannya karena aku menyukainya, Dia pria yang baik dan juga penyayang. Dia juga orang yang peduli dan selalu membuatku bahagia. Jadi, maaf, aku tidak akan memutuskannya hanya karena uang yang anda beri.", ujarnya menggebu-gebu.
Robert dan Orland terdiam. Mereka berdua sama-sama terkejut. Terutama Orland, bisakah sekarang Orland berlari memeluk Laurel dan menghujaninya dengan ciuman? Ini pertama kalinya ia sangat-sangat bahagia hanya karena ucapan seorang gadis.
Robert langsung bertepuk tangan membuat Laurel kebingungan. Apalagi saat pria baya itu memeluknya dan menghujani ciuman di puncak kepalanya.
"What just happen?", tanya Laurel sambil meminta penjelasan pada Orland yang kini melangkah mendekat.
Orland segera menarik kakeknya menjauh dari Laurel. "Kek sudah!", tegurnya.
Robert tersenyum lebar. Ia menepuk-nepuk bahu Orland. "I like her.", lalu ia berbicara menggunakan bahasa indonesia, "Percaya padaku, nak. Jangan kau lepaskan gadis ini apapun yang terjadi.",
"Dia bilang apa?", tanya Laurel karena tak mengerti.
Orland mengulas senyum simpul. Ia merengkuh Laurel kedalam pelukannya. "Maaf karena mengetesmu.", dustanya. Ia tidak ingin Laurel tahu apa yang sebenarnya Robert katakat. Ia terlalu malu mengakui bahwa tujuannya kemari karena memang ingin memperkenalkan keduanya. Istilahnya, meminta restu.
"Benarkah? Kenapa sangat panjang?",
Robert mendengus. "He lied to you.",
"Kek!", tegur Orland.
Robert mengangkat bahunya sambil terkekeh pelan. "Sorry not sorry.",
...