Laurel membuka matanya perlahan dan mendapati sisi ranjangnya kosong. Ia pikir, Orland mungkin sedang mandi atau olahraga dengan Darren dan Steven. Ternyata ia salah. Niat kembali memejamkan matanya ia urungkan ketika mendengar suara Orland menyapa.
"Pagi...",
Laurel terduduk sambil menarik selimut sebatas dadanya. "Aku pikir kau olahraga dengan yang lain.",
"Sudah selesai.",
Benar sekali. Pria itu sudah selesai olaharaga. Terlihat dari keringat yang menetes dari rambut melewati wajah hingga ke d**a bidangnya.
Sungguh pemandangan indah di pagi hari, batin Laurel.
"Aku mau mandi. Apa kau mau ikut?", tanya Orland. Ia bersandar pada pilar kayu di ujung kanan ranjang tepat dihadapan Laurel. Tangannya terlipat di d**a dan sebelah kakinya naik diatas ranjang sambil menyenggol kaki Laurel.
Laurel mengerang. "Arrgggh... jangan mulai...", peringatnya sambil menjatuhkan diri kembali di ranjang. Lalu menutup wajah dengan selimut.
"Apa kau yakin?",
"Sana pergilah!", usir Laurel.
Orland terkekeh pelan. Ia mengambil handuk baru di dalam lemari. Lalu menyampirkan handuk itu dibahunya. "Jangan tidur lagi!", serunya. "Hari ini kita akan ke pantai.",
"Benarkah?", tanya Laurel antusias sambil membuka selimut di wajahnya. Ia kembali terduduk membuat Orland menggeleng pelan.
"Kalau begitu saja kau baru antusias. Tidak bisakah ketika aku mengajakmu mandi bersama kau akan seantusias itu?",
Laurel langsung melempar bantal kearah Orland. "Jangan harap!",
...
Orland memberikan senyum misteriusnya ketika baru saja selesai membayar gelato. Jelas sekali, Darren tahu apa yang ada di pikiran pria itu jelas tidak akan ada yang menyukai.
Ingat apa yang pernah Darren katakan mengenai Orland adalah pria gila? Membiusnya hanya untuk menemani hobi memancing di tengah laut bahkaj samudra.
"Aku tidak suka ini...", gumam Darren sambil berlalu melewati Laurel.
Laurel mengerutkan keningnya. Mereka semua berjalan keluar menuju parkiran. "Kenapa?", tanyanya.
Darren mengangkat bahunya. "Entahlah, kita lihat saja.",
Perasaan Laurel mendadak tidak enak. Ia menatap Orland dan Steven yang mengobrol sambil melangkah mendekat. "Mau kemana kita?",
"Rahasia.", Orland mengedipkan sebelah matanya. Lalu masuk kedalam wrangler rubicon hitam.
Laurel mendengus geli. Sebelum membuka pintu mobil. Ia mengalihkan pandangannya pada Darren yang baru masuk kedalam wrangler rubicon putih yang terparkir disebelahnya. "Kau benar.",
Darren mengangkat bahunya.
...
Sinar matahari menyilaukan pandangan mata Laurel saat ia mendongakkan kepala. Dengan mata memicing ia mencoba melihat apa yang ada di puncak sebuah menara besi.
"Kau bercanda dude?", seru Steve saat pria itu menyadari apa yang akan mereka lakukan.
"Apa?", tanya Laurel. Ia menoleh ke kanan, menatap Steven yang tengah berdiri didalam mobil sambil memegang kaca depan. Lalu menoleh pada Orland yang duduk santai dibalik kemudi sambil memainkan ponselnya.
"Tidak. Aku serius.",
"Sepertinya seru.", timpal Stella yang berada di mobil lainnya.
Posisinya, tiga mobil yang mereka gunakan tengah berjejer di tepi pantai menghadap ke menara.
"Ayo...", Orland turun dari dalam mobil tanpa menjelaskan pada Laurel. Ia masih tidak mengerti apa-apa.
Cahaya terlalu silau membuatnya tak bisa melihat apa yang ada di puncak menara.
Ketika mereka sudah berdiri di bawah menara. Laurel melebarkan matanya. Ia sekarang tahu apa yang akan mereka lakukan. Dan benar saja firasat Darren. Bungee jump! "Kau gila!", pekik Laurel.
Orland tak menggubris. Ia malah menarik Laurel masuk kedalam lift tanpa disadari. Lift yang terbuat dari besi dan tidak sepenuhnya tertutup itu membawa mereka keatas. Saat pintu lift terbuka, Laurel keluar sambil meneguk salivanya susah payah. Padahal yang lain tampak antusias terutama Helen dan Stella. Dalam hati Laurel tak habis pikir ternyata dua sahabatnya menyukai hal-hal yang menantang seperti ini. Tidak sepertinya. Meski ia sering melawan Orland tapi jika begini nyalinya menciut.
"Apa aku harus ikut bermain?", tanya Laurel sambil mengintip di tepian balkon. Terlihat jelas jika jarak dari dataran pantai hingga menara sangat tinggi. Jantungnya kini berdegup kencang.
"Hmm kau harus mencobanya. Permainan ini sangat seru.", Orland berkata seolah semuanya biasa-biasa saja.
Laurel tak menjawab. Ia lebih memilih duduk di bangku yang disediakan dan melihat yang lainnya mulai mengisi formulir. Orland menahan senyumnya, wajah Laurel tampak memucat. Apalagi saat melihat Stella dan Darren mulai memakai peralatan mereka untuk terjun tandem.
"Tenang saja, peralatan yang digunakan sangat aman.", Orland mencoba menghibur.
Laurel menggeleng kaku. "Tetap saja.",
Orland terkekeh pelan. "Masa kau kalah dengan Stella? Aku tak menyangka kau yang garang dan selalu melawanku bahkan berani melawan kakekku takut dengan permainan ini.",
Rasa tidak terima perlahan muncul dalam diri Laurel ketika mendengar perkataan Orland. Ia merasa tertantang oleh pria itu. "Fine! Aku ikut bermain.",
Orland menggigit pipi dalamnya menahan senyum. "Baiklah. Aku akan membantumu memakai peralatannya.",
Tak butuh waktu lama Orland kembali membawa peralatan yang akan mereka gunakan dan dibantu dengan para profesional di tempat itu. Kini Orland dan Laurel berada di tepi menara dengan posisi siap melompat dan kaki mereka diikat bersama.
"Aku berubah pikiran!", seru Laurel. Kepalanya mendadak pening.
"Tidak bisa.", balas Orland sambil menyeringai.
Laurel menggeleng. "Aku takut.",
Perlahan Orland menggenggam tangan Laurel. "Tatap mataku dan tarik napas.",
Laurel mencoba mengikuti perkataan Orland namun tidak berhasil. Ketakutan semakin menguasai dirinya.
"Aku tidak bisa.",
"Kau pasti bisa. Kau Laurel Anderson. Apapun pasti bisa kau lakukan.",
"Tidak bisakah kau meminta sesuatu dariku? Aku akan menurutinya asal kau perbolehkan aku mundur.", cicit Laurel.
"Tawaran yang menarik.",
Orland pura-pura berpikir. Padahal ada satu ide melintas dikepalanya.
"Jangan meminta yang aneh-aneh!", peringat Laurel. Ia cukup paham apa yang mungkin dipikirkan Orland.
"Aku tidak akan meminta yang aneh-aneh.",
"Jadi?",
"Cium aku.", jawab Orland sedikit keras membuat beberapa orang melirik mereka.
Sontak mata Laurel melebar. "Orland!", tegurnya. Ia tersenyum sungkan kebeberapa orang yang menatap mereka.
"Cium aku atau lompat?", tawar Orland sambil tersenyum miring.
Meski sudah dua kali berciuman dengan Orland tapi Laurel masih saja gugup. Tapi tidak ada pilihan lain. Perlahan ia mencondongkan kepalanya untuk menghapus jarak yang ada. Ia mengecup bibir Orland.
Mengambil kesempatan, Orland menahan kepala Laurel. Selama ini mereka hanya mengecup, tidak pernah lebih dari itu. Saat bibir Orland menciumnya, Laurel terbuai. Ia menikmati setiap detik ciuman yang diberikan pria itu pada bibirnya. Meski jantungnya masih berdebar. Kali ini debaran terasa berbeda. Bukan debaran takut. Namun debaran aneh yang membuat perut Laurel tergelitik. Rasanya ia seperti dibawa terbang ke atas awan.
Tapi sial, ciuman yang diberikan merupakan jebakan. Orlando Spencer memang punya seribu akal licik untuk menipunya. Dalam satu gerakan, Orland membawa Laurel terjun ke dasar. Entah kapan ciuman mereka berhenti. Yang Laurel lakukan saat ini mempererat pelukannya pada Orland sembari berteriak kencang. Ia berteriak hingga merasakan darah mengalir di seluruh tubuhnya.
Beberapa saat, Laurel memberanikan diri membuka matanya tak kala mendengar tawa pecah Orland. Sambil menatap pasir pantai dibawah dengan keadaan terbalik, Laurel mau tak mau ikut tertawa meski ia kesal.
"Bagaimana?", tanya Orland ketika tali bergoyang lambat.
"Kau benar-benar gila!", seru Laurel sambil memukul d**a bidang pria itu. "Aku tak habis pikir kenapa aku bisa menyukai pria sepertimu!",
Orland tertawa. "Akhirnya kau mengakui kalau kau menyukaiku.",
"Diamlah!",
"Kalau kau menciumku lagi, aku akan diam.",
...
Orland terbaring diatas kursi sunbathing menikmati indahnya langit malam ini. Sesekali ia tersenyum mengingat kejadian sore tadi.
Ia tak menyangka jika Laurel akhirnya mengakui perasaannya.
Bagi Orland, ini adalah rekor terlamanya menaklukan hati perempuan. Biasanya hanya butuh satu dua jam namun untuk Laurel ia menghabiskan nyaris tiga bulan lamanya.
"Sedang apa kau disini?",
Suara itu memecah lamunannya. Orland melirik Darren yang kini berdiri di sampingnya sambil membawa sekaleng bir. "Berpikir.",
Darren menangguk pelan sembari meneguk bir. Lalu ia duduk di kursi berjemur tepat sebelah Orland. "Laurel?",
Orland berdehem membuat suasana cukup awkward. Semenjak makan malam itu, hubungan keduanya jelas tidak baik-baik saja. Tak hanya keduanya, namun hubungan antara Darren dan Laurel juga tidak baik-baik saja.
"Apa kau benar-benar menyukainya?", Darren membuka suara. "Maksudku, kau serius dengannya?",
"Apa selama ini aku terlihat bermain-main?", Orland balik bertanya.
Darren menghela napasnya. "Kalau boleh jujur. Aku masih tidak rela jika Laurel bersamamu.",
"Sampai-sampai kau membuat drama 'break' bersama Stella?", sindir Orland.
Darren menatap Orland sesaat sebelum ikut menatap bintang-bintang di langit. "Saat itu aku memang ingin mengiyakan keputusan Stella untuk break sementara.",
"Dan berkat diriku kalian membatalkan niatan itu.", timpal Orland percaya diri.
"Iya, berkatmu, hubunganku dan Stella kini baik-baik saja.", Darren mencoba merendah. Tapi memang benar apa yang ia katakan. Dengan liburan ini, hubungannya bersama Stella menjadi lebih baik.
"Aku juga.",
Darren tersenyum simpul. "Ya, aku bisa melihatnya. Kau dan Laurel.".
"Untuk pertanyaanmu tadi. Kali ini aku akan serius menjawabnya. Ya, aku serius. Aku serius karena aku selalu ingin berada di sisinya. Aku serius karena aku ingin menjadi orang yang bisa memberikan segalanya untuknya.", Orland terduduk. "Aku menjadi versi terbaikku ketika aku bersamanya.",
"Aku akui kau banyak berubah.",
Orland mendengus geli. "Benar apa yang kukatakan bukan? Semua orang punya kesempatan untuk berubah.",
"Ya ya ya kali ini kau benar.", jawab Darren dengan nada malas.
"Dan kali ini, aku akan meyakinkanmu agar merelakan Laurel.",
"Maksudmu?",
Orland menatap Darren dengan pandangan serius. "Aku akan melamarnya.",
...