BRAKK...
Gebrakkan meja itu terdengar di dalam sunyi nya ruangan yang hanya di isi oleh dua orang tersebut.
Bia diam tak bergeming di tempat duduk nya, dengan memasang wajah dingin, datar dan tanpa rasa takut serta kedua tangan yang di masukkan ke dalam saku jaket nya. Mata nya tidak menatap sama sekali ke mata tajam milik wakil kepala sekolah SMA Rising itu.
"Keterlaluan kamu ya! Bolos sekolah! Tawuran!! HUKUM APA LAGI YANG HARUS SAYA BERIKAN KEPADA KAMU BIA!!" Suara Mis Dewi meninggi, disertai dengan kilatan kemarahan di mata nya.
Mis Dewi berdiri, menatap satu siswi nya yang super susah di atur itu. "Saya gak tau lagi harus gimana menghadapi kamu Bia! Kamu perempaun! Tawuran bukan makanan kamu!!"
Bia masih diam, tidak merespon dalam bentuk apa pun. Bahkan saat dagu nya di pegang oleh Buk Dewi.
"Lihat!! Apa yang kamu dapat hah?! Cuman wajah babak belur dan luka sobek di dahi!!" Buk Dewi menghempaskan dagu Bia setelah memperhatikan lebam-lebam di wajah gadis itu.
Buk Dewi menggeleng. "Saya sudah tidak bisa lagi mentolerir---kamu saya---"
"Permisi Buk!"
Buk Dewi mengalihkan pandangan nya ke arah pintu. Seorang wanita berpenampilan guru sama seperti nya. Namun terlihat lebih muda.
Buk Kirana, guru kimia 25 thn sekaligus wali kelas di kelas Bia---11 IPA 2.
"Ada apa Buk Kiran?"
Buk Kirana berjalan mendekati meja tempat Bia di sidang. Dia menatap satu siswi nya itu yang tengah menatap datar ke depan. Dia cukup kaget melihat wajah Bia yang begitu banyak luka lebam nya.
"Kasus ini bisa di selesaikan Buk." Buk Kirana bersuara, menatap Mis Dewi.
"Iya! Dengan cara mengeluarkan Bia dari sekolah." Balas Mis Dewi.
"Jangan buk!" Buk Kirana langsung menyela. "Itu bukan hukuman yang pantas."
"Lalu apa? Anda mau sekolah ini semakin di cap buruk hanya karna satu siswa? Ini sekolah berstandar internasional, sekolah terpandang." Tekan Mis Dewi.
Buk Kirana menggigit bibir bawah nya, dia melirik Bia yang masih belum bereaksi.
"Buk saya akan jamin ini yang terakhir kali nya. Iya kan Bia?" Buk Kirana menyentuh pundak Bia, menatap mata gadis itu.
Hening.
Bia menoleh kepada Buk Kirana. Wali kelas nya itu mengangguk di sertai dengan senyuman tipis. Detik berikut nya, dia bangkit berdiri dan melangkah meninggalkan ruangan itu tanpa sepatah kata pun.
"Bia!"
Langkah Bia terhenti, namun tidak berbalik.
Buk Kirana menatap Mis Dewi penuh permohonan.
"Tapi dia tetap mendapatkan hukuman. Selama tiga hari, kamu saya skorsing." Putuh Mis Dewi tegas.
Buk Kirana seketika menghela nafas nya dengan lega, dia tersenyum mendengar keputusan Mis Dewi. Paling tidak hukuman itu lebih baik, daripada di DO.
Tanpa berkata apa pun, Bia melangkah pergi.
"Ini terakhir kali nya Buk Kiran." Buk Kirana menoleh ke arah asal suara. "Jika ini terulang lagi. Saya akan menindak lanjuti nya, bahkan mengeluarkan dia dari sekolah. Saya tidak peduli, dengan orang tua nya yang merupakan donatur terbesar di sekolah ini."
Buk Kirana diam.
"Anda terlalu membela nya."
"Karna saya yakin. Dia akan---"
"Berubah?" Mis Dewi memotong ucapan Buk Kirana. Sebuah seringaian muncul di bibir nya. "Mustahil." lanjut nya sinis.
Buk Kirana tertegun. Belum cukup 1 tahun dia mengajar di SMA ini dan menjadi wali kelas 11 IPA 2. Dia sudah di hadapkan dengan berbagai murid yang berbeda karakter. Dan Bia, adalah karakter siswi yang sulit untuk dia taklukan.
"Saya akan terus membimbing murid saya. Permisi!"
Buk Kirana melangkah pergi, setelah mengatakan hal tersebut.
❄❄❄❄❄❄❄
"Lo serius gak tau Bia kemana?" Milka bersuara lantang, seraya memperbaiki posisi kacamata nya.
Yuna menghela nafas nya, sesekali meringis saat kapas beralkohol menyentuh luka di wajah nya. "Pelan-pelan b**o!" Umpat nya kepada Rena yang mengobati nya.
"Ck, udah untung gue obatin! Banyak gaya lagi lo!" Balas Rena datar.
"Tapi sakit anjing!!" Geram Yuna.
Bukan nya takut, Rena malah semakin menekan tangan nya ke luka Yuna. Membuat Yuna menjerit tertahan. "Tawuran aja kuat lo. Gilirin luka kayak gini aja menye banget." dengus nya, lalu melempar kapas tersebut ke sembarang tempat.
Rena, gadis pemilik mata sayu yang selalu terlihat mengantuk dengan lingkaran hitam mata nya. Namun, walaupun begitu gadis itu masih terlihat cantik. Gadis yang hobi banget tidur di kelas jika jam pelajaran.
"Yun! Lo belum jawab pertanyaan gue! Bia dimana?"
Sementara yang di sebelah Yuna adalah Milka. Gadis berkacamata, yang terlihat kalem di antara Yuna, Rena dan Bia. Gadis paling cerewet.
"Huftr... Gue gak tau Mil. Gue kepisah sama Bia tadi."
Milka seketika mendesah. "Tukan! Bandel sih di bilangin, pake ikut tawuran segala. Kalau Bia di tangkep polisi gimana? Trus kalau Bia kenapa-kenapa gimana coba? Trus kalau---"
"Kalau lo diam lebih baik." Potong Rena sakartis. Milka seketika berdecak dan memasang wajah masam nya.
Mata sayu Rena beralih ke Yuna. "Lo beneran gak tau tadi Bia lari kemana?"
Yuna menggeleng. "Gue gak tau, tadi suasana rusuh banget."
Yuna, adalah gadis yang sama bad girl nya dengan Bia. Paling sering ikut tawuran bersama Bia, dan paling sering berantem di sekolah.
"Mudah-mudahan aja Bia gak---itu Bia." Milka menunjuk seseorang yang baru saja turun dari taksi, dengan menenteng jaket kulit berwarna maroon. Tengah berjalan ke arah mereka.
"Bi! Lo gak ketangkep kan?" Yuna bertanya, saat Bia duduk di samping nya.
"Ya ampun Bia! Muka lo! Gue obatin ya!" Milka langsung gerak cepat mengambil alih kotak p3k, lalu mulai mengobati lebam Bia yang cukup parah daripada Yuna.
Bia tidak merespon, dia masih diam.
"Lo gak papa Bi?!" Rena bertanya.
Bia menghela nafas nya. "Yang pasti gue masih hidup."
"Yee!!Kalau itu juga kita tau. Maksud gue, muka lo kenapa lecek gitu?" Tanya Yuna.
Bia menghela nafas nya untuk kesekian kali nya. "Gue di skors."
"Hah?!"
Ketiga teman nya nenyahut bersamaan.
"3 hari." Lanjut Bia santai.
"Jangan bilang tadi lo ketemu sama si Dewi kematian itu?!" Suara Yuna meninggi.
"Ya gitu." Blas Bia kelewat cuek. "Yang lain gimana? Ketangkep?" Bia menatap Yuna.
"Untung nya enggak sih. Tapi mereka semua khawatir sama lo. Takut lo kenapa-kenapa, apalagi sampai berurusan sama polisi. Terutama Kak Raya."
Bia tersenyum tipis. Raya, adalah kakak kelas Bia. Gadis itu juga bad girl, bahkan lebih parah dari Bia. Main nya di club malam, hobi clubbing, ngerokok dan mabuk-mabukan.
"Udah lah Bi, berhenti aja! Ngapain sih tawuran mulu, gak ada guna nya tau gak." Milka berkomentar, setelah selesai mengobati luka Bia.
"Buat lo gak ada gunanya Mil. Buat Bia mah banyak guna nya." Timpal Rena, lagi-lagi menatap Bia dengan mata sayu nya.
Bia tidak merepson, justru kini gadis itu termenung cukup lama.
"Nyokap lo udah tau?" Tanya Yuna dengan intonasi hati-hati.
Bia menggeleng pelan.
"Bi ini lengan lo kenapa?" Mata Milka tidak sengaja menangkap luka goresan di lengan kiri Bia.
"Jatoh."
"Kok bisa?"
Bia menghela nafas nya, menghadapi Milka yang super cerewet. Terlebih tatapan dua teman nya yang lain, seakan penasaran juga dengan luka goresan itu. "Ketabrak mobil. Gara-gara mobil anjing itu gue jadi ketangkep sama Dewi kematian."
Bia menjadi kesal seketika saat mengingat wajah pria menyebalkan itu. Pria yang lebih terlihat seperti om-om untuk nya.
Yuna dan Rena tertawa pelan. "Serius? Trus dia gak tanggung jawab."
"Emang gue di hamilin sama dia?"
"Cowok?" Rena berargumen.
"Ganteng Bi?" Yuna bertanya antusias.
"Ganteng. Cocok sama lo. Om-om." ketus Bia, lalu bangkit dan berlalu pergi.
Sementara ketiga teman nya terkekeh, melihat wajah kesal Bia.
❄❄❄❄❄❄❄
Seorang wanita paruh baya sejak tadi duduk di sofa rumah nya dengan laptop yang terbuka di atas meja, serta beberapa dokumen yang terletak di samping nya. Sementara di tangan kanan nya, ada sebuah kertas yang sejak tadi menyita perhatian dan konsentrasi nya.
Wajah wanita yang kira-kira berusia 40 an itu datar menatap ke depan. Ke arah dinding putih rumah nya yang terlihat polos.
"Maaf Nyonya, Non Bia nya belum pulang." Lapor salah satu pelayan di rumah nya.
Wanita itu mengangguk, membuat pelayan berpakaian putih tadi berlalu meninggalkan majikan nya itu.
Dua jam berlalu. Hingga pendengaran wanita itu menangkap suara pagar rumah di buka. Lalu langkah kaki yang mendekati pintu rumah. Sampai pintu itu terbuka, dan memperlihatkan seorang remaja perempuan berseragam putih abu-abu memasuki rumah.
"Udah puas tawuran nya? Masih inget pulang?"
Wanita paruh baya itu memecah keheningan. Mata nya yang tadi nya lurus ke depan, beralih menatap datar putri semata wayang nya. Bella---nama wanita itu, yang merupakan ibu kandung dari Biarezka Ardilla Zora.
Bia tidak memerdulikan suara itu. Tanpa melirik si pemilik suara, dia terus berjalan melewati meja ruang tengah tersebut. Dengan pandangan datar lurus ke depan, dan tangan yang menenteng jaket kulit nya.
Hingga Bia merasakan tangan nya di tarik begitu kuat ke belakang bersamaan dengan lemparan sebuah kertas ke wajah nya.
"KURANG AJAR KAMU!!! HARUS BERAPA SURAT SKORSING LAGI YANG HARUS MAMA TERIMAA!" Suara Bella menggelegar di penjuru rumah mewah itu. Mata Bella berkilat tajam ke arah Bia.
Tangan Bia terkepal erat di kedua sisi tubuh nya, mata tajam nya ikut membalas tatapan wanita yang berstatus ibu nya itu.
"Bisa-bisa nya kamu kembali ikut tawuran!! Lihat!! Apa yang kamu dapat!! Wajah babak belur?!! Iya?!!"
Bia menepis kasar tangan Bella yang mencengkram dagu nya dengan kuat. Rahang nya semakin mengeras, mata nya semakin memancarkan aura siap membunuh.
"Yang sekolah gue! Yang tawuran gue! Yang babak belur gue! Dan yang di skors juga gue! Bukan lo! Kecuali lo yang ketiban semua itu! Baru rempong kayak gini!!" Balas Bia tanpa sopan santun.
"BIAAA!!" Bella berteriak marah.
"Gak usah teriak-teriak! Gue gak budek." Balas Bia datar.
"Berhenti bersikap seperti ini?! Apa yang kamu cari hah? Kamu pikir dengan kamu seperti ini hidup kamu membaik? Enggak! Jadi belajar jadi anak yang lebih baik dan nurut sama orang tua!" Ujar Bella penuh penekanan.
Bia menyeringai. "Apa? Lo nyuruh gue belajar jadi orang baik? Gak salah? Seorang yang kayak lo, nyuruh gue untuk berubah jadi baik?" Bia semakin tertawa keras. "Lo itu sama b******k nya kayak gue!!"
PLAKKK
"JAGA INTONASI BICARA MU!! DENGAN SIAPA KAMU BERBICARA!!"
Suara tamparan itu menggelegar di rumah itu. Lima pelayan yang manyaksikan itu, membekap mulut mereka saat melihat Bia tersungkur ke lantai dengan sudut bibir yang sudah lebam semakin robek dan berdarah karna tamparan keras yang di hadiahi oleh Bella itu.
Tangan Bia terkepal, membuat buku-buku jari nya memutih. Dia menatap tajam dan penuh kebencian ke arah Bella.
"Lo tau apa penyesalan terbesar di hidup gue?" Bia menggeram tertahan, setelah dia bangkit berdiri.
Nafas Bella terengah karna emosi nya yang tidak terkontrol lagi.
"Penyesalam gue cuman satu. Kenapa gue harus terlahir dari rahim lo?!"
"BIAAA!!"
"APA?!! LO MAU NAMPAR GUE?! TAMPAR?! TANGGUNG LO BUNUH GUE SEKALIAN!" Bia berteriak, dan menepuk-nepuk pipi nya dengan kuat di depan Bella.
Tangan Bella terhenti di udara. Mata nya tak beralih sedikit pun dari Bia.
"Lo tau! Gue bahkan berharap gak pernah hidup lebih lama sama lo! Bukan lo doang yang merasa rugi akan kehadiran gue! Tapi gue! Gue bahkan mengutuk kehadiran lo!" Ujar Bia penuh penekanan emosi di setiap kata-kata nya.
Hening. Bella terdiam, perlahan tangan nya terjatuh. Beriringan dengan Bia yang melangkah menaiki tangga.
BRAKKK...
Hingga suara bantingan pintu terdengar, Bella masih terpaku di tempat nya.
❄❄❄❄❄❄