Alayya memasuki kelas dengan senyum yang melengkung indah di bibirnya. Hari ini Alayya sangat senang. Dan itu karena Abrar. Ya, Abrar, si pangeran es yang irit bicara dan juga kaku seperti kayu. Efek yang diberikan oleh Abrar memang luar biasa. Alayya pun duduk di bangkunya. Alayya melihat ke sekelilingnya, ia mengeryitkan dahi. Kelasnya masih sepi, pikirnya. Hanya Alayya yang ada di kelas. Alayya menepuk kening nya pelan. "Kenapa bisa sampai segininya!" serunnya.
Lihat, Abrar benar-benar membawa pengaruh besar bagi Alayya. Lihatlah sekarang, Alayya bahkan lupa kalau setiap pagi dirinya memang selalu datang cepat ke sekolah. Tadi, Alayya bahkan sempat bingung saat melihat kelas sangat sepi. Alayya benar-benar lupa. Abrar sudah banyak menyita seluruh fikirannya sejak semalam.
"Woy!" seru seseorang mengejutkan Alayya. Alayya menatap orang itu dengan tatapan kesal, sementara yang ditatap hanya tersenyum memperlihatkan ekpresi tak bersalah.
"Ck! Atifa, apaan sih ngagetin aja" decak Alayya.
Atifa tertawa pelan. "Maaf-maaf. Lagian kamu kok senyum-senyum gitu sih? Sendirian pula." Atifa mengedarkan pandangannya ke sekeliling kelas. "Kamu senyum sama siapa sih? Kok creepy" Atifa bergidik ngeri.
Saat Atifa baru masuk ke kelas, Atifa sudah melihat Alayya yang senyum-senyum bahkan berbicara sendiri. Atifa tadinya bahkan sempat berfikir bahwa Alayya sedang kerasukan.
"Mau tau aja urusan orang. Kamu cepat banget datangnya, tumben. Mau ngapain? " tanya Alayya mengalihkan topik.
"Ya mau sekolah lah, emang mau ngapai lagi?" Atifa balik bertanya dengan wajah menyebalkannya.
"Ck!. Kok nyebelin?"
Atifa tertawa melihat wajah kesal Alayya. "Lagian pertanyaan kamu gak masuk akal sih. Kalau orang datang ke sekolah ya mau sekolah lah, yakali maunonton konser"
"Maksud aku bukan gitu Atifa Nandini!!!!. Maksud aku tuh kamu kok tumben datangnya pagi banget, biasanya kan agak siangan"
Atifa tertawa lagi. Kali ini tawa yang lepas. Jika Alayya sudah memanggil nya dengan nama lengkap itu artinya Alayya benar-benar kesal dengan.
"Ketawa lagi" cibir Alayya.
"Biasalah. Mau piket kelas" jawab Atifa seadanya.
"Halah, biasanya juga gak pernah piket" cibir Alayya lagi.
"Sembarangan. Tapi memang bener sih apa yang kamu bilang, hehe. Kalau bukan karena si Lena hari ini gak datang, males banget aku piket. Biasanya kan si Lena yang rajin piket tiap hari Jum'at" gerutu Atifa.
Alayya terkikik kali ini. Ekspresi Atifa saat berbicara tadi sangat lucu menurutnya. "Ya kan ada Bagus sama Doni. Suruh aja mereka bantuin kamu piket nanti"
Atifa menaikkan sebelah alisnya. "Bagus? Doni? Kamu bercanda? Gimana mau nyuruh bantuin, mereka datangnya selalu telat. Bahkan Pak Komar yang sering telat aja lebih dulu masuk ke kelas daripada mereka berdua"
"Yaudah kalau gitu sana piket. Keburu masuk nanti"
"Gak ada niat bantu nih? " tanya Atifa.
"Ogah. Gak jadwalnya. Ntar aku bantu pakek doa. Huuus-huuus." jawab Alayya dengan gerakan tangan mengusir yang berhasil membuat Atifa ingin menerkam Alayya saat ini juga.
❄❄❄
Alayya sedang berjalan ke toilet. Tangan kanan nya memeluk tiga buah buku paket sementara tangan kirinya meninting tas Atifa. Alayya menyusul Atifa yang lebih dulu pergi ke toilet karena Atifa sudah kebelet.
"Dasar Atifa, dia yang minta temenin eh malah aku yang ditinggalin. Lagian udah pulang juga, nahan bentar masa gak bisa" gerutu Alayya kesal. Alayya tidak memperdulikan tatapan aneh para murid yang berlalu lalang. Wajar saja, ini sudah waktunya pulang sekolah.
Bruuk
"Ck!" decak Alayya saat seseorang tanpa sengaja menyenggol lengannya sehingga buku paket dan tas Atifa yang ia pegang terjatuh. Buku paket miliknya berserakan di lantai.
Alayya berdecak bukan karena kesal bukunya jatuh dan berserakan, tetapi kesal karena ia merasa belakangan ini sering menabrak sesuatu dan berakhir dengan buku-bukunya yang berserakan di lantai. Jika bukan ia yang menabrak maka sebaliknya.
Udah mirip kaya adegan di novel aja, batinnya.
Alayya melihat botol air mineral tergelinding di dekat kaki nya. Alayya cepat-cepat mengambil bukunya, takut jika sampai buku itu kotor, rusak, atau robek karena posisi jatuh nya yang sangat buruk. Alayya juga mengambil botol air mineral yang ada di dekat kakinya kemudian berdiri.
"I…ni" ucap Alayya dengan ekspresi yang sulit di artikan. Perasaan gugup sekaligus bahagia bercampur mejadi satu.
Deg!
Jantung berdetak kencang, lagi. Alayya berdeham. "Ini punya kakak?" tanya Alayya dengan nada suara yang ia atur senetral mungkin.
Setidaknya ini lebih baik dari yang sebelumnya, batin Alayya
"Iya" jawab Abrar singkat.
Alayya bersorak girang dalam hati karena Abrar merespon pertanyaannya. Tapi Alayya bingung. Entah hanya perasaannya saja atau bagaimana. Abrar menatapnya seolah-olah Alayya adalah makhluk asing yang baru pertama kali Abrar temui.
Apa kak Abrar gak ingat sama ku? Tanya Alayya dalam hati.
Tatapan Abrar sangat sulit di artikan. Abrar menatapnya seolah-olah wajah nya sangat asing, padahal semalam mereka baru saja bertemu. Sadar Alayya, memangnya kamu siapa yang harus di ingat-ingat?.
Jujur saja, Alayya pikir wajah Abrar akan berekspresi lain saat bertemu dengannya mengingat semalam mereka begitu dekat. Tapi itu semua salah. Bahkan reaksi Abrar sangat jauh dari perkiraan.
"Minta" Akhirnya Abrar bersuara.
"Iya?" tanya Alayya tak mengerti. Ia masih betah menatap wajah tampan Abar.
Abrar melirik botol air mineral yang ada di genggaman Alayya. Alayya yang mulai mengerti maksud Abrar pun menyerahkan botol itu. "Ini. Maaf kak" ucap Alayya tulus, tak lupa dengan senyum kecilnya. Abrar mengambil botol itu dari tangan Alayya tanpa sepatah katapun.
"ALAYYA!!" jerit Atifa dari arah lorong yang tak jauh dari tempat Alayya dan Abrar berdiri. Baik Alayya maupun Abrar sontak menoleh ke arah Atifa. Atifa melambaikan tangannya seperti boneka kucing yang ada di toko-toko, mengisyaratkan agar Alayya datang mendekat padanya.
"aku duluan ya, kak. Sekali lagi maaf" Setelah mengatakan itu Alayya berjalan cepat menuju tempat dimana Atifa berdiri. Meninggalkan Abrar yang masih terpaku di tempatnya.
Abrar masih memandangi punggung yang kian mengecil karena berjalan menjauhinya. Abrar ingat gadis itu. Abrar bukan orang pikun yang tidak dapat mengingat wajah seseorang. Tentu saja ia ingat, hanya saja Abrar mengendalikan ekpresinya dengan sangat baik.
Abrar melihat botol yang ada di genggamannya. Di putar-putar nya botol itu lalu matanya tak sengaja melihat sesuatu yang tergeletak di lantai.
Abrar berjongkok dan mengambil benda itu. Abrar meneliti benda itu sebentar lalu di masukkannya kedalam saku kemejanya.
❄❄❄
Abrar sedang berbaring dengan kedua lengan menjadi bantal sambil mamandangi langit-langit kamarnya. Lalu Abrar teringat akan sesuatu. Abrar turun dari tempat tidurnya dan berjalan menuju ruangan khusus untuk menggantung baju-baju. Abrar mengambil sesuatu dari saku kemeja sekolahnya dan berjalan menuju meja belajar.
Abrar memperhatikan benda kecil yang sedang dipegangnya dengan seksama. Sebuah kertas berwarna biru dengan puisi singkat yang tertulis di sana.
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
Gumam Abrar membaca puisi itu. Abrar sangat hapal dengan puisi yang baru saja ia baca. Abrar sangat menyukai puisi karya Sapardi Djoko Damono yang satu itu.
Abrar bukan tipe pria yang suka membaca atau menulis puisi. Abrar bahkan tidak menyukai pelajaran Bahasa Indonesia. Orang-orang bilang pelajaran yang mudah adalah pelajaran Bahasa Indonesia. Tapi tidak dengan Abrar, baginya Bahasa Indonesia adalah pelajaran yang paling sulit.
Abrar akan lebih suka jika disuruh mengerjakan soal-soal Fisika daripada disuruh membuat puisi. Abrar bahkan mengetahui puisi itu dari soal ujian Bahasa Indonesia semester lalu.
Abrar kembali memperhatikan tulisan yang ada di kertas kecil itu. Abrar merasa seperti pernah melihat tulisan tangan itu sebelumnya, tapi Abrar tidak yakin. Abrar mencoba mengingat. Tulisan tangan itu terasa tak asing. Entah Abrar memang pernah melihat tulisan tangan itu atau hanya perasaannya saja, entahlah.
”mikir apa coba gue? Mau tulisan siapa gak penting juga buat gue” gumam Abrar. Abrar menyelipkan kertas itu di sela-sela halaman buku paket Biologi miliknya. Tak ingin ambil pusing, Abrar pun kembali ke tempat tidurnya. Matanya kian lama kiat berat. Perlahan tapi pasti, akhirnya Abrar tertidur.