1. Awal dari Semuanya

2070 Words
Seorang perempuan berambut panjang tengah berjalan di bawah guyuran air hujan sore itu. Hujan memang mengguyur kota Surabaya sejak tadi siang. Seakan tak mempedulikan bajunya yang basah kuyup, perempuan itu terus berjalan menuju rumahnya yang berjarak cukup jauh dari tempatnya berjalan sekarang. Perempuan itu bernama Vita, Vita Harum Kurniasari. Seorang penulis lepas dari sebuah redaksi majalah remaja yang baru saja berdiri dan juga seorang mahasiswi sebuah universitas swasta di kota itu. Pada umurnya yang menginjak dua puluh tiga tahun, ia harus menanggung sebuah tanggung jawab yang besar.  Kematian sang ayah sebulan yang lalulah penyebabnya. Satu-satunya tulang punggung keluarga itu meninggalkan dunia ini dengan memberi sedikit warisan berupa sebuah rumah. Tetapi ia juga meninggalkan banyak utang yang belum sempat diselesaikannya. Kini Vita harus memutar otaknya lagi bagaimana mencari uang demi hidup keluarganya, biaya sekolah adiknya yang masih kecil, untuk melunasi utang ayahnya, pun ibunya yang sekarang sering sakit akibat terlalu banyak pikiran. Apalagi kini orang yang meminjami utangan pada ayahnya mengantri minta dilunasi. Syukurlah Vita mendapat beasiswa penuh jadi dia tak perlu cemas tentang biaya kuliahnya yang kini telah selesai. Andai saja ia tak dapat beasiswa, bisa dipastikan bahwa perempuan penyuka warna biru itu akan bunuh diri saja karena banyaknya tunggakan. Tak terasa langkah kaki Vita sudah mulai mendekati rumahnya. Hujan sudah mulai mereda. "Jadi bagaimana? Sampai kapan kami harus menunggu?" Suara bentakan seorang laki-laki terdengar dari arah rumahnya. Dengan segera, Vita berlari menuju rumahnya. "Tolong pak, beri kami-" "Bunda!" Pekikan serta kedatangan Vita sontak membuat ucapan bundanya terpotong. "Assalamualaikum bunda." Vita mencium tangan Lina, bundanya. "Waalaikumsalam sayang. Sudah pulang kamu nak?" Tanya Lina lembut yang hanya dijawab Vita dengan anggukan kepala. "Heh, bukannya kamu sudah kerja? Serahkan uangmu. Hutang ayahmu itu 20 juta dan belum pernah dibayar sama sekali tau!" Ucap orang yang berwajah sangar. Tanpa banyak berkata lagi, lelaki itu segera menarik tas selempang yang dipakai Vita tadi. Tasnya yang hampir basah kuyup itu dirogoh-rogoh oleh orang tadi dibantu temannya yang bertubuh tambun. "J-jangan. Aku t-tidak bohong. Aku memang be-belum punya uang pak." Vita ketakutan dan menggamit lengan Lina. Lina juga ketakutan sehingga ia membalas gamitan putri sulungnya itu. Mereka seakan sedang saling memberi kekuatan. "Huh.. Kuberi kau waktu sebulan. Tapi itu batas terakhir! Jika kau tetap tak bayar, ikhlaskan saja rumahmu ini!" Lelaki bertampang sangar itu membanting tas milik Vita kasar dan segera pergi dari teras rumahnya. "Bagaimana lagi ini Vit?" Mata Lina mulai berair. "Vita juga gak tau bun." Vita memeluk tubuh di hadapannya agar bundanya itu tenang. Hatinya serasa diremas-remas ketika lagi-lagi sang bunda menangis karena masalah yang sama. Masalah ekonomi keluarga. "Sudahlah kita bicarakan di dalam saja. Mandilah dulu. Kau sudah basah kuyup begini." Bunda mengalihkan topik pembicaraan lalu menuntun Vita masuk ke dalam rumah. "Iya bunda." Vita berjalan mengikuti bundanya ke dalam rumah dan segera mandi. Vita melihat punggung Lina yang mulai ringkih. Dalam hati ia berdoa agar semuanya diberikan jalan yang terbaik agar seluruh masalah dalam keluarganya bisa terselesaikan. --- Teriakan Lina terdengar, menyuruh semua kedua anaknya berkumpul untuk makan malam. Kegiatan Vita segera terhenti. Perempuan itu memang sedang sibuk mengeringkan rambut panjang bergelombangnya. Uhh! Rasanya akan sangat lama jika harus mengeringkan rambut panjangnya ini! Makan. Satu kata yang ingin ia pedulikan pada urutan akhir saat ini. Saat ia masih harus memutar otak agar menemukan jalan keluar yang terbaik bagi setiap masalah ekonomi keluarganya. "Nanti saja bun. Vita masih kenyang." Teriaknya dari dalam kamar. Bohong. Ia tahu ia sudah berdosa membohongi Lina. Mana ada orang yang sejak tadi pagi belum menyentuh makanan sama sekali bisa merasa kenyang. Sembari mematut dirinya di cermin, Vita melanjutkan kegiatannya. Dalam otaknya ia terus berpikir, perusahaan mana yang akan menerima seseorang dari jurusan sastra yang baru saja lulus untuk bekerja secara tetap. Apalagi Vita juga belum memiliki pengalaman bekerja. Bekerja di redaksi majalah inilah kali pertama ia berusaha mencari pundi-pundi uang, gajinya pun tak seberapa. Mana mungkin dalam sebulan ini ia bisa menghasilkan 20 juta. Ingin pinjam uang ke bank juga ia bingung, apalagi yang bisa dijadikan jaminan. Setelah selesai mengeringkan rambutnya, Vita berdiri melihat hujan yang kembali mengguyur lewat jendela kamarnya. Ia terlalu asyik memandangi titik-titik air hujan yang membasahi tanah hingga perempuan itu tak sadar jika pintu kamarnya sudah dibuka oleh sang bunda. "Vit, sudahlah nak jangan dipikir terus-menerus." Lina mendekat dan mengusap puncak kepala Vita pelan. "Kita harus bagaimana lagi bun?" Vita mendongak menatap bundanya. Kelelahan begitu tersirat di mata perempuan yang baru saja menginjak umur 23 itu. "Bunda mau cari kerja aja Vit. Jadi pembantu juga gapapa, yang penting halal." Ucap Lina pada akhirnya yang langsung disambut oleh gelengan keras dari Vita. Menandakan bahwa perempuan itu benar-benar tak setuju dengan usulan bundanya. "Nggak, Vita gak bakalan izinin bunda kerja apalagi jadi pembantu. Kesehatan bunda jadi taruhannya. Vita nggak mau ambil resiko, bunda." Vita menggenggam tangan bundanya erat. "Tapi apa ada kerjaan lainnya kan? Bunda tidak punya keterampilan Vit, apalagi bunda udah berumur banyak." "Apapun yang terjadi aku gak bakalan izinin bunda kerja. Titik." Vita mulai melepas genggaman tangannya pada bunda. "Vit, mau kemana kamu nak?" Tanya Lina ketika melihat anak sulungnya beranjak dari tempatnya berdiri semula. "Vita mau ke rumah tante Alin. Tante Alin dan om Budi kan satu-satunya keluarga kita yang tersisa bun, siapa tau mereka bisa membantu." Lina berpikir sejenak. Mungkin ada benarnya juga apa yang dikatakan oleh anaknya itu. Lagipula, rumah sanak saudaranya itu tak terlalu jauh dari sini. Vita berbalik dan mencium tangan bundanya. "Ya sudah. Hati-hati ya nak." pesan Lina sebelum anaknya menghilang dibalik pintu. "Assalamualaikum." "Waalaikumsalam." Lina menyusut air matanya sedih. Masa peralihan dari remaja ke dewasa seperti yang Vita alami kini seharusnya diisi dengan kuliah yang tenang, cari kerja yang menyenangkan, dan bepergian dengan teman-temannya. Namun itu semua hanya angan-angan belaka. Lina sebenarnya tak tega melihat anak sulungnya pontang-panting mencari uang demi utang keluarganya. Lina hanya berdoa agar kelak Vita akan mendapatkan kebahagiaan yang sesungguhnya. --- "Jadi gitu ya Vit? Banyak banget." Tante Alin terkejut mendengar jumlah nominal uang utang milik keluarga Vita. Vita memang baru saja tiba di rumah tantenya dan langsung menceritakan semuanya pada sepasang suami istri berumur sekitar empat puluh tahunan itu. "Kalo dibawah lima juta sih mungkin om ada tabungan. Kamu tau sendiri kan om cuma polisi biasa, gak berpangkat tinggi. Jadi gajinya pun gak banyak. Apalagi biaya sekolah Ardi dan Erdin kan butuh banyak uang. Sekolah sekarang mahal Vit." Kini om Budi yang angkat suara. "Jadi aku ini harus gimana tante-om? Kerja apalagi? Pinjam uang ke siapa lagi? Gajiku sebagai penulis juga gak setiap bulan dapet. Kami cuma diberi waktu selama sebulan. Kalo tetap gak bisa bayar, rumah bakalan disita. Nanti aku, bunda sama Vina mau tinggal dimana?" Vita menumpahkan semua isi hatinya. Dia menangis sesenggukan. Otaknya benar-benar buntu untuk mencari solusi lain. "Kayaknya aku punya ide." perkataan tante Alin mengejutkan Vita dan om Budi. Sontak mereka berdua menatap tante Alin meminta penjelasan ide apa yang tiba-tiba muncul dikepalanya. "Gimana kalo kamu nikah aja-" "APAA??!!" Teriak Vita dan om Budi hampir bersamaan. "Apa sih teriak-teriak. Dengerin dulu kenapa? Kalo Vita menikah kan ada yang bisa bantu perekonomian keluarga. Kalo kamu nikah, suamimu pasti kasihan kalo kamu punya banyak utang dan dia akan sedikit demi sedikit membantu. Tapi tetap mas, kita juga masih punya tanggungan buat bantu sesuai pesannya Mas Tino sebelum meninggal. Kan mereka satu-satunya keluarga besar kita yang tersisa dari pihakmu." tante Alin menjelaskan panjang lebar. "Apa iya bunda mengizinkan aku menikah muda?" Vita bergumam lirih namun masih sempat didengar oleh tantenya. "Bundamu itu pasti mau apapun yang membuat anaknya bahagia tanpa merasa kesusahan. Sekarang memangnya ada jalan lain yang bisa kita ambil?" Sahut tante Alin. "Vit dengar ya, bukannya tante menjerumuskan keponakan sendiri. Tapi coba kamu pikir lagi deh, saranku ada benarnya Vit. Bayangin aja kalo kamu nikah sama orang yang mapan. Keluarga terjamin, utangmu ada yang bantu bayar selain kami, adikmu bisa bersekolah dengan tenang dan satu lagi, bundamu gak perlu susah-susah bekerja. Apalagi jadi pembantu seperti katamu tadi." tambahnya. "Begitu ya? Tapi sama siapa tan?" Vita menatap tantenya dengan pandangan sayu. Bingung mau menjawab apa lagi. Disatu sisi, tentu saja Vita takut untuk nikah muda karena terlalu beresiko. Apalagi ia juga tak memiliki kekasih saat ini. Lantas Vita akan menikah dengan siapa? Tapi disisi lain, kebaikan yang ditimbulkan jika ia menikahi lelaki mapan membuatnya tergiur. Hanya satu yang menjadi pusat pikiran Vita sekarang, kebahagiaan bunda dan adiknya! "Mas ingat sama temen mas yang jadi Sersan AD itu? Yang kemarin ketemu kita di Mall?" tante Alin bertanya pada suaminya. Om Budi mengerutkan keningnya. Berusaha mengingat-ingat siapakah orang yang bertemu dengan dia dan istrinya kemarin. Setelah mengingat siapa orangnya, lelaki paruh baya itu berseru. "Dito maksudmu?" Tanyanya pada tante Alin penuh semangat. "Nah iya yang itu. Kemarin kan dia cerita tentang keponakannya yang jadi Kapten TNI AU itu loh." kata tante Alin tak kalah antusias. "Oh iya. Keponakannya yang sampai umur 30 tahun tapi masih takut kalau kontak fisik sama wanita selain anggota keluarganya itu? Yang sampe keluarga besarnya bela-belain mencarikan calon istri buat dia itu? Bisa juga sih, kalau urusan mapan ya sudah gak bisa diraguin lagi. Secara pangkat, pangkatnya itu udah menengah ke atas. Gajinya pasti gede juga." mata tante Alin berbinar mendengar penuturan suaminya. Vita terdiam. Kapten? Anggota TNI AU? Keren juga sih. Tapi apa tadi om Budi bilang? Umur 30 tapi masih takut kontak fisik sama wanita selain anggota keluarganya? Hah, mau jadi bujang lapuk tuh orang? Apalagi keluarganya aja bela-belain nyariin dia calon istri. Segitu takutnya kah dia sama cewek? "Vit, kamu kok diam aja sih." Om Budi menjentikkan ibu jari dan jari tengahnya bersamaan tepat dihadapan Vita. Vita tersentak. "Yaa, ini lagi mikir tante." jawab Vita. "Ya sudah, Vita pamit dulu deh om-tante. Udah malem. Vita bakalan pikirkan saran om dan tante di rumah nanti." Vita beranjak dari duduknya dan mencium tangan om dan tantenya secara bergantian. "Assalamualaikum." Vita memberi salam. "Waalaikumsalam hati-hati ya Vit." pesan om dan tantenya ketika ia sudah sampai pada ambang pintu. --- Sesampainya dirumah, rumah terlihat sepi. Mungkin bunda dan adiknya sedang berada di kamar mereka masing-masing. Vita segera masuk kamar setelah mengunci pintu depan. Dia merenung. Nikah? Apa iya dia siap? Tiba-tiba bunda keluar dari kamarnya dan melihat putrinya itu sudah pulang. Bunda yang sempat menangkap gelagat aneh dari anaknya segera masuk ke kamar Vita. "Sudah pulang Vit?" Tanyanya. "Sudah bunda." Vita mencium tangan wanita yang telah melahirkannya itu. Wanita yang sebisa mungkin akan dibuatnya bahagia. "Ada apa lagi nak? Kamu masih memikirkan soal utang itu? Sudahlah, besok saja dilanjut lagi ya. Sudah malam sekarang nak." Lina menepuk-nepuk pundak Vita perlahan. "Sebenarnya bukan masalah itu bun. Bun, kalau misalnya aku ingin menikah dalam waktu dekat perasaan bunda bagaimana?" tanya Vita hati-hati. "Nikah? Tapi bunda belum punya uang untuk membiayai perayaan pernikahanmu nanti nak." Mata bunda mendadak mulai dipenuhi oleh cairan bening. "Tapi Vita gak membutuhkan perayaan yang berlebihan begitu bun. Vita cuma mau pernikahan biasa yang hanya mengundang teman dan kerabat dekat." Vita menggenggam tangan bundanya dengan sepenuh rasa sayang. Hanya Tuhan yang tau betapa besar rasa cinta dan hormatnya pada wanita yang sudah berkorban melahirkan dan membesarkannya itu. "Memangnya Vita mau nikah sama siapa? Kapan?" seulas senyum tipis menyungging dari bibir cantik bunda. "Eh, bukan sama siapa-siapa kok bun. Itu kan cuma misal. Udah ah Vita mau tidur, capek." Vita salah tingkah dan membaringkan tubuhnya diranjang. "Yaudah selamat malam nak." Lina terkikik geli melihat tingkah anak sulungnya ini. Tapi dalam hati ia merasa aneh dengan tingkah anaknya itu. "Selamat malam juga bunda." Percakapan pun diakhir dengan ditutupnya pintu kamar Vita. Vita menghembuskan nafasnya pelan. --- Pagi ini Vita sengaja bangun lebih awal. Dia akan pergi ke kantor redaksi mengambil upahnya menjadi penulis lepas minggu kemarin. Sambil bersenandung kecil Vita menuju meja makan, mengambil segelas s**u coklat yang tersisa. Menghabiskannya sekali teguk. "Gak sekolah dek?" Vita menyapa adik semata wayangnya yang masih kelas 2 SD, Vina. "Sekolah kok kak." Balas Vina sembari mengunyah roti bakar bikinan bunda. "Yaudah kakak berangkat dulu ya. Assalamualaikum." pamit Vita. Ia mencium kening adiknya sekilas dan mencium tangan bunda. "Waalaikumsalam." jawab bunda dan Vina bersamaan. --- Hari menjelang siang ketika Vita keluar dari kantor redaksi. Seperti dugaannya, gajinya hanya 1,5 juta. Belum pernah naik sekalipun. Tapi meski begitu Vita tetap bersyukur. Tiba-tiba ponselnya berdering nyaring. Ternyata tante Alin yang menelepon. Tumben sekali. "Assalamualaikum, ada apa ya tante?" ujar Vita to the point. "Waalaikumsalam Vit, bisa kerumah tante sekarang?" "Emm, ada apa te?" "Ini lagi ada Pak Dito. Yang kemarin tante ceritakan itu loh. Kemarin malam selepas kamu pulang om mu cerita tentang kamu ke temannya itu. Sekarang dia ingin ketemu kamu." Suara tantenya ini entah mengapa terdengar seperti suara senang yang berusaha ditahan. "Gitu ya te?" "Bisa kamu kesini?" "B-bisa kok te. Kebetulan aku di perjalanan pulang dari kantor redaksi." "Nah sekalian aja ke rumah tante ya. Ya sudah, assalamualaikum." "Waalaikumsalam." Klik! Sambungan telepon terputus. Secepat itu ya? Vita langsung berjalan kearah halte. Dan sesaat kemudian muncul sebuah bus bertuliskan tujuan yang mengarah pada daerah rumah tantenya. Tanpa pikir panjang, Vita langsung masuk ke dalamnya. Ia mengembuskan napasnya lelah. Semoga saja ia bisa mendapatkan yang terbaik bagi hidup dan keluarganya. To be Continue .... With love, AkuKirana
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD