Setelah berhasil mengambil dua minuman yang tadi dipesan, aku bergegas berlari meninggalkan Kak Dafa dan Adit di depan kedai lalu menghampiri Kak Alice yang sudah mulai mengayuh sepedanya.
“Kak, tunggu. Berenti dong, Celine capek nih ngejarnya.” teriakku sambil terus berlari.
“Kamu pulang aja jalan kaki!” sahut Kak Alice ketus tanpa menghentikan kayuhannya.
“Kakak kok tega sih sama Celine?”
“Pasti Dafa sama Adit kamu yang suruh ke kedai, kan?”
“Enggak, kok. Kenapa Kakak bisa mikir kayak gitu? Bukannya emang Kakak juga sering ketemu Kak Dafa di kedai?”
“Tapi kali ini Kakak yakin kalau Dafa dan Adit ke sini gara-gara suruhan kamu.”
“Enggak Kak, Celine beneran gak tau apa-apa. Celine aja baru tau kalo ternyata ada Adit sama Kak Dafa. Ayo dong Kak berhenti, Celine capek ngejarnya.” pintaku dengan memelas.
Karena merasa kasihan melihat aku yang terus berlari mengejarnya, Kak Alice pun akhirnya menghentikan laju sepedanya dan mengizinkan aku untuk naik.
“Oke, kali ini Kakak maafin. Tapi kalo sampe Kakak tau ternyata kamu emang sengaja selalu coba buat temuin Kakak sama Dafa, Kakak gak akan mau lagi ngomong sama kamu.”
“Iya Kak, Celine janji kok.” sahutku dengan terengah-engah.
Adit benar, tidak ada yang lebih sulit dari ini. Meluluhkan hati seseorang yang telah dikecewakan tidak semudah membalik telapak tangan. Tapi, aku tidak akan menyerah begitu saja. Kak Alice tidak boleh terus-terusan hidup seperti ini, ia tetap berhak merasakan cinta yang selalu dianggapnya sebagai salah satu bentuk pembodohan.
Sesampainya di rumah, Pak Burhan yang sedang memanaskan mobil mulai memanggilku dengan gerakan tangannya. Aku yang baru saja turun dari sepeda mulai menghampirinya dengan perasaan bingung.
“Ada apa, Pak?”
“Non Celine gak jadi minta antar ke rumah Non Merry buat kerja kelompok?” tanya Pak Burhan dengan sedikit berbisik.
“Kerja kelompok? Perasaan Celine lagi gak ada tugas apa-apa dari sekolah, Pak.”
Mata Pak Burhan mulai berkedip sebagai tanda bahwa ia sedang mengingatkan sesuatu kepadaku. Setelah mencoba berpikir, akhirnya aku pun teringat jika Pak Burhan telah berjanji akan membawaku bertemu dengan Papa di hari ini.
“O-oh, iya Pak. Aduh, hampir aja Celine lupa.” ujarku sambil mencuri pandang ke arah Kak Alice yang berjalan masuk ke dalam rumah.
“Jadi gak nih, Non?”
“Jadi dong, Pak. Tapi tugggu sebentar ya, Celine mau coba izin dulu sama Mama.”
“Siap, Non. Bapak tunggu di sini, ya?”
Sambil menenteng kantong pelastik berisi 2 minuman cokelat, aku melangkah masuk ke dalam menghampiri Mama dan Kak Alice yang sedang duduk di kursi meja makan.
“Ma? Celine izin ke rumah Merry, ya?”
“Ke rumah Merry? Ada apa emangnya?” Setelah menyelesaikan kunyahannya, Mama mulai menatapku.
“Ada tugas kelompok dari sekolah.”
“Kok tumben dadakan?”
“Sebenernya udah dari minggu lalu. Celine udah cerita ke Pak Burhan buat anter, tapi Celine lupa, untung barusan Pak Burhan ngingetin.”
“Ya udah, tapi pulangnya jangan sore-sore ya? Pokoknya kalau udah selesai langsung pulang, gak boleh ke mana-mana lagi.” pesan Mama.
“Iya siap, Ma.”
Aku memberikan kantong pelastik berisi minuman tersebut ke tangan Kak Alice.
“Ini, Kak.”
“Loh, kamu gak mau bawa minumannya?”
“Nanti aja, tolong simpenin di dalam kulkas ya, Kak.”
Setelah berhasil pamit, aku berlari menuju kamar untuk mengambil tas agar lebih meyakinkan Mama jika aku benar-benar pergi ke rumah Merry untuk mengerjakan tugas kelompok. Tanpa berlama-lama, aku langsung kembali menghampiri Pak Burhan yang sedari tadi sudah menunggu di luar.
“Ayo, Pak. Celine udah siap.”
“Oke, Non.” ujar Pak Burhan yang segera bangkit dari posisi duduknya.
Kami pun mulai melakukan perjalanan menuju rumah yang Pak Burhan maksud.
Kurang lebih sekitar 20 menit, akhirnya kami sampai di sebuah rumah cat putih dengan gerbang yang berwarna hitam.
Rumah yang ukurannya lebih kecil di banding rumahku ini memiliki beberapa pohon di halaman depannya.
“Ini Non rumah yang Bapak maksud.”
Aku terus rumah itu dari balik kaca jendela mobil, “Pak Burhan yakin, kan?”
“Yakin pokoknya mah, Non.”
“Ini Celine harus turun, Pak?”
“Terserah Non Celine, apa mau cuma di dalam mobil aja? Nunggu sampe Papa keluar?”
“Takutnya udah nunggu lama, Papa gak keluar-keluar. Celine samperin aja deh, Pak.”
“Perlu Bapak antar gak, Non?”
“Gak usah, Bapak tunggu di sini aja ya?”
Pak Burhan mengangguk, “Baik, Non.”
Setelah memberanikan diri melangkah keluar dari mobil, aku mulai berjalan mendekati rumah tersebut.
Terlihat hanya ada 1 sendal laki-laki di teras depan. Rumah ini nampak begitu sepi dari luar. Perlahan, aku mencoba membunyikan bel yang tertempel di dinding dekat gerbang.
Suara bel pertama berhasil berbunyi, namun tidak ada jawaban, juga tidak ada tanda-tanda seseorang akan keluar. Aku kembali menekan tombol bel tersebut untuk yang kedua kalinya.
“Iya, tunggu sebentar.” Terdengar samar teriakan suara seseorang dari dalam.
Tak lama kemudian, pintu itu mulai dibuka oleh pemiliknya. Keluarlah seorang pria yang selama ini sangat aku rindukan. Ya, Pak Burhan benar, itu adalah Papaku. Adi Gunawan.
“C-celine?” Wajahnya menatapku tak percaya. Dengan terburu-buru, Papa mencoba membukakan pintu gerbang. “Celine!!!!” teriak Papa lagi yang kali ini sambil memelukku dengan erat.
“Papa!!” Sambil menangis, aku membalas pelukannya dengan tak kalah erat.
“Papa kangen banget sama Celine.”
“Celine juga kangen banget sama Papa.”
Papa mulai melepaskan pelukannya, kembali ditatapnya wajahku yang sudah bersimbah air mata. Perlahan, tangan lembutnya mengusap air mata yang terus menerus jatuh membasahi kedua pipiku.
“Papa ikut pulang ya sama Celine.”
“Gak bisa, Sayang. Papa belum punya bukti yang kuat buat ngeyakinin Kak Alice dan Mama kalau Papa gak melakukan perbuatan itu.”
“Terus, kapan Papa bakalan pulang? Celine mau keluarga kita kembali lengkap.”
“Sabar ya, Sayang. Celine terus berdoa aja, semoga kita bisa kembali sama-sama, ya?”
Aku mengangguk pelan.
“Kamu sama siapa ke sini, Nak?”
“Sama Pak Burhan.” Aku menunjuk ke arah Pak Burhan yang masih terduduk di dalam mobil. Tak lama, Pak Burhan keluar dan melangkahkan kakinya menghampiri kami.
“Pak Burhan? Bapak tau dari mana kalau saya tinggal di sini?”
“Jadi gini, Pak Adi. Minggu lalu, saya terkejut saat lihat Bapak di depan sebuah toko mau masuk ke dalam mobil, karena penasaran akhirnya saya ikutin Bapak sampai Bapak berhenti di sini. Maaf Pak, sebenarnya saya gak ada maksud apa-apa, apa lagi untuk kasih tau Non Celine kalau Pak Adi sekarang tinggal di sini. Habisnya saya gak tega sama Non Celine yang selalu cerita ke saya kalau dia kangen sekali sama Bapak.”
Papa tersenyum sambil menepuk bahu Pak Burhan pelan, “Nggak apa-apa, Pak Burhan. Saya malah senang sekali akhirnya bisa ketemu lagi sama Celine.”
“Jadi? Papa beneran belum bisa ikut Celine pulang?” tanyaku kemudian.
Setelah menarik napas, Papa mencoba membungkukan tubuhkan untuk menyetarakan tingginya denganku. “Belum, Sayang. Tapi Papa janji, secepatnya Papa akan pulang ke rumah.”
“Beneran, Pa? Janji ya?”
“Iya, Sayang. Papa janji.” jawabnya tersenyum.
“Pa? Apa Celine boleh main terus ke sini kalo Celine lagi kangen Papa?”
“Boleh, dong. Kapan pun Celine mau main ke sini, pasti bakalan Papa bukain pintu. Tapi, emang Celine gak takut Mama marah kalau tau Celine pergi nemuin Papa?”
“Celine bakalan berusaha supaya Mama maupun Kak Alice gak tau soal ini.”
“Jadi, sekarang kamu ke sini pun gak izin sama Mama?”
“Izin, cuma Celine bilangnya mau ngerjain tugas kelompok di rumah Merry. Mangkannya Celine bawa tas.”
Papa mulai melirik ke arah ransel yang berada dalam gendonganku. “Maafin Papa ya, Sayang. Gara-gara Papa, Celine jadi kesusahan sendiri untuk ketemu Papa.”
“Gak apa-apa kok, Pa. Yang penting, Celine masih bisa ketemu Papa.”
Lagi-lagi, Papa kembali tersenyum lalu kembali mendirikan tubuhnya dengan tegak. “Oh iya, Celine udah makan belum?”
“Belum.” sahutku disertai gelengan kepala.
“Ayo kita masuk ke dalam, nanti Papa akan buatin Celine sesuatu untuk dimakan. Celine mau makan apa? Atau kita mau pesan aja lewat aplikasi online?”
“Apa aja yang penting Celine makannya sama Papa.”
“Pizza? Gimana kalo Pizza? Celine suka banget kan sama Pizza?”
“Ah, iya mau, Pa. Pizza cheese paperoni ya?”
“Iya, siap Tuan Puteri! Mari Pak Burhan, ikut masuk ke dalam. Kita makan sama-sama.” ajak Papa pada Pak Burhan yang sedari tadi terlihat bahagia melihat aku dan Papa akhirnya bertemu.
“Oh, iya Pak. Terima kasih.”
Itu lah harinya, di mana akhirnya aku dapat kembali menghabiskan waktuku bersama Papa meski hanya beberapa saat. Semenjak kejadian beberapa tahun lalu itu, Mama melarang keras Papa untuk menemui aku dan Kak Alice, terlebih, Kak Alice pun sudah tidak ingin ditemui oleh Papa lagi.
Terakhir kali, aku bertemu dengan Papa ketika kami berada di pengadilan, di mana Mama meminta hak untuk mengasuh kami. Saat itu, aku tidak pernah berpikir sama sekali jika hari itu akan menjadi hari terakhir di mana aku bertemu dengan Ayahku. Hampir 5 tahun, aku tumbuh tanpa kasih sayang dari seorang Ayah. Sering kali aku menangis ketika melihat teman-teman seusiaku diantar dan dijemput oleh Ayahnya saat mereka berangkat dan pulang sekolah, sementara aku hanya selalu diantar jemput oleh Pak Burhan. Tapi keadaan tidak pernah membuatku membenci Papa. Seperti yang Pak Burhan yakini, aku pun percaya jika Papa tidak bersalah dan ia tidak pernah mengkhanati kami, keluarganya.
Hari mulai menjelang petang, berat rasanya bagiku untuk pergi dari sini. Aku tidak bisa membayangkan Papa menghabiskan waktunya di rumah ini seorang diri, tanpa ada cinta di sekelilingnya. Sementara aku, Mama dan Kak Alice selalu berusaha untuk saling melengkapi satu sama lain, tanpa mereka tahu bahwa kami tidak akan benar-benar utuh tanpa kehadirannya.