Episode 1
Namaku Celine Shaenette, seorang gadis kecil yang telah merasakan jatuh cinta di bangku pertama kelas 1 Sekolah Dasar, lebih tepatnya ketika aku berusia 6 tahun. Kini aku telah menduduki bangku kelas 5 Sekolah Dasar.
“Namanya Keenan Haldis. Dia tampan, meskipun kadang menyebalkan.”
Aku mencoba mendeskripsikan bagaimana sosok seorang anak laki-laki yang untuk pertama kalinya berhasil membuatku jatuh cinta itu.
“Cuma karena tampan aja kamu bisa sampai sebegitu sukanya sama dia?” Ucap perempuan yang sedang terbaring di atas kasur sambil memakan snack cokelat yang berada di sebelahnya.
Alice Carabella, dia adalah Kakak perempuanku yang menjadi anak pertama di keluarga ini. Kami dua bersaudara, umur kami terpaut 3 tahun. Di mana ia sudah menginjak bangku kelas 8 Sekolah Menengah Pertama.
Aku dan Kak Alice adalah anak korban Broken Home. Orang tua kami bercerai ketika aku masih berumur 5 tahun sementara Kak Alice telah berumur 8 tahun. Di usianya yang sudah cukup mengerti masalah perceraian membuatnya berhasil membenci laki-laki mana pun yang ia temui, termasuk Ayahnya sendiri.
Semua berawal ketika Kak Alice memergoki Papa berselingkuh dengan wanita lain. Dan hal tersebut ia saksikan secara langsung ketika Mama sedang tidak berada di rumah.
Kala itu aku dan Mama pergi mengunjungi rumah Nenek karena di hari sebelumnya Kakek telah menelepon bawha Nenek sedang sakit. Kak Alice yang merasakan lapar tak tertahankan mencoba berjalan ke kamar Papa bermaksud ingin meminta uang untuk membeli makan. Tanpa sengaja, ketika Kak Alice berniat untuk mengetuk pintu kamar Papa, sebelum ia berhasil melakukannya, ia mendengar suara seorang perempuan dari dalam sana. Kak Alice yang penasaran mencoba untuk membuka pintu perlahan tanpa mengetuknya terlebih dahulu. Dan untuk pertama kalinya, ia melihat sesuatu yang tak seharusnya ia lihat. Kejadian tersebut membuat ia begitu benar-benar trauma dan membenci Papa hingga saat ini. Bahkan hal itu juga berdampak pada masa remajanya, di mana ia tidak pernah percaya dengan yang namanya laki-laki.
“Memangnya Kakak nggak pernah jatuh cinta sama laki-laki tampan?”
Aku yang sedang asyik terduduk di Bean Bag berwarna biru tua yang berada di dalam kamarnya mulai menoleh ke arahnya.
“Jangankan laki-laki tampan. Mau bagaimana pun bentuknya. Kakak tetap tidak tertarik pada laki-laki.”
“Jadi, Kakak tertarik pada perempuan?”
“Bukan begitu juga maksud Kakak, Cel.”
“Lalu?”
Aku menatapnya sementara ia hanya terdiam.
“Kak, gak semua laki-laki itu sama seperti Papa.” Lanjutku.
“Kamu bisa bilang kayak gitu karena kamu gak pernah ada di posisi Kakak. Suatu saat, ketika kamu benar-benar jatuh cinta. Kamu akan tau gimana rasanya dan gimana gak percayanya kamu sama yang namanya laki-laki. Cinta itu gak ada indah-indahnya, Cel.”
“Tapi, aku benar-benar Cinta sama Keenan. Sebelum tidur, cuma Keenan yang ada di pikiran aku. Setelah bangun tidur, cuma Keenan juga yang ada di pikiran aku.”
“Anak seusia kamu itu mana bisa ngerasain yang namanya perasaan yang benar-benar cinta. Cel, percaya sama Kakak, yang kamu rasain itu cuma sekadar cinta monyet. Setelah dewasa, kamu juga akan lupa sama dia. Dan perasaan yang menurut kamu besar itu juga akan hilang beberapa lama kemudian.”
Kemudian ia menghela napas panjang.
“Sudah, sana balik ke kamar kamu. Kakak mau tidur.”
Setelah berusaha beranjak dari Bean Bag, aku melangkahkan kaki keluar.
“Tapi, bedanya cinta monyet dengan cinta sejati itu apa, Kak?” Tanyaku sebelum benar-benar pergi dari kamarnya.
“Kakak gak tahu betul apa itu cinta. Yang Kakak tahu, cinta itu adalah sebuah kebodohan.”
Aku hanya terdiam sambil kembali melanjutkan langkah untuk menuju ke kamarku.
Itu lah Kak Alice. Trauma dan rasa sakit yang pernah ia rasakan membuatnya benar-benar begitu menghindari percintaan dan amat sangat membenci laki-laki. Mungkin, jika aku sudah sebesar dia saat itu, aku juga akan sulit untuk mempercayai lelaki mana pun di sepanjang hidupku.
Orang-orang bilang, cinta pertama mereka adalah Ayahnya sendiri. Tapi bagi Kak Alice, Papa adalah patah hati pertamanya.
***
Aku berjalan masuk ke dalam gerbang sekolah menuju ruang kelas. Keenan terlihat tengah berdiri mengobrol di depan pintu bersama Adit dan juga Beni. Mereka bertiga adalah teman yang akrab.
“Selamat pagi, Celine.” Sapa Adit, anak laki-laki yang menjadi teman sebangku ku itu mulai menyapa dengan keramahannya.
“Pagi juga, Dit.”
“Aduh, masih pagi udah ngeliat yang bentukannya kayak gini.” Ujar Keenan meledek sambil melirik ke arahku.
Dengan perasaan jengkel, aku menginjak sepatunya dengan penuh perasaan.
“Aduuuh.” Teriaknya sambil meringis.
“Makan tuh!”
Adit dan Beni hanya menertawakannya setelah aku berhasil melewati mereka untuk masuk ke dalam kelas menuju kursiku.
Begitulah seorang Keenan Haldis. Ia menjadi satu-satunya anak laki-laki yang paling menyebalkan di kelas. Terkadang aku heran mengapa bisa menyukainya terlepas dari ketampanan wajah yang ia miliki.
Aku dan Keenan termasuk ke dalam murid berprestasi di sekolah. Tak jarang kami bertengkar soal nilai ujian. Aku akan amat sangat kesal jika nilai ulangannya lebih tinggi dibanding nilai ulanganku. Begitu pun Keenan.
*teng.. teng.. teng..*
Bel masuk berbunyi. Anak-anak yang masih berada di luar kelas pun mulai berlarian masuk ke dalam, begitu juga dengan Keenan, Adit dan juga Beni.
Seperti yang sudah aku jelaskan. Adit adalah temanku sebangku. Sementara Beni adalah teman sebangku Keenan.
“Cel, lo udah ngerjain tugas Matematika?” Tanya Adit setelah berhasil duduk di kursinya.
“Tugas Matematika? Emang adaaaa?!”
“Yeee, kan kemarin Bu Tyas kasih tugas ke kita dan akan dikumpulin hari ini.”
“Demi apa sih, Dit? Kenapa lo gak bilang?!!!!!”
“Ini gue bilang.”
Aku mencoba meraih tas milik Adit yang bersandar di kursinya.
“Mau ngapain, sih?”
“Liat tugas lo.”
“Percuma, gue belum ngerjain.”
“Gilak. Bisa-bisa dikumpulin hari ini dan lo dengan tenangannya belum ngerjain sama sekali?”
Ia hanya tertawa cengengesan ke arahku.
“Hmm, ini yang disebut juara kelas dan murid yang dibanggakan sama guru-guru? Masa ada tugas aja dia gak tau.” Ujar Keenan dari kursinya yang letaknya di seberang kursiku.
Aku hanya memandang sinis ke arahnya sambil membuka buku Matematika dan mencoba mengerjakannya dengan terburu-buru.
*Ting.. tong..*
“Panggilan kepada Keenan dan Celine, selaku Ketua dan Wakil Ketua kelas 5. Diharap segera menuju ruang guru.”
Adit yang melihatku masih asyik fokus mengerjakan tugas Matematika mulai menepuk bahuku.
“Cel, lo dipanggil.”
“Ah, biarin. Biar Keenan aja yang ke sana. Dia kan Ketua Kelasnya.”
“Lo tuli apa gimana, sih?” Ucap Keenan yang menghampiriku.
“Berisik! Gue lagi sibuk.”
Ia langsung merampas buku Matematikaku dan memberikannya kepada Adit. Ditariknya tanganku untuk pergi menuju ruang guru.
“Lepasin!”
Sesampainya di depan ruang guru. Ia pun melepaskan tangannya dari pergelangan tanganku.
“Celine.. Keenan.. Hari ini Bu Tyas tidak dapat mengajar karena sedang ada keperluan. Jadi kalian berdua diminta untuk memberikan tugas tambahan dari Bu Tyas untuk dikerjakan hari ini. Dan Bu Tyas juga berpesan kalau tugas kemarin dikumpulkan hari jumat, bersamaan dengan tugas hari ini.” Bu Ratih memberikan arahan sambil menyerahkan kertas selembar berisi nomor halaman yang harus kami kerjakan.
“Baik, Bu.”
Aku dan Keenan pun meninggalkan Ruang Guru dan kembali menuju kelas.
“Hahahahaha.” Tawaku kencang.
“Kenapa, lo? Kesurupan?!”
“Beruntungnya gue, belum sempat ngerjain tugas, eh Bu Tyasnya gak bisa ngajar. Selamat.. selamat..”
“Gitu aja kok bangga. Dasar gendut.”
Keenan pun mempercepat langkahnya dan pergi meninggalkanku.
“Gendut” itu lah cara bagaimana ia memanggil dan meledekku. Sebagai seorang anak yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Aku memang mempunyai bobot tubuh yang agak sedikit lebih besar dibanding anak seusiaku yang lain. Walau bagaimana pun, tidak ada satu orang pun yang membully berat tubuhku. Kecuali, Keenan. Tapi, entah kenapa, aku tidak pernah beranggapan jika itu adalah salah satu bentuk bully-an. Aku memanggap hal tersebut hanyalah sebuah candaan. Dan lucunya, aku sangat suka ketika Keenan meledekku dengan panggilan seperti itu. Karena menurutku, itu lebih terdengar sebagai sebuah panggilan kesayangan.
Tak lama kemudian, langkahnya kembali menghampiriku.
“Nih!”
Ia memberikan kertas selembar yang diberi Bu Ratih tadi kepadaku.
“Lo aja yang info di papan tulis.”
“Loh, kenapa gue? Kan elo Ketuanya.”
“Justru karena gue Ketua dan lo cuma Wakil, jadi gue bebas merintah lo.”
Keenan pun kembali meninggalkanku.
“Yeee, bilang aja tulisan lo jelek!” Teriakku.
Setelah berhasil kembali masuk ke dalam kelas, terlihat Keenan telah duduk di kursinya.
“Cel, ada info apa? Bu Tyas gak masuk ya hari ini?” Ujar Merry.
“Iya.”
“Horeeee!!!!” Sorak sorai anak-anak memenuhi ruang kelas.
“Jangan berisik ya, tetap tenang. Bu Tyas kasih kita tugas dan harus dikerjain.”
Aku mulai menuliskan halaman di papan tulis dan kembali berjalan menuju kursiku.
“Kan, emang Adit tuh selalu beruntung. Gak ngerjain tugas, tau-tau Bu Tyas gak masuk.” Ucapnya cengegesan.
“Emang aja lo pemalasan!” Jawabku sambil melempar sebuah kertas yang sebelumnya telah diremas ke arahnya.
Kemudian Adit beranjak dari kursinya lalu berjalan menghampiri meja Keenan dan Beni.
“Ke kantin yuk, Bro.” Ajaknya di saat Keenan dan Beni tengah serius mengerjakan tugas yang diberikan oleh Bu Tyas.
“Gak, ah. Lo aja.” Jawab Keenan.
“Ah, gak asik. Ayo, Ben. Gue haus, nih.”
“Berangkaaat!!”
Mereka berdua pun pergi ke kantin meninggalkan Keenan yang tidak ikut serta. Selaku Ketua Kelas, Keenan begitu patuh dan sangat amat menjaga Citranya.
“Kerjain. Jangan ngeliatin gue, nanti naksir baru tau rasa.” Ujarnya tanpa menoleh ke arahku dan tetap fokus mengerjakan tugasnya.
Aku yang menyadari bahwa telah melamun sambil menatapnya langsung kembali mencoba memfokuskan diri.
“Dih, pede gila lo. Siapa juga yang ngeliatin.”
Lagi-lagi, tanpa menoleh. Ia hanya tersenyum sinis.
Lalu Merry berjalan dan duduk di sebelahku ketika menyadari bahwa kursi Adit kosong.
“Ke mana nih si rese?” Tanyanya.
“Biasa, ke kantin.”
“Udah gue duga. Itu anak gak bisa ada jam kosong sedikit, pasti langsung pergi ke kantin.”
Aku hanya tersenyum sambil terus fokus mengerjakan tugas.
“Cel, kok lo betah sih duduk sebangku sama Adit? Dia kan rese banget anaknya.”
“Adit asyik kok, Mer. Kocak anaknya, dan baik juga.”
“Bisa-bisanya. Padahal nih ya, kalau ke gue gak pernah ada manis-manisnya, bikin kesel terus setiap hari yang ada.”
Kali ini, aku tertawa menganggapi ceritanya.