Episode 2

1879 Words
Merry dan Adit pernah menjadi teman sebangku selama dua tahun, tepatnya ketika kelas 3 dan 4. Setiap tahunnya memang Wali Kelas selalu menentukan tempat duduk para murid secara acak. Aku selalu berharap untuk bisa sebangku dengan Keenan, namun hingga di kelas 5 ini harapan itu belum juga terwujud.   “Ngobrolin apaan sih asyik banget kayaknya.” Ujar Adel yang duduk tepat di depan kursiku.   “Biasa, Del. Adit.” Jawabku.   “Masih dendam aja lo sama Adit, Mer. Kangen ya mau duduk satu bangku lagi?” Ledek Adel.   “Ih, ogah banget. Ngeliat mukanya aja gue udah kesel, apalagi harus duduk sebangku lagi. Dua tahun udah amat sangat cukup membuat gue naik darah setiap harinya.” Aku dan Adel hanya saling menatap kemudian tertawa ke arahnya. Adel dan Merry adalah teman dekatku di kelas. Layaknya seperti Keenan, Adit dan Beni. Kami juga selalu pergi bertiga ke mana pun. Termasuk jika ada tugas kelompok. Tak lama kemudian, Adit dan Beni kembali masuk ke dalam kelas dengan wajah sumringahnya.   “Eh, Mer. Ngapain lo duduk di tempat gue?” Ujar Adit ketika menyadari Merry menduduki kursinya.   “Kenapa? Pelit banget sih jadi orang?!”   “Loh kok emosi? Gue kan nanyanya santai.”   “Kalian berdua ya, bisa gak sih sehari tuh gak pake berantem?” Ucapku sambil melirik ke arah mereka berdua.   “Si Aditnya tuh, Cel. Pelit banget.”   “Yeee, padahal gue cuma nanya. Udah deh lo balik aja sana ke kursi lo. Gue mau duduk.” Dengan wajah jengkel, Merry pun bangkit dari kursi Adit dan kembali duduk di kursinya.   “Jangan keseringan berantem. Nanti jodoh, loh.” Ledek Abel.   “Dih, ogah banget!” Sahut Adit dan Merry bersamaan.   “Nah, kan. Jawabnya aja kompak gitu.” Kali ini Beni yang meledek.   “Ngapain sih lo ikut-ikut?!” Ujar Merry sambil menatap sinis ke arah Adit.   “Ada juga lo yang ikut-ikut!” Balasnya dengan tatapan yang tak kalah sinis.   “Udah-udah jangan berisik. Ganggu yang lain tau nggak.” Ucapku mencoba melerai keduanya. Aku kembali mencuri pandang ke arah Keenan yang sedari tadi masih asyik mengerjakan tugasnya tanpa memperdulikan sekitar. Sesekali aku menahan senyum dan berharap agar tidak ada satu orang pun yang menyadarinya termasuk Keenan sendiri. ***   “Aku pulangggg.” Ujar Kak Alice yang melangkah masuk ke dalam rumah.   “Eh anak Mama udah pulang. Cepat sana ganti baju terus gabung ke meja makan ya, Sayang.”   “Iya, Ma.” Kak Alice pun berjalan menuju kamarnya, dan beberapa lama kemudian, ia kembali menghampiri aku dan Mama yang sudah berada di meja makan sedari tadi.   “Gimana sekolah kamu hari ini?”   “Sama aja kayak hari-hari biasanya, Ma.” Jawabnya sambil mengambil beberapa lauk untuk ia letakkan ke atas piringnya. *ting.. nong..* Bel rumah berbunyi.   “Bi, tolong liatin siapa yang datang.”   “Baik, Bu.” Tak lama kemudian, Bi Lastri kembali menghampiri kami.   “Ini, Non.” Ia menyerahkan sekotak brownies ke arah Kak Alice.   “Loh? Untuk Alice, Bi?”   “Iya, Non. Dari Den Dafa.” Seketika wajah Kak Alice berubah menjadi sinis.   “Kasih Mama atau Celine aja, Bi.” Ia kembali menyerahkan brownies tersebut ke arah Bi Lastri dan beranjak pergi dari meja makan menuju kamarnya. Bi Lastri hanya menatapku dan Mama dengan ekspresi kebingungan.   “Ya udah gak apa-apa. Siniin kuenya, Bi.” Masih dengan wajah bingungnya, Bi Lasti memberikannya ke Mama.   “Kalau gitu saya permisi, Bu. Mau lanjut bersih-bersih dapur.”  “Iya, Bi. Makasih ya.”   “Sama-sama, Bu.” Langkah Bi Lastri pun kembali berjalan ke arah dapur. Meskipun tubuhku gendut, aku memiliki wajah yang cantik. Tapi, Kak Alice memiliki wajah yang jauh lebih cantik. Tidak heran jika banyak sekali laki-laki yang menyukainya. Salah satunya adalah Kak Dafa, anak seusia Kak Alice yang menjadi tetangga depan rumah kami. Kak Dafa begitu menyukai Kak Alice dari semenjak awal ia pindah ke sini. Tepatnya waktu umur keduanya berada di usia 6 tahun. Awalnya, Kak Alice sangat ramah kepada Kak dafa. Mereka juga sering bermain bersama. Tapi, ketika di umur ke 8 tahun, saat menyaksikan kejadian itu, berhasil membuat cara pandang Kak Alice kepada laki-laki menjadi berbeda. Semenjak itu, Kak Alice menjauhi Kak Dafa hingga saat ini. Seusai menyantap makan siang, aku memutuskan untuk pergi ke kamar Kak Alice terlebih dahulu. *tok.. tok.. tok..*   “Kak? Boleh masuk?” Tanyaku setelah berhasil mengetuk pintu kamarnya.   “Masuk aja, gak Kakak kunci.” Setelah berhasil membuka pintu, aku berjalan masuk menghampirinya yang sedang bersandar di atas Bean Bag.   “Ada apa?” Tanyanya. Aku hanya terdiam sambil mencoba duduk di atas kasurnya.   “Aku tadi coba makan brownies dari Kak Dafa. Enak loh, Kak.”   “Ya udah, kalau gitu habiskan aja sama kamu.”   “Kakak gak mau coba? Enak banget tauuu, seriusan deh.”   “Enggak, Cel. Kakak kenyang.”   “Dikiiiit aja, Kak.”   “Celine!” Bentaknya. Ia langsung terdiam sejenak ketika sadar bahwa telah membentakku.   “Kakak kenyang, Cel. Jadi buat kamu aja, ya?” Kak Alice menurunkan nadanya dan menjawab dengan lembut.   “Ya udah, deh. Aku mau balik ke kamar, ya.”   “Jangan lupa pintunya ditutup lagi.”   “Iya, Kak.” *** Setelah menghabiskan sarapan di piring masing-masing. Aku dan Kak Alice beranjak dari meja makan sambil menggendong tas dan berjalan keluar setelah berpamitan dengan Mama. Ketika sedang menunggu Pak Burhan memanaskan mobil, aku dan Kak Alice berdiri di dekat pagar yang sudah terbuka dengan lebar. Tak lama kemudian, terlihat Kak Dafa baru saja keluar dari rumahnya. Aku menoleh ke arah Kak Alice, ia tengah fokus menatap layar handphonenya.   “Selamat pagi, Celine.” Sapanya setelah berhasil menyalakan mesin kendaraan sepeda motor yang sedang ia naiki.   “Pagi juga, Kak Dafa.”   “Selamat pagi, Alice.” Kak Alice hanya melirik sebentar ke arahya lalu kembali fokus menatap layar handphone yang tidak pernah lepas dari genggamannya itu.   “Pagi.” Balasnya singkat.   “Mari, Non. Kita udah bisa berangkat sekarang.” Masih fokus dengan layarnya, ia berjalan masuk ke dalam mobil. Kak Dafa hanya terdiam sambil terus memperhatikannya lalu menatapku dan tersenyum. Tak lama kemudian, ia pun melajukan sepeda motornya sebelum Pak Burhan menancap gas keluar gerbang.   “Cel, Kakak gak suka ya kamu ramah dan dekat sama dia.” Ucapnya saat mobil telah berhasil dijalankan.   “Siapa yang Kakak maksud? Kak Dafa?”   “Iya, dia. Siapa lagi.”   “Memangnya kenapa?” Aku menoleh ke arahnya yang lagi-lagi tetap fokus pada layar handphonenya tanpa menoleh ke arahku.   “Cukup ikuti apa yang Kakak bilang.”   “Gak mau.” Ia mulai menaruh handphone di pangkuannya dan menoleh ke arahku.   “Kamu gak sayang sama Kakak?”   “Itu semua gak ada hubungannya sama rasa sayang aku ke Kakak.”   “Ya kalau kamu gak nurut sama apa yang Kakak bilang, itu tandanya kamu gak sayang Kakak.”   “Sekarang Celine mau tanya, apa alasan Kakak larang Celine untuk dekat dan bersikap ramah ke Kak Dafa?” Ia hanya terdiam menatapku.   “Kak.. Kak Dafa itu gak salah apa-apa. Bukannya kalian juga dulu adalah teman baik? Kesalahan apa yang Kak Dafa lakuin sampai Kakak benci dan ngejauhin dia?”   “Ya udah. Sekarang terserah kamu mau dekat sama dia atau enggak. Mau jadi adiknya dia pun silakan.” Balasnya sambil kembali sibuk menatap layar handphonenya. Beberapa lama kemudian, kami sampai di depan gerbang sekolah Kak Alice. Ia pun langsung keluar begitu saja tanpa berpamitan kepadaku seperti biasanya. Setelah berhasil keluar, Pak Burhan pun kembali melanjutkan perjalanan ke sekolahku yang letaknya memang agak sedikit lebih jauh dari sekolah Kak Alice.   “Yang sabar ya, Non Celine. Pasti sangat sulit untuk Non Alice bisa terima kehadiran laki-laki lagi di hidupnya. Memang semenjak kejadian itu, jangkan untuk dekat dengan laki-laki yang suka sama Non Alice. Berteman sama anak laki-laki aja Non Alice sudah tidak mau.” Ucap Pak Burhan sambil menatapku melalui kaca spion belakang. Pak Burhan sudah bekerja untuk keluargaku sejak Mama dan Papa baru beberapa minggu resmi menjadi pasangan suami istri. Begitu juga dengan Bi Lastri. Mereka berdua adalah sepasang suami istri yang dulu dikenalkan oleh supir keluarga Kakekku (Ayah dari Mama). Jadi, tentu saja Pak Burhan juga tahu soal kejadian itu. Meskipun pada saat kejadian, ia tidak berada di sana karena sedang mengantarku dan Mama menuju rumah Nenek. Pak Burhan pernah berkata bahwa ia tidak percaya jika Papa adalah orang yang demikian. Karena ia sangat tahu betul kepribadian Papa seperti apa. Tapi, karena Kak Alice telah melihat kejadian tersebut dengan mata kepalanya sendiri, hal itu membuat Pak Burhan dengan terpaksa harus mempercayainya.   “Celine gak tau rasanya jadi Kak Alice yang melihat Papa berselingkuh dengan wanita lain di depan matanya sendiri. Tapi, apa harus Kak Alice terus menerus bersikap seperti itu pada semua laki-laki?” Seperti yang aku katakan. Semenjak kejadian itu, Kak Alice membenci dan berhenti percaya pada semua laki-laki di hidupnya. Kecuali, Pak Burhan. Karena ia tahu Pak Burhan tidak salah dan tidak ada alasan baginya untuk membenci Pria yang umurnya 20 tahun lebih tua dari Papa itu. Bukankah seharusnya Kak Alice juga menerapkan hal yang sama kepada laki-laki lain? Bukankah laki-laki lain pun tidak bersalah dan tidak berhak untuk ia benci juga?   “Seharusnya ya tidak. Cuma mungkin semuanya masih begitu berat bagi Non Alice.”   “Pak..? Celine kangen Papa. Entah kenapa, meskipun Celine tau kalau Papa sudah mengkhianati Celine, Mama dan Kak Alice. Celine tetap sayang dan sudah memaafkan Papa. Bahkan jika Papa mau kembali, Celine tetap akan membuka pintu lebar-lebar untuknya. Biar bagaimana pun, Papa itu tetap Papa Celine, kan?”   “Iya, Non. Papa tetap dan akan selalu jadi Papanya Non Celine. Dan Pak Burhan yakin kalau Papa pun sayang banget sama Non Celine, Non Alice dan juga Mama.”   “Tapiiii, kalau Papa beneran sayang sama kami. Kenapa Papa mengkhianati kami dan membuat Mama sedih?” Aku menatap Pak Burhan melalui kaca spion belakang. Terlihat ia hanya tersenyum tipis sambil menghela napas.   “Non Celine beneran kangen sama Papa?” Aku mengangguk.   “Mau Bapak antar ketemu Papa?”   “Mau banget, Pak! Memangnya Bapak tau sekarang Papa di mana?”   “Nggak. Cuma, beberapa hari yang lalu, Bapak gak sengaja lihat orang yang persis sekali seperti Papanya Non Celine. Dia masuk ke dalam mobil, dan Bapak ikuti mobil itu. Sampai akhirnya mobil itu berhenti dan masuk ke dalam sebuah rumah yang tidak terlalu besar.”   “Bapak yakin itu Papa Celine?”   “Yakin 100%. Bapak tau betul perawakan Papanya Non Celine.”   “Ya udah. Nanti sepulang sekolah langsung antar Celine ke sana ya, Pak.”   “Siap, Non. Eeehh, tapi.. kan sekarang hari kerja. Biasanya orang kantoran itu pulang kerja jam 4 sore. Non Celine kan pulang sekolahnya jam 1 siang. Kalau pun kita ke sana pasti Papanya Non belum pulang.”   “Hmm, iya juga ya. Kita ke sananya pas hari libur saja, Non.”   “Ide bagus! Tapi jangan bilang ke Mama sama Kak Alice soal rencana kita ini ya, Pak.”   “Siap, Non.” Pak Burhan dan Bi Lastri, mereka sudah dianggap seperti keluarga sendiri oleh keluargaku. Umur pernikahan mereka yang telah berjalan puluhan tahun, belum juga dikaruniai seorang anak. Itu membuat mereka menganggap aku dan Kak Alice seperti anaknya sendiri. Dan mereka juga begitu peduli dan sangat menyayangi kami.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD