Tanpa terasa, kami telah sampai di depan gerbang sekolahku. Pak Burhan menghentikan laju kendaraannya dan mempersilakanku untuk turun.
“Terima kasih ya, Pak Burhan. Hati-hati di jalan.” ucapku sambil melangkah keluar dari mobil.
“Sama-sama, Non. Belajar yang rajin yaa!” balas Pak Burhan tersenyum.
“Siap, Pak.”
Pak Burhan kembali melanjutkan perjalanannya, sementara aku berjalan masuk ke area sekolah.
Setelah mengambil beberapa langkah, tiba-tiba dari arah yang sama, Keenan berjalan begitu saja melewatiku.
“Eh? Keenan?”
Tanpa menoleh, Keenan tetap melangkah seperti tidak mendengar jika ada orang yang menyapanya.
“Wah udah gila tuh anak. Ada cewek secantik ini nyapa dianggurin.” gerutuku pelan.
Aku pun segera mempercepat langkah untuk menyusulnya.
“Hai. Selamat pagi.”
“Aduh kok gue merinding, ya?” Ia mencoba mengelus tengkuknya.
“Hei, halloooo! Celine di siniiii.”
“Kan, makin merinding. Wah masih pagi kok udah ada aura negatif gini, ya?”
Ia mulai menoleh ke arahku yang berada persis di sebelahnya.
“Aaaaa.” teriak Keenan sambil pura-pura terkejut.
“Keenan, apa-apaan sih? Lebay tau, gak?!”
“Oh elo ternyata. Pantesan aja dari tadi gue merinding. Gue kira kuntilanak, gak taunya biangnya kuntilanak.”
Dengan wajah jengkel aku menginjak kakinya dengan penuh tenaga.
“Aduuuh.”
“Rasain tuh!”
Dengan perasaan puas serta nada tertawa yang jahat, aku pun berjalan meninggalkannya menuju ruang kelas lebih dulu.
“Hey tunggu! Gue kan bilangnya lo kuntilanak bukan samson.” teriaknya masih sambil meringis kesakitan.
Setelah berhasil menduduki kursi, tak lama kemudian Keenan pun berjalan masuk ke dalam kelas dengan wajahnya yang masih menahan sakit.
“Kenapa lo, Bro? Kok meringis gitu. Abis ketiban durian runtuh?” tanya Adit yang sedang berbincang bersama Beni di depan kelas.
“Abis diinjek kuntilanak!” jawab Keenan dengan ketus sambil melirik ke arahku dan terus melangkah menuju kursinya.
“Lah? Emangnya kuntilanak bisa nginjek orang, Dit?” tanya Beni heran.
“Ya mana gue tau. Lo tanya aja sama si Keenan gimana kronologinya. Kan dia yang abis berurusan sama kuntilanak.”
Mereka berdua pun mengikuti Keenan yang terus berjalan menuju kursinya dengan sedikit pincang.
‘Perasaan gue nginjeknya masih pake hati deh. Apa emang sesakit itu ya?’ batinku dalam hati.
Waktu berlalu tanpa terasa. Bel istirahat telah berbunyi. Semua anak di kelas mulai beranjak dari kursinya masing-masing untuk pergi menuju kantin.
“Cel, ayo ke kantin.” ajak Adel dan juga Merry yang sudah terlihat sangat lapar.
“Kalian duluan aja, ya? Nanti gue nyusul.”
“Lo mau ke mana emangnya?” tanya Merry.
“Mau ke UKS. Sebentar doang, kok.”
“Mau apa ke UKS? Lo sakit?”
“Nggak, cuma ada perlu aja sebentar. Udah kalian duluan aja, gak apa-apa kok.”
“Oke deh. Kita duluan ya, Cel.”
Lambaian tangan mereka mengakhiri percakapan kami.
Ruang kelas telah sepi, di mana seluruh murid pergi ke kantin sementara aku melangkahkan kaki menuju UKS.
“Hmm, pakai apa ya buat ngobatin kakinya Keenan?”
Sudah mengobrak-abrik dua kotak obat, aku masih belum menemukan sesuatu yang dapat digunakan untuk mengobatin kaki Keenan.
“Kakinya memar nggak ya? Ah tapi kayaknya gak mungkin deh, gue kan nginjeknya pelan.”
Masih sibuk menggeledah, aku mencoba mencari seseorang untuk kutanyakan soal obat apa yang harus aku ambil. Tapi, ruangan UKS kosong, hanya aku satu-satunya orang yang berada di ruangan ini.
“Uh, ini kan jam istirahat, jelas saja kalau gak ada orang di sini.”
Sudah hampir 15 menit, aku masih belum menemukan obat yang kubutuhkan. Aku memutuskan untuk melangkah keluar dan pergi menuju kantin, karena pasti Merry dan Adel sudah menungguku lama di sana.
Ketika hendak membalikan badan, tanpa sengaja tubuhku menabrak sebuah meja.
*Braaak*
“Aww.. aduh sakit.”
Bagian pinggulku tepat sekali menabrak ujung meja tersebut. Terlihat sebuah botol pelastik dengan ukuran yang tidak terlalu besar jatuh dari meja tersebut.
“Ah, minyak oles! Ini dia yang gue butuhin untuk obatin kakinya Keenan.”
Aku memungut botol minyak tersebut lalu memasukannya ke dalam saku dan berjalan keluar menuju kantin sambil memegang pinggul dengan wajah yang meringis kesakitan.
“Dari mana sih, Cel? Lama banget, katanya cuma ke UKS sebentar?” tanya Merry yang sedang asyik mengunyah jajanannya.
“Maaf ya lama, obatnya gak ketemu-ketemu soalnya.”
“Memangnya obat apa? Lo sakit apa?” sambung Adel bertanya.
“Emm, itu.. Gue.. Ah, ini, pinggang gue sakit gara-gara kebentur meja di kelas tadi pagi.”
“Ya ampun, ada-ada aja. Tapi sekarang obatnya udah ketemu?” tanyanya lagi.
“Udah kok, Del.”
“Ya udah, cepet sana pesan makan, nanti keburu masuk. Abis itu buru-buru deh obatin pinggang lo.”
“Iya, Adelkuuu. Uh, perhatian banget sih.”
Merry dan Adel hanya tertawa menatapku dengan tatapan jijiknya.
Seusai makan, kami pun beranjak dari kantin untuk kembali ke kelas.
“Guys, kalian duluan aja ya ke kelasnya.”
“Mau ke mana lagi?” tanya Adel.
“Mau obatin pinggang, kayaknya memar.”
“Lo yakin bisa ngobatinnya sendiri? Butuh bantuan kita berdua nggak?” Kali ini, Merry yang bertanya.
“Yakin. Gampang kok diraihnya. Kalian balik duluan aja.”
“Ya udah deh. Kalau susah, panggil kita aja ya, Cel.” ucap Merry.
“Oke, Guys.”
Tepat setelah mereka pergi. Keenan, Adit dan juga Beni berjalan dari arah belakangku.
“Eeeee.. Keenan.. Keenan.. tunggu-tunggu.”
“Apa? Lo mau apalagi? Kurang puas nginjek kaki kiri gue? Mau injek yang sebelahnya lagi?”
“Apaan, sih? Galak banget jadi orang. Lo gak bisa ya bersikap manis sedikit sama gue?”
“Bersikap manis? Sama lo? Kelakuan lo aja kayak gitu, mana bisa gue bersikap manis ke lo.”
“Berisik! Udah sini ikut gue.” Aku menarik lengan seragamnya untuk ikut ke arah ke mana aku melangkah.
“Apaan sih Cel? Lo mau bawa gue ke mana?” tanya Keenan selama aku menarik tangannya menuju ruang UKS.
“Oh, jadi ternyata itu kuntilanaknya, Dit.” ujar Beni pada Adit. Setelah itu, mereka berdua pun tertawa ke arahku yang tengah menyeret Keenan dan memaksanya untuk ikut.
Sesampainya di depan ruang UKS. Masih dalam kondisi menarik lengan seragamnya, aku memaksanya untuk masuk ke dalam.
“Lo mau apa sih bawa gue ke sini?!”
Aku melepaskan lengan seragamnya, kupegang kedua bahunya dan kuarahkan ia untuk duduk di ranjang yang telah tersedia di ruang UKS ini.
“Eeee.. Lo mau ngapain?! Jangan macem-macem. Gue teriak, nih?!” ujar Keenan.
“Gila kali ya! Makanya punya pikiran tuh yang jernih. Siapa juga yang mau ngapa-ngapain lo.”
“Ya terus lo mau ngapain seret gue ke sini?”
“Udah diem aja kenapa sih? Berisik banget, heran.”
Sambil meraih botol itu dari dalam saku, aku mencoba untuk duduk bersimpuh di hadapannya yang telah duduk di atas ranjang. Kubuka tali sepatunya perlahan. Setelah sepatu dan kaos kakinya berhasil terlepas, aku mulai mengocok botol minyak oles itu sebelum mengoleskan ke punggung kaki kirinya.
“Eeee.. Lo mau ngapain?! Kaki gue mau lo kasih apaan?!”
“Ya obatin kaki lo lah! Ini namanya minyak oles.”
Perlahan, aku mulai menuangkan minyak tersebut ke punggung kakinya dan memijatnya dengan hati-hati.
“Kok gak teriak? Padahal tadi pagi keliatannya sakit, lo bohong ya? Bilang aja lo cuma cari perhatian ke gue, ya kan?”
Keenan mendengus, “Pede banget lo. Tadi emang sakit, tapi sekarang udah mendingan.”
“Ya udah, gue minta maaf deh kalau tadi nginjeknya terlalu bersemangat.”
“Hhh.” tawa singkatnya meledek. “Berarti kalau gue gak kesakitan, lo gak akan minta maaf?” lanjut Keenan.
“Nggak. Buat apa gue minta maaf? Lo aja setiap gangguin gue gak pernah tuh yang namanya minta maaf.”
“Tapi kan gue gak pernah injek kaki lo.”
“Ya udah, nih. Injek sekarang.” Aku langsung menyodorkan kaki ke arahnya. “Buru.” lanjutku.
“Udah deh jangan berisik. Cepat pijet lagi, keburu bel masuk bunyi.”
“Makanya jangan bawel!”
“Nah, iya, itu di bagian situ.”
Aku mulai mengikuti apa yang ia arahkan.
“Lagi.. di sebelahnya. Ah, bukan.. bukan.. Agak ke kanan dikit. Naaah, atasan lagi.”
Tanganku terus meraba punggung hingga pergelangan kakinya sesuai apa yang ia arahkan.
“Bukan di situ. Ke bawahan lagi dikit. Ih, bukan. Atasnya lagi.”
Karena merasa sedang dipermainkan, aku meremas kakinya dengan sekuat tenaga.
“Aduuh.. sakit tau.” Keenan mulai kembali meringis.
“Pijet sendiri sama lo biar puas!”
Aku melempar botol minyak tersebut ke arahnya lalu melangkah pergi keluar dari UKS.
“Hei, Celine.. tunggu! Lo belum pasangin sepatu gue lagi!”
“Pasang sendiri!” teriakku dari luar sambil terus berjalan menuju ruang kelas.
Bel masuk berbunyi, semua anak di kelas mulai kembali ke tempat duduknya masing-masing, begitu juga Keenan yang baru saja kembali dari ruang UKS.
“Lah, itu si Keenan abis dari mana? Bukannya tadi sama lo, Cel?” tanya Adit yang semula asyik mengobrol dengan Beni dari tempat duduknya.
“Abis dari UKS.”
“Kalian abis dari UKS? Ngapain?”
“Ngobatin kakinya dia yang abis gue injek.”
“Jadi, kakinya abis beneran kena injek?”
“Iya, abisnya temen lo yang satu itu nyebelin tau gak?!”
“Hati-hati loh, Cel. Nanti bisa aja lo bakalan suka sama Keenan. Biasanya awal mula cinta itu tumbuh karena sebel-sebelan.”
“Kayaknya elo deh yang harusnya hati-hati, Dit.”
“Loh, hati-hati kenapa?” Adit mulai menatapku bingung.
“Nanti lo bisa jatuh cinta sama Merry kalo berantem terus sama dia.”
“Gue mah berantem juga karena dia duluan yang mulai. Jadi, paling nanti suatu saat dia yang bakalan jatuh cinta sama gue.” sahutnya tertawa dengan penuh rasa percaya diri.
“Gila sih. Kalo Merry denger ini, dia pasti bakal jadi satu-satunya orang yang ketawa kenceng.”
“Loh? Bener kan? Keenan aja kalah ganteng sama gue.”
“Siapa yang bilang?”
“Gue lah, bahkan nyokap gue juga bilang kayak gitu. Sekarang gini deh, menurut lo di antara kita bertiga, siapa yang paling ganteng?”
Sambil menaruh tangan di dagu, aku mencoba untuk berpikir. “Gak ada deh, kayaknya. Malah lebih gantengan Pak Taryo.”
“Ah, selera lo gak bagus. Jelas-jelas semua orang di sini juga udah tau kalo gue murid paling ganteng di kelas.”
“Iya, terserah lo aja deh, yang penting lo seneng.”
“Nah gitu, dong.”
Tak lama kemudian, Guru pun masuk ke dalam kelas untuk memulai pelajaran.
Jika Adit tahu bahwa aku memang telah menyukai sahabatnya itu, dia pasti akan tertawa karena tak percaya. Keenan dengan sifatnya yang menyebalkan saja mampu membuatku menyukainya hingga seperti ini. Bayangkan jika Keenan tidak memiliki pribadi yang menyebalkan, mungkin saat ini aku sudah menurunkan gengsi untuk langsung menyatakan apa yang selama ini aku rasakan terhadapnya.
Bagaimana bisa Kak Alice begitu membenci laki-laki, apa dia tidak tahu jika jatuh cinta itu rasanya akan semembahagiakan ini? Mencintai secara sepihak saja sudah berhasil membuatku berbunga-bunga, apa jadinya kalau ternyata Keenan juga mempunyai perasaan yang sama.