Bypass Ibu

2582 Words
Erni bukannya tidak melihat keberadaan Asoka bersama dengan Hans dan Fano tetapi saat ini ada yang lebih penting daripada berkumpul dengan ketiga sahabatnya itu. Erni harus bertemu dengan pria yang menolongnya kemarin. Langkah Erni terhenti pada tempatnya biasa memarkir motor buntutnya. Benda itu tidak ada di tempatnya, Erni tertegun sembari mengingat-ingat bahwa dirinya sudah mengunci stang sejak datang tapi kini motor merah tersebut menghilang. Tidak ada jejaknya sama sekali padahal Erni memarkirkan di parkiran yang masih beralaskan tanah dan selalu di situ, di bawah pohon matoa. Motor 4 tak seperti miliknya selalu bergeser jika di parkir di bagian yang sudah berlantai konblok. Selalu ada yang memindah dan kali ini bend aitu malah menghilang. Sedikit panik karena hari ini ia harus ke rumah sakit, dia pun mengedarkan pandangan ke sekeliling yang mulai lengang. Sama sekali tidak ada jejak keberadan motornya. “Aduh, gimana ini?!” Erni menatap gelisah seraya menggigit bibirnya. Rasa hati ingin berbalik menuju para sahabat yang pasti tidak akan sungkan memberikan bantuan tetapi jelas hal itu tidak mungkin dilakukan saat ini. Eriska muncul dari balik koridor toilet dan segera menghampiri Erni. “Kenapa masih di sini?” Erni berbalik dengan mata memerah, harinya sudah cukup melelahkan bangun pagi hanya dengan durasi tidur satu jam dan segera legalisir supaya bisa mencari pekerjaan. Pekerjaan lamanya terpaksa dia hentikan karena sang bunda yang sakit-sakitan. Sekarang harus menghadapi pacar Asoka yang sangat pencemburu dan sejak hari pertama sudah menyuruh menjauhi sahabatnya itu. “Kamu nggak dengar ya? Kenapa masih di sini? Mau ketemu Asoka?” Erni memejamkan mata yang terasa perih dan menghela napas panjang. Sungguh malas berkonfrontasi dengan Eriska yang angkuh. “Kamu b***k!” gertak Eriska seraya mencengkram lengan kiri Erni lalu menyentaknya kasar. “Aku sedang mencari motorku yang menghilang. Apa kamu tidak lihat,” balas Erni sengit, kekesalannya pun tersulut sebab perlakukan Eriska. Eriska tersenyum mengejek. “Motor busuk gitu aja dicari. Bukannya kamu, lagi buru-buru ke rumah sakit?” “Dari mana kamu tahu?” tanya Erni yang keheranan. Pasalnya tidak yang tahu tentang keadaan keluarganya, bahkan para sahabatnya. Kecuali satu orang pria yang dia temui di IGD kemarin. Eriska menggeleng. “Dari mana aku tahu, tidak lah penting. Kamu, lagi butuh uang banyak buat operasi bypass jantung ibumu ‘kan?” Rasa sesak dan khawatir menyerbu, banyak pertanyaan mengendap sekaligus rasa penasaran bagaimana bisa wanita di depannya ini bisa tahu. “Apa maumu?” “Aku akan membantumu, 200 juta cukup?” Erni terdiam lagi, meneliti apakah Eriska berbohong kepadanya. Erni sebetulnya tidak yakin jika Eriska memiliki uang sebanyak itu, kehidupan ekonomi mereka tidak jauh berbeda. “Bisu benar, kamu lama-lama. Cepat jawab!” kesal Eriska. “Mau apa kamu membantuku?” Erni sangat yakin ada sesuatu yang diinginkan Eriska darinya. Eriska tersenyum sinis. “Kamu nggak tanya dulu aku dapat uangnya dari mana?” “Jangan mengejekku, Riska. Hanya karena kamu berpacaran dengan Asoka, lantas kamu bisa berbuat semaumu. Melarangku dekat, padahal kami sudah bersahabat sejak sekolah, aku sudah turuti. Lalu kamu memusuhiku tanpa sebab. Jadi … apa maumu sebenarnya?” Eriska mengikis jarak semakin merapat lantas kembali tersenyum dengan mimik wajah angkuh, mengesalkan. “Tentu saja menjauhkanmu dari Asoka.” Erni menggeleng tidak paham dengan wanita aneh di depannya ini. “Apa maumu sebenarnya. Jika hanya dengan alasan itu saja aku tidak akan begitu saja menjauhi Asoka. Kami sudah bersahabat sejak dulu.” “Karena aku tahu kamu menyukainya. Asoka hanya milikku, kamu harus pahami hal itu. Sadar diri lebih tepatnya.” “Kamu, berpikir terlalu jauh. Sekarang katakan bagaimana caranya kamu akan membantuku mendapatkan biaya untuk operasi ibu?” Eriska menghela napas panjang tak sabaran. “Kamu nggak perlu tahu, yang terpenting kamu janji untuk tidak muncul di acara Asoka.” “Aku ….” * Malam sebelumnya. Sift malam sudah berakhir setelah menyelesaikan pengepelan di ruang makan Flamboyan, Erni segera melepas clemek dan meraih jaket serta tas slempannya. Saat yang bersamaan ponselnya berdering. “Halo,” sapanya pada nomor yang diketahui milik salah seorang tetangganya. “Ibumu dibawa Bapak ke rumah sakit. Cepat menyusul sana.” “Ibu?” “Iya. Cepetan gih, tadi jatuh di kamar mandi luar.” “Iya Kak, makasih.” Tanpa menunggu lama, ia pun bergegas berlari menuju lantai 3 ruang pribadi untuk menemui sang bos. “Pak saya harus ke rumah sakit sekarang. Bisa saya minta gaji saya lebih dulu?” Pria tambun yang duduk di depannya segera berdiri dan berjalan ke meja kasir membuka laci dan menyerahkan uang satu juta kepada Erni. Erni menatap uang itu, dari tenmpatnya berdiri saja bisa menghitung lembar demi lembar dalam genggaman sang bos dan mengerutkan dahinya. “Bukannya dua juta, Pak?” Gaji Erni selama sebulan diluar uang makan dan lemburan sebanyak dua juta. Oleh sebab itu dia menginginkan semua, paling tidak bisa untuk ongkos di rumah sakit sekalian dia berusaha untuk menjual barang lainnya yang ada di rumah. Dia sadar kemalangan malam ini yang menimpa sang bunda akan berakibat fatal. Perasaan tidak enak lebih dari biasanya mendera dan bercokol semakin hebat membuat rasa panik yang meningkat tetapi berusaha dia redam tak ingin menunjukkan pada pria m***m di depannya yang pasti akan memanfaatkan situasi dan Erni bisa untuk pada keinginan orang itu. “Kalau mau segini dulu, ini belum habis bulan nanti uangmu sudah habis duluan. Aku nggak mau ada yang berhutang lagi atau kamu bisa membayar dengan cara lain,” ujar pria tambun dengan tatapan tidak senonoh itu. Benar bukan, Erni menelan saliva kasar menatap seringai m***m sang bos lalu dia mengerjabkan mata yang sudah mulai perih menahan tangis dan kecewa pada bosnya itu. Bisa-bisanya pria itu masih berpikir bisa melecehkannya hanya karena uang. Beginilah derita wanita miskin dan putus asa. Benarkah dia tampak seputus asa itu. “Ya sudah, kalau memang tidak bisa. Anggap saja saya sedekah buat Bapak. Saya keluar dari sini.” Jelas Erni tidak ingin mendapatkan pelecehan dari pria itu. Harga dirinya yan paling berharga hanya untuk pria terkasih, belahan jiwanya yang akan menemaninya sampai ajal menjemput. Sang teman hidup. Pria itu lantas berdiri dan menggeram, marah. “Enak saja kamu mau keluar begitu saja, kamu baru kerja 3 bulan di sini dan sudah mau keluar. Kontrak kerjamu selama 1 tahun!” Pria itu sebenarnya marah bukan karena Erni yang meminta untuk keluar dari pekerjaannya tetapi karena wanita muda itu cepat menyerah dan tidak menanggapi rayuannya. Dia sangat berharap Erni akan mendesak tentang uang tersebut dan pada akhirnya menerima penawarannya. Tidak dipungkiri jika dirinya tertarik dengan Erni yang muda dan molek. Dadanya yang montok dan seolah mengundang untuk mendapatkan remasan sangat menggoda iman. Sudah tidak sabar rasanya menyusupkan wajah pada bongkahan padat yang pasti harum dan menyenangkan itu. Erni terperangah tidak percaya sang bos malah semarah itu. Tanpa membuang waktu dan menunggu sampai sang bos keluar dari balik meja kerjanya. Erni segera berbalik badan dan berlari keluar dari sana. Dia pun tidak menghiraukan teriakan panggilan serta sumpah serapah dari pria itu. Dengan napas terengah-engah setelah berlari cukup jauh dia pun sampai di depan IGD rumah sakit tempat sang bunda di rawat. Kebetulan jaraknya tidak sampai 2 km dari tempat kerjanya. Erni menyeka keringat yang mengucur di malam yang lumayan gerah ini. Cuaca kemarau panjang membuat suhu udara tak bersahabat dan membuat orang lebih mudah lelah. Dari undakan menuju pintu IGD, dia sudah bisa melihat Pak Tono dan sang istri berada di bangku tunggu. “Pak, Bu … bagaimana keadaan Ibu saya?” tanya Erni tanpa membuang waktu. “Masih diperiksa,” jawab Pak Tono. “Sepertinya serangan jantung. Bukannya Witun seharusnya sudah dioperasi?” tambah sang istri. Erni menghela napas panjang seraya duduk menghadap suami-istri tersebut. “Erni belum ada uang, Bu. Waktu ini rumah sudah ada yang nawar tapi harganya jauh banget.” “Susah memang, mau jual rumah di bantaran Sungai begitu. Apalagi kalau hujan datang, banjir pasti,” balas Pak Tono. “Itulah Pak, saya bingung.” “Coba Bapakmu nggak pergi, Ni. Nggak sengsara hidupmu,” tukas Bu Tono. Erni menunduk tak tahu lagi harus menjawab apa, sebab dirinya pun tak tahu pasti kenapa sang ayah yang berpamitan untuk bekerja di luar kota tidak pernah kembali lagi sejak 10 tahun yang lalu. Erni ditinggalkan hanya berdua dengan sang bunda sementara ketiga saudaranya yang lain juga memilih kabur karena sudah tidak tahan hidup dalam garis kemiskinan. “Keluarga Nyonya Witun!” Seorang Perawat muncul dari balik pintu ruang tindakan 1. Erni dan kedua orang dewasa lainnya segera menoleh dan bergegas menemui sang perawat. “Saya anaknya, Mbak Suster. Ibu bagaimana?” “Mari masuk. Dokter akan menjelaskan di dalam.” Erni menatap kedua tetangganya itu dan setelah keduanya mengangguk dia pun mengikuti perawat itu ke dalam. Erni berhadapan dengan Dokter spesialis yang sudah dia kenal. Ibunya memang sudah mengidap penyakit jantung sejak sang ayah tidak pernah terdengar kabar beritanya lagi ditambah tekanan darah tinggi dan penyakit lainnya. “Bagaimana dengan keadaan Ibu?” tanya Erni begitu pantatnya menyentuh bantalan kursi berhadapan dengan Dokter Ibnu. Dokter menatap teduh dengan raut tenang dan berkata, “Kamu sudah tahu ‘kan, kalau ibumu harus cepat dioperasi. Kita sudah tidak bisa menunda lagi. Kalau sampai jatuh pingsan lagi tanpa ada yang mengetahui semuanya bisa terlambat. Maaf, tapi Bapak nggak bisa menghiburmu lagi. Apakah BPJS sudah kamu urus?” Erni tertegun dan menunduk seraya menggeleng. “Kenapa?” tanya Dokter Ibnu. “Apa kamu nggak kasihan sama Ibu?” “Ibu yang nggak kasih izin.” “Lah, terus bagaimana ini? Ini demi nyawa ibumu, loh. Memangnya kamu nggak bisa cari biaya di mana gitu?” Erni menegakkan kepala menatap nanar pada Dokter yang sekaligus tetangganya itu. “Erni nggak tahu lagi harus bagaimana. Rumah juga belum laku-laku. Barang-barang juga nggak ada yang bisa dijual. Hanya motor itu saja, tapi kalau nanti dijual kami repot ke mana-mana.” “Repot juga kalau gini. Tapi yah, gimana caranya kamu harus bisa dapat jalan ya. Saya tunggu info secepatnya.” Erni berjalan lunglai keluar ruangan dan duduk lemas di kursi tunggu. Sementara kedua tetangganya yang lain kini mengikuti ranjang sang bunda yang dipindahkan ke ruang perawatan. “Di mana dapat duit sebanyak itu?” gumamnya lirih. Erni memang memiliki uang sebanyak lima puluh juta tetapi dengan uang segitu tentu saja tidak bisa menutup semua biaya perawatan dan operasi dan lain sebagainya. Sekarang saja sudah berkurang untuk mengurus administrasi masuk bangsal. Kepalanya yang sedari tadi menunduk menghindari tatapan kasihan dari orang-orang berlalu-lalang kemudian mendongak begitu melihat ada sepasang kaki dengan sepatu yang jelas mahal dan tidak dia kenali berada di depannya. Erni pun tertegun dan menyandarkan punggung yang baru terasa lelah pada sandaran kursi besi dingin itu. Dia menatap penuh tanda tanya pada pria tampan berambut ikal dan berkacamata di hadapannya saat ini yang tersenyum tipis kepadanya. “Mas, siapa ya?” tanyanya karena pria itu hanya diam menatapnya. “Aku melihatmu dari tadi seperti orang bingung,” ujar pria itu yang kini duduk di kursi yang saat awal tadi Erni duduk di sana. “Saya rasa banyak orang bingung dan susah kalau ada kerabatnya masuk IGD.” Pria itu hanya tersenyum. “Boleh tahu, apa yang menganggumu sampai terdiam di sini dan tidak ikut ke ruang inap ibumu.” Erni tertegun tak percaya jika ada yang memperhatikan. Dia sendiri saja bingung, kenapa memilih tetap di sini daripada ikut ke ruang rawat inap sang bunda. Erni menatap lekat sang pria asing itu, ada keraguan di dalam hati untuk mengutarakan masalahnya. Tentu saja tidak mudah bukan, apalagi Erni sama sekali tidak kenal pria yang jelas bukan dari kalangan seperti dirinya itu. Semua yang ada pada diri pria itu meneriakkan kata mahal! Pria itu tersenyum lebih lebar kali ini. “Aku bisa membantumu, kamu mau?” Erni mengerjapkan matanya tak percaya dengan apa yang didengar, hari gini ada yang mau menolong secara cuma-cuma? Bukan, bukan kelegaan yang dirasakannya tetapi waspada. Dia yang tadi hampir saja mendapat pelecehan dari sang bos kini malah ditawari oleh orang yang sama sekali asing. Sungguh sesuatu yang masih tidak bisa dia pikirkan akan didapatkan dengan mudah. Ah, orang ini pasti bohong. Dia pasti akan menawariku yang tidak-tidak. “Bagaimana kamu mau?” tanya pria tampan itu lagi. “Apa imbalannya?” Pria itu tersenyum dan mengulurkan tangannya. “Oh ya, kenalan dulu. Aku Setya. Kamu Erni ‘kan?” * Erni menghentikan ucapannya begitu pria yang ditemui di IGD berdiri di belakang Eriska. “Mas Setya … kok, bisa ada di sini?” Erni menatap antara Eriska dan pemuda yang dipanggil Setya itu bergantian dan mendapati bahwa keduanya saling kenal. “Aku yang bilang pada Eriska kalau ibumu di rumah sakit,” ujar Setya seraya tersenyum ramah. Erni menatap wanita itu mencari kebenaran dan Eriska mengangguk. Erni tidak langsung percaya begitu saja. “Bagaimana kalian saling kenal?” “Kami masih bersaudara. Biasa ‘kan, kalau kami saling cerita. Apalagi melihat wajahmu yang sangat kacau kemarin.” Sekarang Erni baru paham dengan maksud imbalan dari Setya kemarin adalah permintaan Eriska ini, rupanya. Hanya karena keinginan untuknya menjauhi Asoka. Meski terdengar terlalu berlebihan dan konyol tetapi namanya orang cinta menjauhkan batu sandungan adalah hal yang biasa bukan. “Jadi bagaimana, kamu setuju? Jika iya, Mas Setya akan mengantarmu ke rumah sakit hari ini,” ujar Eriska dengan wajah ceria seolah sangat perhatian pada Erni tidak seperti raut wajahnya tadi. Erni pada akhirnya mengangguk setelah melirik pada ponselnya yang berdering dengan nama Pak Tono tertera di layar. Dia tahu, tak bisa menunda mengambil keputusan untuk sang bunda. Lagi pula menjauhi Asoka tidak terlalu sulit bukan, paling tidak begitu pikirnya demi menghibur diri sendiri. Eriska mengulurkan sebuah helm hitam mengkilap kepada Erni. “Cepat pergi.” “Bagaimana dengan motorku?” tanya Erni dengan perasaan tidak rela dan resah karena benda berharganya itu belum ketemu. “Sudahlah, dengan uang itu juga kamu bisa beli motor baru! Cepat pergi!” Setya dengan motor sport mewahnya kini sudah berada di depan Erni. “Ayo naik, aku yang akan membereskan administrasi operasi dan rawat inap ibumu.” * Operasi Nyonya Witun berjalan lancar. Erni yang kelelahan kini tidur di sofa di kamar perawatan kelas 1 yang sengaja dipilihkan oleh Setya. Sejujurnya Erni merasa syarat yang diberikan oleh Eriska dan uang sebanyak itu sebagai imbalan memang terlalu berlebihan tetapi saat ini Erni tidak punya cukup energi untuk memikirkan apa yang direncanakan pacar aneh Asoka itu, yang terpenting saat ini adalah kesehatan sang bunda. Nyony Witun membuka mata dan memanggil Erni yang melamun menatap langit ruangan. “Ni, Erni ….” Erni berbegas bangun dengan sedikit terhuyung mendekati ranjang sang bunda. “Ya Bu?” “Dari mana kamu dapat uang operasi Ibu?” “Itu … Erni pinjam, Bu.” “Pinjam siapa? Bagaimana bisa cepat? Bukannya harus antri 2 bulan?” “Ada teman Erni yang bantu.” “Siapa, Asoka? Ni, Erni sudah berapa kali Ibu bilang jangan merepotkan orang lain. Nanti kamu dikira memanfaatkan keluarga Ekadanta. Ingat kita ini miskin tapi kita punya harga diri.” Erni mengangguk. “Iya Bu, Erni tahu. Tapi benar kok, uang operasi Ibu bukan dari keluarganya Asoka.” “Lalu dari mana kamu dapat? Jangan bilang kamu menjual diri?!” Erni cepat menggeleng. Dia pun sejujurnya bingung dan sungkan bagaimana cara memberitahu sang bunda sementara memang apa yang terjadi terlalu lebai menurut dirinya sendiri. Erni pun masih berpikir mencari cara untuk mengembalikan uang tersebut. “Dari mana, Erni!” “Anu, Bu. Itu ….” Saat yang bersamaan pintu terbuka dan muncul Setya di depan ambang pintu. Seketika Erni dan juga Ibunya menoleh ke arah sana. “Kamu …” ucap Nyonya Witun yang terkejut. bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD