3. Jika aku tidak bisa memilikimu, maka miliki aku!

1232 Words
POV Dewi Wildan berdiri menatapku yang masih terbaring di kasur. Tatapan matanya membuatku terpaku, hati dan pikiranku terisi penuh oleh Wildan. Aku gugup bukan main dengan apa yang akan ia lakukan selanjutnya. Benar saja, perlahan Wildan naik ke atas tempat tidur dan mulai merangkak di atas tubuhku. Debaran jantungku semakin tidak karuan. Napasku mulai menderu kencang dan sentuhan Wildan perlahan membelai wajahku. Aku gugup setengah mati. "Tu-tunggu!" "Kenapa?" tanya Wildan dengan tangannya yang kini sudah berada di pinggangku. "Hmmm.. kamu kaget aku menyiapkan kamar pengantin kita seperti ini?" tanya Wildan padaku dengan senyumannya yang semakin penuh makna. "I-itu ..." Sejujurnya aku memang penasaran. Sejak awal aku saja tidak mengerti bagaimana bisa kamar pengantin kami tiba-tiba sudah penuh dengan kelopak bunga mawar di atas kasurnya, padahal kami saja menikah tanpa sebuah pesta dan para tamu undangan. Tapi, bukan itu yang membuat aku menghentikan Wildan saat ini. "Jangan gugup!" Wildan malah mendekatkan tubuhnya. Ia menyentuh tengkuk leherku. "Aaaah!!" jeritku kaget saat merasakan tangan Wildan yang dingin. Wildan terkejut menatapku. "Aku belum mulai, kamu udah menjerit aja!" ungkapnya padaku yang membuat wajahku semakin tersipu. "Bukan gitu, tu-tunggu!" Rasa gugup menjalar ke seluruh tubuhku, Wildan bagaikan tak mau mendengarkan aku meski aku memintanya untuk menunggu. Aku panik bukan main, pikiranku sudah lumpuh sejak beberapa saat yang lalu. Tapi, ada hal penting yang seharusnya aku tanyakan sejak awal. Sehingga aku, masih berusaha untuk menanyakan hal itu demi keegoisanku. "A-ada yang ingin aku tanyakan!" ucapku gugup padanya sambil menyanggah tubuh Wildan dengan kedua tanganku. Berharap dia akan memberikan jarak pada tubuhku yang sudah rapat, tepat berada di bawah tubuhnya. "Apaan? Kamu mau tanya apa?" Wildan terlihat kesal tapi aku benar-benar penasaran dan tidak tenang jika belum menanyakan hal tersebut padanya. Wajah kesalnya sedikit mengintimidasi ku. Aku takut jika menanyakannya akan semakin membuat amarahnya semakin besar. Akan tetapi, sepertinya Wildan menyadari ketakutan ku. Wildan pun merebahkan tubuhnya di sampingku dan kami menatap langit-langit kamar yang sama. Untuk sejenak suasana menjadi hening dan aku semakin sulit untuk bertanya. "Aku tau apa yang mau kamu tanya!" Tiba-tiba suara Wildan terdengar serius dan aku langsung menghadap ke arahnya. Menatap Wildan yang masih menatap langit-langit kamar. Aku rasa Wildan tau aku menatapnya, tapi ia memilih untuk tetap menatap ke langit-langit, menghindari pandangan kami agar tidak saling bertemu. "Kamu tenang aja. Kamu satu-satunya istriku, Dewi. Aku hanya akan menikah denganmu. Walau pernikahan kita juga belum resmi!" ungkap Wildan dengan suara parau. Aku mengerti arah pembicaraan kami. Aku sadar jika kali ini saja kami belum resmi mendaftarkan pernikahan kami ke catatan sipil. Tapi, apa yang Wildan katakan semakin membuat aku yakin jika ada sesuatu di antara mereka. "Apa gosip yang beredar di media itu benar?" tanyaku kemudian. Sebelumnya ada hal yang membuatku buta arah dan langsung mendatangi Wildan tepat saat aku menangkap basah Wildan dengan tubuhnya yang penuh dengan bekas kecupan dari wanita itu. Bekas yang bahkan saat ini masih terlihat dengan jelas. "Apa benar kamu tunangannya?" tanyaku lagi dengan suaraku yang sudah bergetar. Emosi yang sudah aku pendam dengan susah payah kini kembali membuncah. Lagi-lagi, aku teringat dengan berita yang aku dengar sekilas tersebut. Tentang dugaan pertunangan Wildan Finn Alaric dengan Alia Salvira Renjani. Pertunangan yang mendobrak perekonomian bagi PT. Alaric Land jika keduanya menikah. Media bahkan sudah menduga besarnya investasi dari PT. Renjani Prima pada PT. Alaric Land. Sebuah lahan pun ikut di bahas menjelaskan jika bisnis properti yang akan mereka garap juga bukan dalam skala kecil. Hatiku gundah untuk menerima jawaban dari Wildan. Aku tidak yakin akan kuat mendengar jawabannya. Sebab, sejak awal aku saja sudah yakin jika berita itu benar adanya. "Iya, dia tunanganku!" Tepat seperti dugaanku. Mereka memang memiliki hubungan khusus dan itu membuat hatiku semakin tidak karuan. Kenapa malam pertamaku dengan Wildan semakin terasa menyakitkan. Bekas merah kecupan itu saja masih membekas di tubuhnya dan kini aku harus mendengar pengakuannya tentang pertunangannya itu. Hatiku benar-benar terasa hancur. Aku mulai berpikir lagi tentang keputusanku yang menikahinya. Apa lagi, pernikahan ini saja tidak ia daftarkan secara resmi. Keheningan menjadi tembok penghalang kami. Wildan masih menatap langit-langit kamar dan aku mulai berbalik arah. Membelakanginya dengan punggungku, manahan napas agar aku tidak terisak. Namun, aku tak bisa menyembunyikannya. Air mata yang jatuh begitu saja seiring dengan isak tangis yang tak bisa lagi aku sembunyikan. "Dewi, aku sudah bilang, hanya kamu yang akan aku nikahi!" Dari belakang Wildan memeluk tubuhku. Tubuhku yang sudah gemetar hebat menahan segala hujaman yang sudah tak sanggup hatiku bendung. Aku tahu Wildan tidak akan mungkin bicara sembarangan. Apa yang ia katakan tentang pernikahan kami pasti sudah ia pikirkan dengan matang. Tapi, aku masih tidak mengerti dengan jalan pikiran Wildan. Tentang alasannya yang menikahi aku atau tentang dia yang bertunangan. "Apa kamu bisa melepaskan wanita itu?" tanyaku lagi dengan penuh harapan. Kali ini Wildan menarik tubuhku. Ia kembali membuat aku terlentang. Menarik daguku untuk bisa saling bertatapan dengannya. Tapi, aku menolak. Aku tak sanggup menatap matanya. Aku tak ingin dia melihat kesedihanku dan aku juga tak sanggup saat tatapan kami bertemu nanti dia malah terlihat biasa saja sedangkan aku penuh dengan rasa sakit yang menenggelamkan asaku. Wildan menyadari jika aku menghindarinya. Ia tidak memaksaku untuk menatapnya, namun Wildan menghapus air mataku. Ia mengusap lembut air mata yang sudah menetes itu. Tangannya terasa semakin dingin dari sebelumnya. "Apa kamu benar-benar tidak bisa melepaskannya?" Entah dengan mental seperti apa aku berani menanyakan itu lagi. Pertanyaan yang sedari tadi tak mendapat jawaban apapun dari Wildan. "Aku tidak bisa melepaskannya, tapi aku ingin memilikimu!" Apa yang Wildan katakan kembali membuatku tertampar. Ternyata Wildan tidak ingin melepaskan wanita itu, ternyata ia memang memiliki hubungan yang lebih dari sekadar apa yang aku dengar dari berita. Aku bertanya-tanya kenapa dia tidak lepaskan salah satu di antara kami atau alasan kenapa dia yang menginginkan kami berdua. Tapi, aku kembali menyadari. Jika saja Wildan justru memilih wanita itu dan membuangku. Apa yang akan terjadi padaku kelak. "Aku nggak mau kamu membuangku!" aku menyuarakan isi kepalaku. Mengungkapkan jika saja itu semua terjadi. Aku tak mau jadi pihak yang Wildan buang. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana hidupku tanpa Wildan. Aku tak sanggup jika harus melepas segala perasaan yang sudah aku pendam selama 13 tahun. Aku yakin jika dibandingkan wanita itu. Aku lebih dulu mencintainya. Aku yang lebih dulu mengenalnya dan aku yang lebih dulu bersama dengannya meski saat itu aku hanya sebagai sahabatnya. Dengan hati ketir yang sudah tak berwujud, aku pun menatap wajah Wildan dengan penuh keyakinan. Aku ingin mengetahui ekspresi seperti apa yang akan Wildan tunjukkan padaku saat mengatakan isi hatiku padanya. "Jika aku tidak bisa memilikimu, maka miliki aku!" Ungkapan hatiku bahkan terdengar samar olehku sendiri. Aku seolah menutup telinga, meyakini jika saja Wildan tak mau menanggapi apapun tentang isi hatiku. Tentang keberanianku yang memilih bersama dengannya meski terluka. Aku yang memilih berada di sisinya dari pada dibuang olehnya. Wildan hanya diam seperti dugaanku. Aku sedikit kecewa, tapi aku benar-benar hanya ingin berada di sisinya. Meski setengah hati. Setidaknya aku masih menempati setengah hatinya. Begitulah pikirku sampai Wildan mulai membuka suaranya. "Maaf, karena aku tak bisa sepenuhnya menjadi milikmu. Tapi, sungguh aku ingin memilikimu!" Seperti itulah yang Wildan katakan padaku. Aku meyakini jika itu adalah keputusan yang benar. Keputusan yang membuatku bertahan untuk berada di sisinya. Mengingat Wildan berulang kali mengatakan jika ia ingin memiliki aku. Akan tetapi, aku tidak tahu jika keadaan akan menjadi serumit ini. Saat wanita itu berdiri tegap di hadapanku dan Wildan. Saat ia menuntut Wildan untuk kembali memilih menceraikan aku dan menikah dengannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD