2. Apa yang paling kamu butuhkan kali ini? Cintaku atau tubuhku?

1224 Words
POV Dewi Aku pernah memimpikan sebuah pernikahan. Dimulai dari lamaran yang romantis hingga sebuah pesta sederhana bersama pasangan yang aku cintai. Aku juga sempat membayangkan bisa menikah dengan Wildan, tersipu malu dengan kisah manis kami selama ini. Tapi, aku sama sekali tidak menyangka jika lamaran pernikahan itu akan sangat menyakitkan seperti saat ini. Aku menatap pakaian Wildan yang sudah compang-camping. Menelisik tubuhnya yang penuh dengan bekas kecupan merah. Hembusan angin juga membuat aroma minyak wangi menyengat dari wanita itu semakin menusuk hidungku. Aroma yang tidak hanya menyesakkan hidungku tapi juga membuat hatiku jauh lebih sesak. Ingin rasanya aku bertanya sekali lagi tentang Wildan yang mencintaiku atau tidak. Namun, jangankan untuk menanyakan hal tersebut. Untuk membuka mulutku pun aku sudah tidak sanggup. Mataku menyisir bekas kecupan itu, membuatku menggigit keras ujung bibirku karena kesal. Dari tampilannya saja, sudah bisa dibayangkan apa yang Wildan lakukan dengan wanita itu. "Jangan digigit!" sentak Wildan yang mengetahui kebiasaan buruk ku. Tapi, mana mungkin aku menurutinya. Aku sudah benar-benar geram. Melihat aku yang tidak menuruti ucapannya, Wildan terlihat kesal. Ia menarik tubuhku dengan keras hingga mendarat tepat di tubuhnya. Dengan tangannya yang kekar ia menyentuh lembut ujung bibirku dengan jari telunjuknya. "Kalau begitu biar aku yang menggigitnya!" ucap Wildan tiba-tiba. Aku yang terkejut dengan apa yang ia lakukan tanpa sengaja membuka mulutku heran. Tapi, hal itu membuat Wildan tiba-tiba saja menyambar bibirku. Mendesak lidahnya masuk ke dalam mulutku yang masih sedikit menganga heran. Aku berontak, mencoba melepaskan pelukannya di pinggangku. Tapi, Wildan sama sekali tidak melepaskan aku. Ia terus mendekap tubuhku dengan erat. Tangannya yang kekar itu terus melingkari tubuhku. Sementara ciumannya semakin terasa begitu liar. "Wil, lepas!" ucapku di sela ciuman panas itu. Sekali lagi, Wildan tidak memerdulikan pemberontakan ku. Ia malah semakin mendekatkan tubuhku ke tubuhnya. Tangannya yang semula mendarat di pinggang menjalar ke punggungku. Ia menariknya ke dalam dekapannya. Membuat tubuh kami rapat dengan bibirnya yang terus melumat bibirku, tak memberikan aku jeda sedikitpun bahkan untuk bernapas. "Uuuucgggtr...." Aku mulai mengerang tapi tingkah Wildan semakin liar. Ia mulai menghisap lidahku. Membuatku semakin tidak berdaya. Aroma menyengat dari wanita itu semakin menusuk hidungku. Membuatku muak dan sakit kepala. Tapi, sosok Wildan yang mencium aku itu nyata. Wildan yang mengajakku menikah juga adalah kenyataan. Wildan sama sekali tidak bisa dihentikan dan aku pun menyerah. Aku membiarkan diriku tenggelam dalam ciuman panas yang ia lakukan. Ciuman yang seharusnya terasa menyakitkan tapi aku tidak bisa berbohong jika aku menginginkan dirinya. Aku tidak bisa lepas dari Wildan yang sudah 13 tahun aku cintai. Meski aku tak tahu seperti apa perasaan Wildan sesungguhnya. Namun, aku tahu dengan pasti seperti apa perasaan yang sedang aku rasakan. Sedalam apa cintaku padanya dan seberapa besar rasa inginku memiliki dirinya. Sepertinya Wildan menyadari aku yang tidak lagi memberontak. Ciumannya pun mulai terasa lembut, pelukannya tak se erat sebelumnya. Ia kembali menyentuh tubuhku dengan lembut. Menyisir rambutku dengan jemarinya, lembut di balik telingaku. Wildan mulai menciumiku dengan mesra melumat lembut lidahku dan menjilat kecil bibirku. Aku terlena akan ciumannya. Tenggelam dalam kehangatan yang tak pernah ingin aku lepas. "Ahhhhamp..." mulutku tercekat saat Wildan mengakhiri ciuman kami dengan menggigit kecil di ujung bibirku. "Ayo kita menikah!" ajak Wildan lagi padaku. Tentu saja aku ragu untuk menjawabnya. Aku bahkan membenci diriku yang telah goyah akan cinta yang 13 tahun ini aku pertahankan. "Apa kamu mencintaiku?" tanyaku untuk meyakinkan diriku. "Aku janji hanya kamu wanita yang aku nikahi!" jawab Wildan tanpa menjawab pertanyaan ku. Hingga akhir, aku tidak sekali pun mendengar pernyataan cinta darinya. Aku kembali tenggelam dalam keraguan yang membuatku semakin goyah dari cinta yang selama ini aku pertahankan. Membuatku lupa apa yang sejak dulu aku perjuangkan. "Dewi, menikahlah denganku!" Ajakan itu kembali menarik paksa kesadaran ku dari lamunan. Ajakan yang kini meyakinkan aku jika Wildan tak pernah sekalipun ragu saat mengajakku menikah. Ucapannya yang tegas dan penuh keyakinan. Ajakan yang berulang kali ia lontarkan padaku. Dengan menarik napas yang panjang. Aku yang mengenalnya sejak dulu tentu menyadari kebiasaannya itu, ia hanya akan mengatakan yang sebenarnya. Artinya, Wildan benar-benar ingin menikah denganku. Jika Wildan benar-benar ingin menikah denganku. Sehingga apapun perasaan yang ia tujukan padaku, kembali aku tenggelamkan kolam asa hingga menyentuh dasarnya. Tak peduli dia mencintaiku atau tidak. "Baiklah, kalau kamu memang mau kita menikah!" Aku mengangguk pelan dan Wildan langsung mendekap tubuhku dengan senyumannya yang lebar. Mungkin aku akan dianggap hina, mungkin aku akan dihujat oleh banyak orang, atau mungkin mereka akan menganggap aku wanita yang bodoh dan gila. Tapi, bagaimana mungkin mereka mengerti perasaanku yang lebih sakit tanpa kehadiran Wildan. Sakit yang lebih menyakitkan dari pada berada di sisinya. Aku meyakini jika berada di sisinya adalah sebuah tindakan yang benar. Aku merasa sanggup bertahan jika berada di sisinya. Aku yakin tidak akan bisa menghapus perasaan yang sudah sangat dalam ini padanya. Itulah yang selalu aku yakinkan hingga pernikahan ini pun terjadi begitu saja. Tanpa aku sadari seperti apa proses pernikahan kami. Tanpa sebuah lamaran romantis bahkan pesta sederhana. Hanya hanyut mengikuti arus yang aku sendiri tak mengerti seperti apa. "Apa aku sudah membuat keputusan yang benar?" Aku memikirkan hal itu berulang kali, namun aku selalu berakhir dengan keyakinan jika aku tidak bisa melepaskan Wildan dengan rasa cintaku yang sudah sangat dalam untuknya selama ini. Bagaikan menari di atas ribuan hamparan mawar berduri yang menyayat kakiku saat aku menikmati tarian indah ku. Aku tidak bisa lagi membedakan antara sakitnya saat aku mencintai Wildan atau saat aku harus merelakan rasa cintaku. Tak peduli sesakit apapun cinta yang aku rasakan, faktanya itu tetaplah sebuah cinta. "Aku mencintaimu!" ucapku pada Wildan yang kini sudah sah menjadi suamiku. Lagi-lagi Wildan hanya tersenyum dengan lembut tanpa membalas pernyataan cintaku. Aku kembali tersenyum ketir di malam pertama kami. Sekali saja, aku ingin mendengar Wildan mengatakan jika ia mencintaiku. "Sekali saja, katakan kamu mencintaiku!" Seketika kedua mataku membulat. Aku kaget dengan apa yang tidak sengaja aku suarakan. Aku bergegas menatap Wildan. Melihat ekspresi seperti apa yang ia pasang saat mendengar hal tersebut. Wajah bingung terlihat jelas dari wajahnya. "Ma-maaf!!" aku sedikit panik dan berusaha melarikan diri darinya. Wildan menyadari apa yang aku lakukan, ia segera menarik lenganku. Membuat tubuhku mendarat dalam pelukannya. "Mau kemana?" tanya Wildan yang mendapati aku yang hendak kabur darinya itu. Aku semakin panik, kepanikan ku membuatku melangkah mundur selangkah demi selangkah. Hingga aku terpojok dan Wildan semakin mendorong tubuhku. "Aaah ...." Tanpa sengaja aku menabrak kasur dan membuat tubuhku terbaring telentang di atas kasur tersebut. Wildan yang masih berdiri menatapku dengan senyuman penuh arti yang sulit aku mengerti. Sementara kepanikan ku semakin menjadi-jadi. Aku semakin salah tingkah dengan pandangan Wildan yang sedikit pun tidak berpaling dariku itu. "Wil- ...." "Sayang!" Wildan menyanggah ku saat aku hendak memanggil dengan namanya. "Sa-sayang!" aku mematuhi apa yang ia inginkan dan Wildan semakin tersenyum dengan lebar. "Suamiku!" ucapnya lagi yang langsung aku mengerti jika ia ingin aku memanggilnya dengan sebutan itu. Aku pun kembali menurutinya. "Suamiku!" Senyuman Wildan semakin lebar, tatapan matanya semakin dalam ke arahku. Aku, yang masih terbaring panik di atas kasur yang penuh dengan kelopak mawar merah. "Apa yang paling kamu butuhkan kali ini? Cintaku atau tubuhku?" tanya Wildan tiba-tiba dengan tubuhnya yang sudah ia rendahkan. Membuat jarak di antara kami semakin menipis. "Keduanya!" jawabku tanpa ragu. Aku tidak ingin berbohong jika aku juga mendambakan keduanya dan Wildan lagi-lagi hanya tersenyum dengan tenang. "Baiklah, kalau gitu, aku akan berikan keduanya!" jawab Wildan yang kini sudah mulai merangkak di atas tubuhku. "Aaaaah ...."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD