I've Told You, I Am Not Dukun

1326 Words
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamupelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalamdada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. (QS Yunus:57) ________________ Sepertinya gelombang humor kita sama Tanpa ragu kau sambut gurauan itu Kemudian kita tertawa Semoga bukan hanya aku yang menganggap ini permulaan yang baik ***          "Pak Emran, perkenalkan ini Hasna Nabila. Direktur Counseling Centre." Dengan senyum yang agak dipaksakan, Hasna menangkupkan tanganya di depan d**a. Apakah ia kecewa dengan kehadiranku? "Hasna ini Dokter Emran yang akan mengisi acaranya." Hasna tersenyum pada pimpinannya, sepertinya berusaha menyembunyikan kekecewaannya karena kehadiranku. Hasna terus menunduk sampai ia di minta untuk menjelaskan acaranya. Ia berdehem membersihkan tenggorokannya. Tanpa melihat langsung padaku, ia mulai menjelaskan perihal acara ini. "Sebenarnya ini masih rangkaian orientasi untuk siswa baru terutama kelas VII. Anak-anak kelas VII ini sedang berada pada masa peralihan dari anak-anak menuju remaja. Mereka harus berpisah dengan orang tua karena harus tinggal di asrama. Kebanyakan mereka merasa stress karena proses penyesuaian diri di asrama, rindu pada orang tua, jadwal yang padat, dan lain sebagainya" "Nah satu persatu mulai ga masuk sekolah karena sakit. Lebih tepatnya sakit yang agak di buat-buat. Terus nanti berbuntut ingin pindah sekolah." "Sebenernya ini penyegaran proses layanan saja sih. Acaranya dibuat seperti talk show dengan pematerinya seorang dokter diharapkan dapat meningkatkan pemahaman anak-anak. Juga nanti bisa kenal dengan banyak profesi langsung dengan orangnya." Hasna Menjelaskan dengan lugas. Tapi tidak sekalipun ia benar-benar menatapku. Pandangan matanya 5 derajat kearah kananku. "jadi ini khusus untuk kelas VII saja?" Sebenarnya pertanyaan itu tidak begitu penting. Tapi aku sudah salah tingkah. *** Hasna berjalan didepanku dengan kecepatan yang tandanya aku tidak boleh berjalan sejajar dengannya. Tidak ada satupun kata keluar darinya. Benar-benar diam seribu bahasa. Aku juga tidak berani buka suara. Sudah bisa kita simpulkan bahwa ia punya kesan yang tidak tidak terlalu bagus padaku. Kami memasuki aula. Hasna mengucapkan salam dengan semangat membuat semua penghuni aula memandang ke arah pintu masuk, kemudian terdengar anak-anak kompak menjawab salam tersebut. Seorang santri yang mulanya sedang mengarahkan santri yang berada di area penonton segera menghampiri Hasna. Ia memberikan mikrofon pada Hasna kemudian menghampiriku. Ia mengarahkanku untuk duduk di panggung yang sudah disediakan kursi. Benar kata Hasna. Ini akan seperti talkshow. Seorang perwakilan juga kemarin sudah meminta bahanku. Hasna sedang memberikan pengarahan kepada santri dan kemudian dilanjutkan dengan ice breaking. Ice breaking yang dipimpin Hasna berjalan dengan penuh semangat. Ia ikut serta bersama dengan santri. Lihatlah senyum yang terkembang dari wajahnya. Mungkinkan aku begitu menyebalkan dalam pikirannya? Alih-alih tersenyum padaku, sedari tadi ia seperti berusaha keras menghindari kontak mata denganku. Astaghfirullah Emran! Apa yang kau pikirkan. Hasna pasti berusaha untuk ghadul bashar, dan kau berharap untuk ia agar memandangku. Ayolah Emran, ia seorang konselor, bahkan sebagai direktur Counseling Centre di sini. Membina ribuan santri. Wajar saja ia merasa tidak suka padamu setelah kejadian itu. Tanpa kusadari aku senyum-senyum sendiri. "Dokter Emran?" Lamunanku buyar mendengar namaku menggema di seluruh aula. Sepasang mata di hadapanku sepertinya sudah menungguku sedari tadi. Aku menyapukan pandangan ke seluruh penonton. Mereka juga sudah menungguku. Rupanya acara sudah mulai sejak tadi. "o...o...o" aku tergagap. "Yak..sepertinya Dokter Emran tidak ikut ice breaking sama Miss Hasna tadi ya ukhti, makanya tidak fokus." Kata gadis di depanku mengundang tawa seluruh peserta yang hadir. Mengapa gadis ini yang duduk di hadapanku? Ku kira Hasna yang akan memandu acara ini. Maksudku, ia terlihat seperti santri sama seperti peserta lainnya, hanya saja terlihat lebih dewasa. Oke aku harus memperbaiki keadaan. Ketahuan melamun di depan ratusan gadis-gadis tidak bagus untuk image-ku di depan Hasna. "ya... sepertinya saya melewatkan bagian penting acara ini ya. Apakah kita minta bu Hasna untuk ice breaking lagi? Mana Bu Hasna?" Aku tidak melihat di seluruh penjuru aula ini. Ku temukan diriku kecewa karena tidak melihatnya. Gadis pembawa acara itu tiba-tiba menyahut di belakangku. "Bu Hasna ada kelas pagi ini, gimana kalau ice breaking-nya dokter Emran yang pimpin? Gimana ukhti setuju?" Peserta menyahut tanda persetujuan mereka. Astaga...aku tau mengapa gadis ini di tunjuk sebagai pembawa acaranya. Dia pasti pandai sekali membuat orang tersudut waktu debat. Oke young lady, aku bukan orang yang mudah disudutkan. "yaaah... sayang sekali ya kalo gitu semuanya berdiri... kita harus memastikan tidak ada jiwa yang tertinggal di kasur asrama." *** "Jadi dok, obat apa yang bisa kami minum kalau kami mengalami psikosomatis ini." "Seperti yang sudah dijelaskan, psikosomatis ini adalah faktor pikiran yang memunculkan penyakit. Sebenarnya tidak ada obat." Kataku dengan senyum misterius. Terdengar kekecewaan di sebelah penonton. Aku mencuri-curi pandang pada Hasna yang sudah kembali ke aula. "Kan tetap saja dok, kami pusing, sakit kepala. Dan katanya tadi ada banyak gejalanya" Balas pembawa acara. "Ya bisa saja nanti dokter meresepkan obat mungkin seperti anti depresan atau penghilang rasa sakit. Tapi bukan itu solusinya. Karena itu sifatnya sementara. Tidak menyembuhkan 100 persen." "Terus apa itu dok?" "Kalian bisa pergi ke dokter lain. Bukan dokter umum seperti saya." "Psikiater dok?" "Waaaah... itu terlalu jauh. Yang dekat di sini saja." Aku masih bersikap sok misterius. "Terus kemana lagi dok?" "Kalian bisa berobat pada bu Hasna." Aku menunjuk Hasna yang sedang membangunkan beberapa anak yang tertidur pulas di kursi. Ia segera berbalik ketika namanya di panggil. Semua pandangan otomatis tertuju kepada Hasna. Ia sepertinya tidak menduga seranganku yang mendadak itu. Semoga aku tidak melakukan hal konyol lagi. Ia tersenyum (bukan padaku). "Bu Hasna pasti sangat ahli membantu santri-santri yang mengalami psikosomatis. Begitu kan bu Hasna?" "Yeah...." Ia mengangkat bahunya. " I've told you. I am not Dukun. Jadi jangan suruh ibu baca pikiran ananda semua lagi ya." Anak-anak tertawa. Ia menyambut umpanku dengan baik. Semoga bukan aku saja yang menganggapnya begitu. "Ya silahkan konsultasikan hal-hal yang mengganggu pikiran ananda pada konselor di sini." "Jadi kami tidak perlu ke rumah sakit dok?" "Tentu saja perlu. Kadang-kadang orang tidak menyadari bahwa mereka sedang psikosomatis. Mereka akan mendapatkan obat dari dokter dan kemudian biasanya akan direkomendasikan untuk berkonsultasi pada konselor atau psikolog atau psikiater tergantung berat atau tidaknya kondisi orang tersebut." "Jangan tunggu sampai psikosomatis baru berobat. Jika kalian punya kesulitan tentang apa saja, datanglah ke konselor sekolah untuk memperoleh bantuan. Langkah pencegahan untuk tidak mengalami psikosomatis adalah membebaskan mental dari tekanan-tekanan yang tidak diselesaikan dengan baik." Hasna harus berterima kasih padaku karena telah mempromosikan divisinya dengan baik. *** Aku mencoba secepat mungkin menyelesaikan urusanku dengan pimpinan sekolah begitu melihat Hasna berusaha menghilang secepat mungkin dari pandanganku. Benar saja ia sudah tidak ada begitu aku sampai di lobi sekolah. Ku minta resepsionis menghubunginya dengan alasan ada yang ingin kubahas dengannya. Hasna datang 5 menit kemudian. Tapi wajahnya datar sekali. Ia tidak nyaman ketika harus duduk. Matanya terus memperhatikan sekitar kami. "Hasna..." Rasanya aneh. Tapi jika aku memanggilnya sebagai Bu Hasna, makanya akan formal sekali. "Okay... saya minta maaf... Saya tidak tau kalau bapak adalah dokter. Karena saya pikir dokter mengenakkan semacam jas berwarna putih dengan stetoskop di lehernya. Makanya saya begitu. Bukannya saya tidak tau hukumnya. Saya hanya tidak mau aurat teman saya dilihat oleh laki-laki yang bukan tenaga medis. Jadi saya minta maaf karena waktu itu saya pikir Bapak bukan dokter di sana." Hasna langsung berdiri tanpa memberikan kesempatanku untuk berbicara. "Tunggu... Maksud saya bukan begitu." Hasna duduk lagi, tapi ekspresi wajahnya semakin tidak nyaman. "Saya tidak mempermasalahkan apapun tentang itu." "Dokter Emran, maaf sebelumnya. Saya tidak nyaman dengan pembicaraan ini. Ini adalah lingkungan pesantren. Kami guru maupun karyawan yang berbeda jenis kelamin sangat menjaga pergaulan kami. Di sini kami mengajarkan santri untuk menjaga pergaulannya dengan lawan jenisnya. Maka langkah pertama adalah kami mencontohkannya. Sebentar lagi santri akan istirahat. Jadi saya tidak mau kita terlihat seperti ini. Ini akan menimbulkan prasangka dalam diri santri." "Maksud saya, saya ingin minta maaf atas kejadian tempo hari. Maaf sudah membuat Hasna tidak nyaman. Saya sama sekali tidak menuntut permintaan maaf dari Hasna". "Dokter Emran, saya sangat malu dengan kejadian itu. Maksudnya saya malu terhadap diri sendiri. Saya tidak ingin membahas hal itu. Dokter tidak perlu minta maaf. Assalamu'alaikum." Hasna meninggalkanku. Kenapa aku selalu kehilangan muka di depannya?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD