Hasna Nabila

1431 Words
Kalau kau mengatakan bahwa akulah yang mencarinya lagi. Maka aku akan menyebut ini sebagai pertemuan yang telah ditakdirkan.          "I am OK" "Saya hanya ingin mengecek keadaan kamu saja. Kamu keliatan ga oke sejak mabuk darah tadi." Aku harus meluruskan kejadian ini sebelum gadis ini benar-benar menganggapku berniat melakukan tindakan asusila. "Terima kasih, tapi saya baik-baik saja." Tatapannya masih seperti terhina. Aku mengangkat tanganku. "baiklah, semoga beruntung kalau begitu." Entah mengapa aku sedikit tersinggung. Sebaiknya aku tidak melanjutkan penjelasanku karena nanti semakin aku menjelaskan, dia semakin tidak percaya. Cepat-cepat aku keluar. Ku lihat temannya masuk ke tempat ia terbaring. "Mabuknya udah hilang Na?" "Belum kak." "Jangan berdiri terus, nanti tambah pusing." "Iya kak." Dia tidak menceritakan kejadian barusan? Padahal wajahnya menunjukkan bahwa ia-terhina-karena-aku-bersikap-tidak-sopan-padanya. Hmm.... Aku sedang mencuci tangan ketika Gadis Soleha datang menyambar keran westafel di sebelahku dan tiba-tiba saja muntah. Astaga kenapa Gadis Idealis ini bisa-bisanya muntah di sampingku. Cepat-cepat ia siram muntahannya dan mengelap mulutnya. Ia baru sadar telah mengeluarkan isi perutnya di sebelahku ketika mengambil tisu. "M-maaf." Ia pasti malu sekali. Aku harus mengatasi ini. "Tidak perlu minta maaf ma'am. Astaga saya baru sadar ini bukan tempat cuci tangan untuk karyawan." Ujarku dan pergi dari sana. Pastilah setengah mati ia mengabaikan rasa malunya untuk muntah di samping orang lain. Aku tidak ingin ia berpikiran aku akan mengoloknya karena aku memang tidak akan mengoloknya sama sekali. Astaga aku ini seorang dokter dan tidak akan berbuat seperti itu kepada orang yang kesakitan. Dan semoga ia merubah persepsinya tentangku juga. Aku tidak ingin nanti tiba-tiba berhembus kabar bahwa 'salah satu dokter di rumah sakit N mencoba melecehkan seseorang yang sedang menemasi pasien'. Seminggu berlalu, aku menemani kakakku menjemput anaknya yang sekolah di pesantren modern khusus perempuan. Ini adalah jadwal ia bisa menghabiskan waktu dengan keluarga untuk 2 hari dan kemudian di hari Sabtu ia harus kembali lagi ke asrama. Kakakku sedang mengisi kelengkapan admistrasi untuk membawa Aisha pulang. Aku menunggu di mobil. Terlihat gerombolan santri berbaju pramuka mulai keluar dari lingkungan sekolah dan berjalan berombongan menuju asrama. Aku melihat sesuatu yang familiar. Perempuan-perempuan yang sepertinya adalah guru di sini memakai baju seragam yang sama dengan seragam Hasna seminggu yang lalu di rumah sakit. Baiklah aku menyebutnya Hasna sekarang. Bukan Gadis Soleha lagi. Jangan dulu pikir kalau aku tertarik padanya. Sebut saja kalau aku ingin memastikan bahwa aku tidak mempermalukannya. Apa Hasna adalah seorang guru. Aku tidak sempat—lebih tepatnya tidak mungkin—menanyakan hal itu mengingat kejadian kurang menyenangkan di rumah sakit. Baiklah akan kutanyakan pada Aisha nanti. Aisha dan kakakku belum juga muncul. Tapi sebenarnya aku terus menatap nanar ke arah gerbang sekolah mengabsen kemunculan setiap perempuan yang terdeteksi guru terkhususnya yang memakai seragam seperti Hasna. Tidak ku dapati Hasna muncul dari gerbang itu. Aku terlonjak saat seseorang membuka pintu mobil. "Astaghfirullah Ni..." aku mengurut-ngurut dadaku. "Kenapa?" Kakakku tidak menyadari kalau aku sedang melongo memperhatikan setiap perempuan yang lewat di sini. "Assalamu'alaikum Om.." Aisha menyalamiku. Ku lihat ia sudah memegang ponsel di tangannya. Aisha tidak diizinkan untuk memakai ponsel di sekolah. "Wa'alaikumussalam. Aisha sehat?" "Alhamdulillah sehat Om." Jawabnya tanpa melihat ke arahku. Aku mulai menjalankan mobil dengan pelan. "Aisha, itu yang pake seragam ijo gurunya Aisha?" "mmm yang mana Om?" Aisha mengalihkan pandangannya dari ponsel yang sudah ia minta dari Mamanya begitu masuk ke mobil. Sudah sebulan sejak terakhir kali ia memainkan ponsel. "Yang itu." Aku menunjuk beberapa guru dengan seragam yang kumaksudkan sedang berjalan. Aisha melihat sekilas, kemudian menekuri ponselnya lagi. Tiga puluh detik kemudian aku masih belum mendapatkan jawaban dari Aisha. Ku rebut ponsel dari tangannya. "Kalau Om Tanya itu dijawab dong!" "iiiih Om sini balikin HP Aisha." Aisha berusaha menjangkau ponselnya dari tanganku. Aku menghalanginya. "Astaghfirullah Emran!" teriak kakakku. Aku hampir menabrak sebuah mobil di jalur kanan. Cepat-cepat ku pinggirkan mobil. "Maaf ni." Sebenarnya jantungku masih berdegup kencang. Ku lihat Aisha menunduk merasa bersalah. "Aisha, kita tidak boleh main-main sama orang yang mengemudi." Aisha hanya menunduk. Aku tau ia juga pasti terkejut. "Sudahlah Ni, ini bukan salah Aisha. Emran juga salah." Aku tidak tega melihat keponakanku dimarahi. Pelan-pelan mulai ku jalankan mobil. Sayang sekali mood dalam mobil berubah menjadi hening selama perjalanan ke rumah. Pintu kamarku diketuk dan kemudian kepala Aisha muncul dari balik pintu. "Assalamu'alaikum Om, Boleh Aisha masuk?" Tanpa menunggu persetujuanku Aisha langsung masuk dan duduk di tempat tidurku. "Om..." Aku menghentikan pekerjaanku karena Aisha terdengar serius. "ya?" "Aisha mau minta maaf Om." Aku tersenyum. Bagiku kejadian tadi tidak seserius itu kecuali bagian aku hampir menambrak mobil di jalur sebelah. Ku elus kepala Aisha. "Ga usah di pikirin, Om juga yang merebut HP Aisha." "Tapi tadi Aisha juga nyuekin pertanyaan Om." "Kalo gitu kasih jawabannya sekarang." Aisha menatapku dan tersenyum. "Iya yang pake seragam itu guru di pesantren Aisha." Tanpa sadar senyumku mengembang mendengar jawaban Aisha. "Ada apa memangnya Om?" Buru-buru ku redam semangatku yang tiba-tiba meningkat ini. Nanti Aisha curiga. Maksudku Aisha berumur 15 tahun sekarang. Dan ia pasti sensitif dengan hal-hal yang berhubungan tentang laki-laki dan perempuan. "Di sana ada guru yang bernama Hasna?" Tanyaku hati-hati mencoba se-biasa mungkin. "Hasna?" Gumam Aisha. Terlihat ia mulai mengerutkan alisnya mencoba mengolah kata kunci ini ke dalam memorinya. 30 detik berlalu. Mulutnya komat kamit dan mulai menghitung dengan jari. Sepertinya ia mencoba mengingat nama-nama gurunya. Aku semakin gundah. Semoga saja ia tidak mencoba mengalisis hal lain juga. "Gak ada." Jawabnya singkat. Tiba-tiba aku agak kecewa. "Tapi bukannya Aisha bilang ibuk-ibuk yang pake seragam itu guru di pesantren Aisha." "Tapi kan Aisha ga bilang kalo mereka guru Aisha." Ia nyengir. Aku mengerutkan alisku padanya pertanda bahwa aku tidak paham. Aisha memutar bola matanya pertanda kecewa denganku yang tidak nyambung dengan humornya. "Itu seragam guru tingkat SMP di sana Om." Masih dengan alis berkerut, aku menyilangkan tangan pertanda bahwa aku masih belum paham. "Iya itu kan segaram olahraga guru yang di tingkat SMP." "Jadi bukan seragam yang guru-guru Aisha pakai?" "Ya iya lah om, Aisha kan kelas X, kelas X itu udah tingkat SMA." Aisha memutar bola matanya. Aku hanya bisa terkekeh. "Jadi guru SMP dan SMA nya beda semua?" "Tergantung sih om." "Tergantung gimana?" "Ya tergantung gurunya guru apa dulu. Tapi keknya hampir beda semua deh. Tapi ga tau juga. Aisha ga bisa mastiin. Yang jelas ga ada yang namanya ibu Hasna yang ngajar di kelas Aisha." "Jadi kalo ga ngajar di kelas Aisha, terus ga mau tau guru yang lain gitu." Aku mencoba bersikap sok bijak. "Apaan sih om. Biasa aja. Lagian Aisha juga baru 2 bulan sekolah di sana. Ya belum hafal semua guru."  Aku tidak boleh terlalu ngotot. Nanti Aisha curiga padaku. "oh ya, Senin depan Om ada ngisi acara di sekolah Aisha." "Acara apa Om?" "Hmm apa ya? Semacam rangkaian orientasi buat siswa baru deh keknya." Aisha mengangkat bahunya pertanda tidak tahu tentang apa yang ku bicarakan. Ia keluar dari kamarku. Sepertinya aku harus memastikan kembali audience-nya kelas berapa. Karena kalau bukan kelas X seperti Aisha, sepertinya strategi penyampaianku agak berat. Aku tidak menemukan Aisha di antara anak-anak yang duduk melingkar di lapangan. Seorang guru duduk di bagian tengah. Aku sudah memastikan itu bukan Hasna. Penjelasan Aisha tidak memberikan titik terang tentang keberadaan Hasna di sekolah ini. Setidaknya aku masih bisa berharap. Kecuali aku benar-benar salah mengira baju yang dipakai Hasna sama dengan seragam olahraga guru-guru tingkat SMP di pesantren ini. Resepsionis membawaku ke ruangan pimpinan sekolah. Beliau menyambutku dengan ramah. "Selamat datang pak di sekolah kami." "Saya kira akan langsung ke Aula bu." "Anak-anak masih di kelas masing-masing diberikan pengarahan oleh wali kelasnya. Kita akan mulai setengah jam lagi. Sepertinya kami perlu memberikan sedikit gambaran kondisi anak terkait dengan materi yang ingin bapak sampaikan nanti. Dan ini adalah acara pertama kita sejak kemitraan antara RS dan sekolah di mulai." "Hmm...begitu ya buk. Saya dikasih amanah sama dr. Rahman untuk menggantikan beliau. Istrinya sakit dan beliau masih di Singapura sampai saat ini." "Iya saya juga sudah dengar kabarnya." "Jadi nanti prosedurnya gimana Bu?" "Ini sebenarnya permintaan dari Counseling Centre kami, nanti akan dijelaskan langsung sama direkturnya." Terdengar seseorang mengucapkan salam dari luar ruangan tempatku dan pimpinan sekolah mengobrol. "Assalamu'alaiku warahmatullahi wa barakatuh." Suara itu terdengar merdu di telingaku. "Wa'alaikumussalam." Jawabku dan pimpinan hampir bersamaan. Gadis itu memasuki ruangan.Hasna.  Awalnya ia tersenyum ketika masuk dan bersalaman dengan pimpinan sekolah. Tapi kemudian raut wajahnya berubah menjadi datar ketika melihatku. Tak bisa dipungkiri otot-otot bibirku secara refleks membentuk sebuah senyuman begitu melihat gadis itu. Aku merasa semangatku naik ke level tertinggi pagi ini. Raut wajahnya yang berubah itu menandakan ia masih ingat padaku—meskipun itu ingatan yang kurang menyenangkan. Sepertinya hari akan sangat menyenangkan. I Love Monday of Course "Pak Emran, perkenalkan ini Hasna Nabila. Direktur Counseling Centre"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD