bab 1
Bara Andreas mungkin belum terlalu lama menjadi dokter bedah anak di rumah sakit ini, tetapi dia sudah paham betul bahwa hampir semua makhluk yang berjenis kelamin wanita, tergila-gila padanya.
Saat itu masih pukul 06.45 Senin pagi, mendung menggantung dan udara terasa lembab, sisa hujan semalam, di penghujung bulan Desember. Bara melangkahkan kaki di sepanjang lorong menuju kamar operasi, sambil sesekali mengangguk sekilas membalas sapaan pegawai rumah sakit yang berlalu-lalang, ada cito operasi appendiktomi, anak perempuan berusia 5 tahun. Nasya, nama anak perempuan itu, dibawa ke IGD jam 03.00 pagi karena demam tinggi dan muntah-muntah, disertai nyeri pada seluruh lapang perut. Setelah dilakukan pemeriksaan awal dan lanjutan, ditemukan adanya infeksi tinggi yang disebabkan pecahnya radang usus buntu. Bara yang menerima konsulan pukul 04.30, langsung mengacarakan pembedahan segera, dan disinilah dia pagi ini.
"Selamat pagi", sapanya sambil menutup kembali pintu kamar operasi, tanpa senyum.
"Pagi dokter" balas perawat kamar operasi, beberapa diantaranya, yang berjenis kelamin wanita, bahkan terlalu antusias,
"Dokter Dani sudah datang?," tanyanya lagi sambil mengambil baju ganti di loker, dokter Dani dokter anestesi, sama-sama masih muda dan ganteng, sama-sama punya banyak penggemar, meskipun dr Dani sudah berkeluarga.
"Sudah dok, sudah mulai bius juga," seorang perawat instrumen, Ahmad, menyahut,
"Oke, sebentar lagi saya masuk, di ok 3 kan ?!,"
Ahmad mengangguk sekilas, sambil mendorong troli berisi peralatan pembedahan ke ruang operasi. Begitu Bara berlalu, kehebohan sesaat diantara perawat wanita segera terjadi, ada yg menepuk kening sembari pura-pura akan pingsan, ada yang mengelus dada, ada juga yang hanya cekikikan membicarakan pesona dr Bara.
Bara sudah berusaha untuk memposisikan diri agar tidak terlalu menarik perhatian, dengan bersikap cuek dan berbicara seperlunya saja, berbeda dengan dr Dani yang selalu bersikap ramah dan care pada siapapun, tapi ternyata sikap acuh tak acuhnya malah membuat dia terlihat semakin menarik di mata kaum hawa, membuat barisan penggemarnya semakin panjang.
Sungguh Bara saat ini sedang dalam fase yang benar-benar tidak ingin terlibat dengan tetek bengek percintaan dan romansa, hidupnya sudah cukup melelahkan melayani konsulan pasien, bahkan beberapa diantaranya dengan kasus medis yang sulit dan menguras emosi.
Di dalam kamar operasi, setelah bertukar sapa sebentar dengan dr Dani dan timnya, pembedahan dimulai. Terjadi sedikit keriwuhan, karena setelah perut dibuka, ternyata ditemukan perlengketan di beberapa organ terkena cairan dari radang usus buntu yang pecah.
"Mas Mada, tolong guyur pakai cairan NS disini," perintah Bara segera pada asisten operasinya, "Lengket semua ini, nggak mungkin baru sakit dua hari yang lalu,"
"Siap dok," Mada sigap melaksanakan perintah Bara,
"Tekanan darahnya turun dok," lapor penata anestesi, "70/60 nadi 125,"
"Guyur cairan 500cc mas," perintah dr Dani, "SPonya gimana?,"
"Masih aman dok," balas penata anestesi
"Oke, sip, pantau tanda-tanda syok ya,"
Setelah berjibaku hampir dua jam, lapis kulit terakhir selesai dijahit, Bara menepi membiarkan Mada, asistennya menyelesaikan tindakan, operasi berjalan dengan sukses.
Setelah membersihkan diri dan melepas apron, Bara mengisi form laporan operasi di recovery room.
"Nggak mungkin itu baru dua hari dok," dr Dani membuka obrolan, "Sudah ancur kaya gitu"
"Iya mas, semingguan mungkin itu, sembrono sekali keluarganya," balas Bara,
"Oiya, tadi ada titipan pesan dari Komite Medis, dokter Bara diminta ke ruang komite,"
"Ada apa ya mas?,"
"Waah itu, saya juga kurang paham, " balas dr Dani, "Mungkin ada bonus cair ini, ciprat-ciprat ya dok," balasnya lagi geli, Bara membalas dengan senyum tipis.
"Es nya yang cair mas, habis ini mas Dani masih ada acara lagi?,"
"Panen hari ini saya dok, habis ini masih ada ortho sama bedah syaraf, ni yang lagi jalan sc cito, ketuban habis masih 35 minggu,"
"Semangat mas,"
Setelah menyelesaikan laporan dan memberikan beberapa advis selama masa pemulihan di ruang rawat inap, Bara berpamitan ke Poli Bedah Anak, sudah pukul 09.20, pasien rawat jalannya pasti sudah banyak yang mengantri.
"Selamat pagi mb," sapanya begitu masuk ruangan pada perawat poliklinik, "Berapa pasien kita pagi ini?,"
"Eh, pagi dok," si mbak perawat asisten poli yang sedang serius memasukkan data pasien menjawab kaget, "Sampai saat ini ada 15 anak dok,"
"Oke, dipanggil saja sekarang sesuai urutan,"
"Siap dok,"
Setelah ada beberapa drama dengan keluarga pasien, yang rata-rata ibu muda, yang menghendaki anaknya tetap mendapat perawatan meskipun sudah sehat, akhirnya klinik rawat jalan selesai pelayanan. Jam dinding sudah menunjuk ke angka 12.15, Bara menimbang dalam hati, visite ruangan dulu atau ke komite dulu, mengingat ada banyak sekali panggilan tak terjawab dari komite yang sengaja diabaikannya tadi. Akhirnya, dia memilih ke komite dulu, pasien di ruangan sementara masih bisa dikondisikan, dalam keadaan stabil semua.
"Mbak, tolong kabari ke ruangan, saya mau ke komite medis dulu, visite ruangan setelah itu,"
"Siap dok,"
"Terimakasih,"
"Sama-sama dokter,"
Pintu ruang Komite Medis terbuka sedikit saat Bara sampai didepannya, daun pintunya yang terbuat dari kaca buram menunjukkan ada banyak orang di dalam, dengan sedikit ragu didorongnya daun pintu hingga terbuka lebar.
"Selamat siang," sapa Bara, beberapa kepala langsung menoleh ke sumber suara,
"Waaah ini yang kita bicarakan sudah datang," dr Dwi, ketua komite, menyambut dengan ramah, terlalu ramah malah menurut Bara,
"Ada pesan dari dr Dani tadi, saya diminta kesini, ada apa dok?," kebiasaan Bara yang to the point langsung ke inti pembicaraan,
"Ayo ayo mari duduk," ajak dr Dwi, "Perkenalkan dulu dokter, ini ada beberapa tamu dari perfilman," ujar beliau sambil tersenyum dan melambaikan tangan pada empat orang tamu yang duduk di sofa, dua laki-laki yang sudah terlihat berumur dan dua perempuan muda, yang salah satunya punya wajah yang terasa familier,
"Yang ini mas Markus, beliau adalah pemilik Arkana film," yang diperkenalkan tersenyum dan mengangguk, seorang pria parlente berusia sekitar 60an tahun,
"Nah yang ini," dr Dwi melambaikan tangan pada pria di sebelah om Markus, dengan penampilan yang sedikit eksentrik, rambut gondrong warna abu-abu, baju oversize dan celana gombrong, "Ini mas Bagas, sutradara muda yang sedang naik daun, mungkin dokter Bara malah sudah menikmati beberapa filmnya," Bara hanya tersenyum menghargai, masih belum memahami apa hubungan orang film dengan dirinya,
"Kalau yang ini, pasti dokter sudah mengenalnya kan ?!," sambil melambai pada perempuan yang lebih muda, cantik modis, berambut panjang, Bara yang benar-benar belum ngeh hanya bisa menggeleng sambil tersenyum meminta maaf, "Astagaa dok, ini mbak Ayana, yang main di film Rumah Peri itu lho, yang hits beberapa waktu yang lalu," dokter Dwi tampak gemas dengan keawaman Bara, ooooh makanya wajahnya terasa familiar, iklannya film nya pernah wara-wiri di media sosial dan televisi.
"Maaf dok, saya kurang mengikuti perkembangan perfilman," ngurus pasien saja sudah cukup melelahkan, pikir Bara
"Waah waah, ya sudahlah, ini yang disebelahnya mbak Ayana ini mbak Diani, asisten pribadi mbak Ayana," perempuan yang lebih dewasa, mungkin usianya tidak terpaut terlalu jauh dengan Bara, sekitar 35 tahun.
"Selamat siang semua," Bara beranjak ke sofa, keempat tamu mengangguk sopan dan tersenyum,
"Nah, perkenalkan ini dr Bara SpBA, dokter yang saya rekomendasikan kemarin," dr Dwi berbicara lagi, Bara yang belum memahami hanya bisa mengerutkan kening sedikit, "Gimana gimana, cocok ndak?," tanya dr Dwi jahil,
"Saya cocok sekali dengan gantengnya, hahahaha," om Markus tertawa lepas, "Coba dokter Bara mau mencoba profesi sampingan sebagai artis, saya siap mengorbitkan, gimana dok ? hahahaha," Bara hanya tersenyum,
"Hahahah ndak bakalan mau dia mas, dia terlalu mencintai pisau bedahnya, " dr Dwi menimpali, "Nah, jadi begini dokter Bara, mas Markus ini sedang berencana membuat film baru, skenario nya sih seputar medis kedokteran, mengangkat kisah dari novel lama karya Martha G, cerita tentang seorang dokter anak yang difitnah membunuh pasiennya karena ingin menguasai harta warisan," dr Dwi sengaja menjeda untuk melihat reaksi Bara,
"Lalu, apa hubungannya dengan saya dokter?,"
" Nah, kuncinya di dokter Bara," Bara masih belum mengerti, jangan bilang kalau dia harus berperan sebagai dokter itu, "Jadi, mb Ayana ini yang akan bermain sebagai si dokter anak, dan karena mb Ayana sama sekali awam tentang medis, agar perannya benar-benar sempurna beliau meminta bantuan untuk dibimbing berperan sebagai dokter sungguhan, dan agar bisa mendalami beliau bersedia untuk terjun secara langsung berinteraksi dengan pasien dan lingkungan rumah sakit, maka dari itu saya merekomendasikan dokter Bara supaya bisa mendampingi dan membimbing mb Ayana mendalami perannya,"
Woooah, dokter Dwi pasti bercanda, tetapi ketika Bara melihat wajah beliau begitu serius, meskipun masih ada sedikit kilat geli di matanya,
"Dok, kenapa harus saya?, saya rasa masih banyak yang lebih berkompeten untuk jadi pendamping," Bara mengelak, eh yang benar saja, jadi tutor artis, seperti dia kekurangan pekerjaan saja, "Saya takut saya nantinya tidak akan punya banyak waktu luang untuk jadi tutor yang baik,"
"Dokter Bara pasti bisa menyempatkan waktu, saya yakin, demi mb Ayana ini," om Markus ikut menyela, yang disebut Ayana tampak sungkan dengan penolakan Bara.
"Bisa ya dok ?," dokter Dwi sedikit memaksa, "Demi persahabatan saya sama mas Markus, agak memaksa ini dok, hahahaha"
Bara menghela nafas panjang, sudah paham betul dia dengan sifat seniornya itu, sekali berkehendak, apalagi dengan embel-embel minta tolong, dokter Dwi susah sekali untuk ditolak,
"Baiklah dok," ujarnya berat, "Akan saya usahakan membantu, tapi saya tidak bisa menjanjikan waktu yang maksimal,"
" Naaah gitu dong, jadi kapan bisa kita mulai?,"
"Nanti bisa dibicarakan lagi ya dok, yang penting saya sudah setuju, sekarang jika tidak ada yang mau dibahas lagi dengan saya, saya minta ijin untuk kembali ke ruangan, saya belum visite hari ini,"
"Baik baik, silahkan kalau mau visite dulu, pasien tetap nomer satu, sudah cukup kan mas Markus?,"
"Cukup mas, silahkan kalau dokter Bara mau pelayanan pasien, saya sudah cukup terbantu beliau bersedia meluangkan waktu,"
"Terimakasih, selamat siang semua," tanpa menunggu jawaban kedua kalinya Bara segera beranjak meninggalkan ruang komite, meninggalkan pandangan sedikit kesal dari Ayana, yang merasa diabaikan karena sedikitpun Bara tidak memperhatikan keberadaan nya, melirik pun tidak.