Chapter 1 : Darren dan Zeline

1583 Words
Di sebuah ruang kerja cukup luas bertuliskan CEO seorang pria tampan dengan wajah manly yang sedang duduk di singgasananya tampak kesal menatap layar laptop miliknya. Dia adalah Darren Mahaprana seorang CEO agensi model yang dikhususkan untuk model-model pria. Terdengar helaan nafas berat dari pria itu. Dilanjut pula dengan helaan nafas berat dari seorang gadis yang berdiri di sampingnya. "Kenapa berita yang mengisyaratkan kalau aku gay tidak ada habisnya?!" Pria yang berusia 28 tahun itu memijat pelipisnya. Cukup lelah mendapati berita miring tentangnya. Meski tidak terang-terangan menyebutkan namanya, ada sebuah artikel yang menuliskan ciri-ciri dirinya sebagai CEO gay. Kedua orang tua Darren juga sempat meragukan orientasi seksual anak semata wayang mereka, tapi Darren dengan cepat meyakinkan bahwa rumor itu tidaklah benar. "Itu karena Kak Darren tidak pernah terlihat berjalan berdua dengan wanita, tidak pernah punya pacar. Apalagi agensi ini kebanyakan pria di dalamnya." Aliqa Barsya, sekretaris sekaligus sepupu dari Darren ikut berkomentar. "Aku sering berjalan dengan Mama dan kamu. Kalian 'kan wanita?" "Bukan termasuk keluarga, Kak!" Lama-lama gadis itu kesal juga dengan kakak sepupunya. Dia sudah beberapa kali memperkenalkan Darren kepada sahabat-sahabatnya, tapi karena pada dasarnya Darren tak tertarik dengan urusan asmara, pria itu malas melanjutkan. "Sebentar lagi Mama atau Papa pasti telepon." Benar saja beberapa detik kemudian gawainya berdering terpampanglah tulisan mama di layar. Seperti biasa Darren akan diceramahi oleh sang mama masalah rumor yang beredar. Meminta Darren segera memperkenalkan calon istri kepada mereka agar keduanya yaitu Broto dan Rossy bisa tenang, tidak termakan gosip. "Kalau kamu tidak ada calon, bagaimana kalau Mama dan Papa carikan? Kami ingin kamu segera menikah agar gosip itu hilang," tanya suara di balik telepon yaitu Rossy, mama dari Darren. "Terserah Mama saja yang penting orangnya baik, pintar, cantik, dan bisa mengimbangi aku." Darren mengajukan kriteria calon istri untuknya. "Baiklah Nak, Mama dan Papa coba cari sesuai kriteria kamu." Sambungan pun berakhir. Darren menoleh kepada Aliqa. "Kamu kenapa masih di sini, Al? Bukannya kerja!" protes Darren. "Aku 'kan juga mau tahu apa yang dibilang sama Tante." "Mereka mau carikan jodoh buatku. Sudah sana kerja!" "Siap, Pak Bos." Aliqa bergegas keluar ruangan daripada ia kena semprot kakak sepupunya alias bosnya itu. Menikah? Aku tidak pernah terpikir soal itu, batin Darren. *** Sementara di tempat lain tepatnya di kamar dengan pencahayaan minim, seorang gadis berambut panjang sedang serius mengetik sesuatu. Ketika dia memasuki sebuah kamar di rumah tua itu, bau darah amat menyengat memasuki penciumannya. Ia merasa harus segera keluar. Namun, semua terlambat karena— "Zeline! Keluar kamu!" Gadis berambut panjang bernama Zeline Anastasia tersentak kaget mendapati seseorang menggedor pintu kamar dan meneriakinya. Ia menghentikan kegiatan mengetiknya, menghembuskan nafas perlahan untuk menguatkan mental dengan amarah yang akan terlontar dari seseorang yang menggedor pintu kamarnya, tepatnya orang itu adalah bibinya sendiri. Zeline pun membuka pintu perlahan. "Ada—" "Kamu kenapa tidak masak hari ini!!! Mau malas-malasan seharian, iya!!!" Belum sempat Zeline menjawab, bibinya yang bernama Fenny telah menjambak kuat rambutnya. "Ampun, Bi ...," lirih Zeline. "Apa?! Bi?! Sudah dibilang kamu harus panggil saya nyonya. Panggil bibi hanya ketika ada suami saya. Dasar parasit!" Beginilah sikap Fenny terhadap Zeline selama ini. Setelah lama akhirnya ia melepaskan jambakannya. "Maaf Nyonya. Tadi saya kira Nyonya, Kak Cintya, dan Listya makan siang di luar karena pergi ke mal, dan nanti malam Paman juga akan mengajak Nyonya dan lainnya makan malam di luar." Zeline mencoba menjelaskan, walau dia tahu alasannya pasti tak diterima. "Alasan saja. Jangan banyak bicara, cepat siapkan makanan!" Zeline bergegas ke dapur sebelumnya ia melewati ruang televisi dan melihat sepupu-sepupunya yaitu Cintya dan Listya tersenyum remeh ke arahnya. Zeline menunduk untuk menutupi penglihatannya. Ia tidak sanggup melihat aura gelap yang menunjukkan kebencian dari dua saudara sepupunya itu. Aura? Dari kecil Zeline memiliki keistimewaan yaitu dapat melihat warna aura. Zeline ingat jika mendiang bundanya juga memiliki kemampuan yang sama. Sang bunda pernah berkata jika dengan kemampuan itu dia bisa melihat kepribadian, emosi, dan suasana hati seseorang. Warna aura seseorang bisa berubah karena pada dasarnya warna aura yang terpancar merupakan refleksi atau gambaran kondisi fisik serta kejiwaan seseorang pada saat itu. Sampai sekarang Zeline bisa melihatnya dan kebanyakan yang ia lihat adalah warna aura gelap karena orang-orang di sekitarnya tak menyukainya. Ini membuatnya tidak nyaman. Meski tak terlalu ingin mendalami, tapi Zeline belajar untuk menafsirkan warna yang ia lihat, dia pun juga bisa merasakannya. Sejujurnya Zeline tidak betah tinggal di rumah ini. Fenny, bibinya serta ketiga putri Fenny yaitu Septya, Cintya, dan Listya semua tak menyukainya. Hanya Haris, pamannya yang terlihat menyayanginya. Haris adalah kakak kandung dari ayah Zeline. Zeline tidak bisa pergi dari sini. Menurut gadis itu dunia luar lebih mengerikan lagi. Dia takut hidup sendiri, apalagi rumah yang dia tempati sekarang memang dulu rumah orang tuanya. Orang tua Zeline meninggal saat dirinya masih berusia sembilan tahun dan Haris bersedia untuk mengurusnya. Pamannya sekeluarga pindah ke rumah ini dan pamannya juga yang mengambil alih usaha sang ayah. Zeline tidak melanjutkan kuliah. Alasannya karena Fenny tak mengizinkan Haris untuk membiayainya. Zeline tidak masalah karena dulu dia mempunyai banyak kenangan buruk di sekolah. Gadis 21 tahun itu memilih menjadi penulis novel online bergenre horor, misteri, dan thriller. Dia mendapatkan uang untuk memenuhi kebutuhannya dengan menjadi penulis. Tidak perlu lagi meminta kepada Haris karena setiap pamannya itu memberikannya uang pasti paman dan bibinya akan bertengkar. Lagi-lagi ia akan disalahkan oleh sepupu-sepupunya dan disebut parasit di keluarga itu. Zeline dengan telaten memasak di dapur. Mereka sebenarnya memperkerjakan ART, tapi tetap saja yang akan disuruh adalah Zeline. Benar yang ia pikirkan, walau makanannya telah siap tak ada yang memakan itu. Saat pamannya pulang keluarga itu bersiap untuk makan malam di luar. Zeline tentu tidak ikut. Haris mengajaknya, tapi ia menolak karena jika ia ikut pasti akan terjadi pertengkaran antara Haris dan Fenny. Zeline memandang berbagai lauk yang sudah ia buat sejak siang. "Akhirnya cuma buat makan sendiri. Besok pasti mereka juga tidak mau makan ini." *** Sementara keluarga Haris saat ini sedang makan malam di sebuah restoran mewah. Tiba-tiba seorang pria menegur keluarga itu. "Haris?" "Broto?" Ya, pria yang menegur Haris adalah Broto, papa dari Darren. Dia sedang bersama Rossy, istrinya, makan malam di restoran itu juga. "Apa kabar kamu?" tanya Broto sambil memeluk Haris. Sedangkan Fenny dan kedua putrinya memandang Broto dan Rossy penuh kekaguman, mata mereka sangat jeli memperhatikan penampilan sepasang suami istri itu. "Sepertinya mereka sangat kaya," bisik Fenny kepada Cintya dan Listya. "Ya Ma, semuanya yang mereka pakai barang mewah," balas Cintya. Haris memperkenalkan istri dan kedua putrinya. Begitu pula Broto memperkenalkan Rossy. Mereka memilih bercengkerama sebentar. Haris dan Broto berteman saat kuliah dulu. Dan baru bertemu lagi sekarang setelah sekian lama. "Jadi, kamu punya tiga putri, Har?" tanya Broto. "Iya, cuma putri pertamaku, Septya lagi tidak ada di sini, dia melanjutkan S2 di Aussie." "Hebat berarti." Broto dan Rossy saling pandang, sepasang suami istri itu mempunyai pemikiran yang sama. Broto mengajak Haris untuk mengobrol berdua sebentar, sedangkan Rossy dan Fenny berserta kedua anaknya juga mengobrol sambil menikmati makanan penutup yang sengaja Broto pesan untuk keluarga Haris. "Jadi begini putraku itu lagi mencari calon istri. Ya, kalau misalkan putrimu belum punya pasangan, mungkin bisa kita jodohkan." Broto mulai menjelaskan maksudnya ingin berbicara berdua dengan Haris. "Boleh itu. Setahuku yang punya kekasih hanya Listya, putri bungsuku. Septya tidak pernah cerita bahwa ia punya pacar di Aussie sedangkan Cintya yang aku tahu sudah putus cukup lama dengan pacarnya." "Kalau bisa kamu tanya ya ke mereka. Siapa tahu ada yang bersedia dijodohkan dengan Darren, putraku." Haris dan Broto bertukar nomor telepon. Haris berjanji akan mengabari secepatnya. Keluarga Haris dan Broto sama-sama keluar dari restoran menuju tempat parkir. Fenny dan kedua putrinya kembali terkagum sekaligus iri melihat mobil BMW keluaran terbaru milik Broto. Ya, ketiga wanita itu memang sangat menyukai apapun yang berbau mewah. Sesampainya di rumah, Zeline menyambut kedatangan keluarga pamannya, seperti biasa dia tak dipedulikan oleh yang lain kecuali Haris. "Kamu sudah makan, Nak?" "Sudah, Paman." Haris mengusap rambut panjang Zeline. Ia selalu merasa sebagai paman yang gagal dalam mengurus keponakannya itu. Padahal ia telah berjanji kepada mendiang orang tua Zeline yaitu Arga dan Nara untuk menjaga putri satu-satunya mereka dengan baik. Haris selama ini tahu jika Zeline selalu ditindas oleh istri dan putri-putrinya. Namun, dia bisa apa kalau istri dan anak-anaknya mengancam akan pergi dari rumah jika ia terus membela Zeline. Dahulu keluarga besar Haris dan Arga adalah keluarga sederhana. Saat kuliah, Arga berpacaran dengan Nara yang dari keluarga kaya raya dan akhirnya mereka menikah. Sebelum kakek Zeline yaitu ayah Nara meninggal, beliau menyerahkan perusahaan miliknya kepada Arga. Dan sekarang dialah yang mengelola perusahaan itu karena Arga dan Nara meninggal akibat kecelakaan dan hanya Zelinelah yang selamat dari kecelakaan maut itu. Namun, semua harta peninggalan Arga dan Nara untuk Zeline, dikuasai dan dihabiskan oleh Fenny beserta ketiga putrinya. Haris tahu dari dulu Fenny selalu iri dengan Nara yang dari keluarga kaya raya. Sifat iri itu ditularkan kepada putri mereka. Haris sebagai suami benar-benar tak bisa berkutik. Hanya penyesalan yang selalu tertanam di hatinya ketika melihat Zeline dan hanya kata maaf yang bisa ia ucapkan kepada keponakannya itu. "Paman jangan sedih, aku tidak apa-apa." Haris tersenyum, Zeline selalu saja bisa menebak isi hatinya. Haris tahu Zeline mewarisi kemampuan Nara. Zeline membalas senyuman sang paman. Warna aura abu-abu yang terpancar dari pamannya menunjukkan penyesalan. Zeline sebenarnya sudah cukup senang, setidaknya ada satu orang di dunia ini yang masih menyayanginya yaitu sang paman. "Maaf dan terima kasih. Semoga kamu segera mendapat kebahagiaanmu, Nak. Paman selalu menyayangimu." Setelah berkata seperti itu Haris pergi menuju kamarnya. Begitu pula dengan Zeline yang bergegas ke kamarnya. Kebahagiaan? Apa aku bisa mendapat itu?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD