LUKA Bab 5

1859 Words
Aku menoleh ke asal suara, Mas Byan memandangiku kemudian melihat kearah tanganku, Mas Dipta yang juga kaget melepas pegangannya. "Kalian?" "Mas Byan," sapaku padanya. "Friska mana?" tanyanya. Aku menggeleng. Mas Byan melihatku setengan heran, entah apa yang dia pikirkan, tapi bukan pertanda yang baik sepertinya. Kepalaku mendadak sakit sekali, semua serba kebetulan. Dan ini bukanlah kebetulan yang menyenangkan tapi akan menjadi masalah. Sudah kepalang basah, mandi sekalian. Mungkin itu istilahnya, aku menarik tangan Mas Byan dan membawanya ke salah satu meja, mejauh dari Mas Dipta yang masih bergeming. "Akan Kay jelaskan semua," ucapku saat kami sudah duduk di sebuah meja. Mas Byan menatapku, tak bicara apapun, seolah menunggu untuk penjelasanku. "Kay dan Mas Dipta, dulu pernah menikah," ucapku. "Apa?" Mas Byan terlihat kaget mendengar kalimat yang baru terlontar dari mulutku. "Maksud kamu?" "Kami dulu dijodohkan, kami menikah tanpa cinta. Dan pernikahan kami hanya seumur jagung. Kami memilih berpisah karena tak ada kecocokan," jelasku kemudia pada Mas Byan. Pria itu masih bergeming menatapiku. Sejenak melihat ke arah Mas Dipta yang masih duduk di tempat yang sama. "Friska tau?" Aku mengelengkan kepala. Mas Byan memanggutkan kepalanya pelan. "Wah, aku sampai bingung mau berkata apa," ucap Mas Byan. Pria berkumis tipis itu sesekali memegangi tengkuknya. "Tapi Friska harus tau," ucapku kemudian. Mas Byan mengangguk setuju. "Friska sedang jatuh cinta, dia tak pernah seperti ini sebelumnya. Jelas ini bukan hal yang baik untuknya, dan pasti akan menyakitinya," ucap Mas Byan kemudian. "Tapi akan lebih sakit, kalau dia tau dari orang lain kan mas?" "Kamu baik-baik saja?" tanya Mas Byan. Sejenak dia memindai wajahku. "Walaupun kamu bilang tak saling cinta, tetap terasa tidak nyaman pastinya," lanjutnya lagi. "Aku baik-baik saja mas," jawabku. Mas Byan tersenyum masam. "Biasanya apa yang bibir ucapkan, berbeda dengan hati. Iya kan?" Aku mengangguk pelan. Mas Byan benar, aku tak baik-baik saja. "Iya, mas benar," jawabku lirih "Ini bukan hal yang baik, aku takut menggangu hubunganku dengan Friska." "Sekarang apa rencana kamu?" "Aku besok malam akan menceritakan semua ke Friska." "Iya, lebih cepat, lebih baik. Semoga hal ini tak menganggu hubungan kalian. Aku coba membantu memberi pengertian juga padanya nanti," ucap Mas Byan. "Makasih, mas." "Tak perlu berterima kasih, terima saja tawaranku kalau sudah senggang. Sebuah makan malam, ah bahkan aku masih mengarapnya. Meski aku tau kamu tak mau denganku." Mas Byan mengusap wajahnya. Memang beberapa kali dia mengajakku keluar. Tapi aku benar-benar sibuk sehingga belum meresponnya. "Maaf, beneran sibuk. Aku juga dah kangen ikan bakar Mang Ujang. Mungkin minggu bisa kita keluar," ucapku. Wajah itu berpaling ke arahku. Kami dulu sangat akrab, aku menganggapnya seperti kakak sendiri. Walau pada kenyataannya aku mulai sadar dia memiliki rasa padaku. "Berarti kita bawa pasukan?" tanyanya kemudian, aku tertawa mendengar istilah pasukan. "Iyalah mas," jawabku. "Baiklah, apa sekalian saja lamaran?" goda Mas Byan seperti biasa. "Ish, apaan sih," ucapku manyun. "Mas dah malam, aku pulang dulu," pamitku. "Ya udah, hati-hati. Semoga semua akan baik-baik saja." Aku mengangguk, kulihat ke arah lain. Mas Dipta sudah tak ada di sana. Aku beranjak dan berjalan keluar kafe, ada rasa lega tapi tetap saja masih ada rasa tegang dalam hatiku. Bagaimana besok respon Friska akan kebenaran ini. Mobil kulajukan pelan, mama memintaku mampir ke toko buah. Sebuah toko buah yang tak jauh dari rumah menjadi pilihan. Setelah memarkir mobil, gegas aku turun. Kembali membuka pesan dari mama di ponselku, apel, pepaya dan beberapa buah lainnya. Aku melangkah menuju troly yang berjajar di sisi kanan pintu masuk. Menariknya satu dan mulai memasukkan pesana yang mama minta. Sedikit terkesiap saat seseorang menjajarkan langkahnya denganku. "Mas, ngapain di sini, ngikutin aku?" tanyaku. "Iya," jawabnya. Dia tak banyak berubah tetap egois dan keras kepala. Aku menghela nafasku, mencoba mengatur rasa yang bergejolak dalam d**a ini. "Mas maunya apa sih?" tanyaku kesal. "Kamu," jawabnya, kali ini dia menatapku. "Aku nggak mau," jawabku membuang pandangan ke sisi lain. "Beri kesempatan satu kali lagi, mas akan menebus semua kesalahan yang sudah mas lakukan padamu," ucap Mas Dipta. Beruntung sekitar tak terlalu banyak pengunjung. Aku tak menghiraukannya, kusudahi belanjaku walau belum semua terbeli, dan menuju ke kasir. Mas Dipta masih mengikutiku, lembaran uang berwarna merah dia keluarkan sebelum kasir selesai menghitung. "Dua ratus tiga puluh tiga ribu rupiah," ucap mbak kasir yang terlihat bingung saat aku menyodorkan debit card dan Mas Dipta menyodorkan tiga lembar uang berwarna merah. "Maaf, mesin edc kami sedang rusak, saya terima uang cash nya saja ya," ucap mbak kasir, mengambil uang dari tangan Mas Dipta. Aku sedang tidak membawa uang tunai, tak mungkin aku cancel belanja, nggak enak sama mbaknya. "Terima kasih, selamat datang kembali," ucap mbak kasir ramah. Mas Dipta membawa kantong plastik berwarna putih yang berisi beberapa kilo buah itu. Aku beranjak keluar tanpa kata, berjalan menuju mobilku. "Buahmu," ucapnya saat aku membuka pintu mobilku. "Mas bawa saja," jawabku. Dia tak mendengarku, memasukkan belanjaanku di jok belakang tanpa kata. Akupun tak menghiraukan nya, langsung masuk ke mobilku. Kutarik nafasku dalam saat mobilku mulai melaju keluar area parkiran tempat tersebut. Kepalaku mendadak sakit sekali, apa pria itu sudah benar-benar gila. Masalahku sepertinya bertambah dengan kegilaan Mas Dipta. ~~ "Ini materi training program baru yang akan segera di luncurkan, kamu pelajari dulu. Awal bulan kita meeting, kamu yang sampaikan materinya pada karyawan lain," ucap Pak Ryan, memberikan beberapa bandel buku pedoman. "Baik, Pak," jawabku "Tiketnya sudah dipesankan?" "Sudah Pak, saya emailkan sebentar lagi," jawabku. "Kamu kirim ke nomor WA saya saja," perintahnya. "Baik Pak, ada lagi?" tanyaku kemudian. "Temani saya makan siang nanti, ada Pak Restu dari kantor pusat bersama beberapa manager datang ke cabang," ucapnya. "Friska dan Hani juga pak?" "Kamu saja," jawabnya kemudian. Aku kembali mengangguk. Biasanya kami bertiga yang ikut menemani, saat ada tamu dari pusat. Banyak yang berbeda sekarang, meski baru tiga bulan mengantikan BM yang lama, banyak perbaikan di semua lini. Mungkin karena masih muda ambisi dan semangatnya masih besar. Setelah memastikan tak ada hal lainnya aku pamit dan berajak keluar. Menuruni pelan anak tangga, sekalian aku menyapa anggota timku yang tengah bekerja. Tim operation memang lebih loyal dan bertanggung jawab anak-anaknya, sedikit berbeda dengan tim Friska. Materi training yang tadi diberikan, kuletakkan di atas meja, kemudian menarik kursi dan menghempaskan pantatku pelan. Kunyalakan monitor didepanku, dan mengambil ponsel di laciku. Tanganku mengusap layar benda pipih di genggamanku. Membuka sebuah aplikasi pesan. Ini pertama kali aku berbagi pesan dengan Pak Ryan. Profil nya hanya sebuah kalimat mutiara. Aku menggirimkan tiket elektronik yang dia minta barusan. Setelah menunggu beberapa saat baru ada balasan singkat, ok. Kuletakkan benda pipih itu dan kembali pada pekerjaanku. Dering suara telepon mengagetkanku yang tengah larut dalam pekerjaanku. Telepon dari Pak Ryan yang memintaku bersiap dan segera turun. Kulirik jam di ponselku, baru jam sebeles lewat tigapuluh. Gegasku rapikan mejaku dan juga diriku, menambahkan sedikit riasan wajah walau belum pudar. Memasukkan ponsel kedalam tas kemudian beranjak keuar ruangan. "Sudah ditunggu Pak Ryan di mobilnya," ucap Andi salah satu security saat melihatku keluar dari lobby. Aku mengangguk pelan dan kembali mengayunkan langkahku ke sebuah mobil pajero sport yang terparkir di sisi kiri gedung. Terlihat Pak Ryan sudah berada di dalam mobilnya. Kubuka pintu mobil belakang dan kemudian naik. "Apa saya seperti sopir taksi online?" tanyanya saat aku mulai duduk. "Duduk di depan," lanjutnya. Aku segera kembali turun dan pindah kedepan. Mobil melaju pelan keluar dari area kantor. Kami sama-sama diam untuk beberapa saat, entah kenapa aku jadi tegang berada di samping sosok dingin ini. Kuedarkan pandanganku keluar jendela, menatapi barisan bangunan disisi kiri jalan. Mobil mulai memasuki area sebuah hotel, sampai mobil berhentipun tak ada sepatah kata yang keluar dari mulut kami. Aku mengekori langkahnya, menuju ke lift selepas memasuki lobby hotel. Lift membawa kami ke tempat paling tinggi di bangunan ini. Seorang pelayan menyambut kami, dan mengantarkan kami ke meja private room yang sudah dipesan. Masih tampak sepi, sepertinya baru kami berdua yang datang. Aku berdiri menghadap kejendela, menebar pandanganku keluar gedung. "Sudah berapa lama bergabung di perusahaan ini?" tanya Pak Ryan yang berdiri disampingku. "Hampir empat tahun, Pak," jawabku sedikit menoleh ke arahnya. "Asli orang sini?" "Bukan, saya pendatang," jawabku lagi. Walau terkesan basa basi obrolan kami berlanjut dan mulai sedikit mencair sampai Pak Restu dan yang lainnya datang. Mereka menginap di hotel ini ternyata. "Kayana, apa kabar?" Pak Restu tersenyum, aku menyambut tangannya yang terulur. "Baik, pak," jawabku dengan senyum tersungging di bibir. Aku sedikit mundur saat pria itu akan memelukku. Pria itu memang seperti itu, Pak Ryan yang disamping sepertinya mengerti kondisiku. Dia langsung sedikit menggeserku, aku lanjutkan bersalaman dengan para manager lainnya. "Kay, kamu terlihat semakin cantik," ucap Pak Restu, selepas kami acara makan siang selesai. Kami memang duduk bersisian, sebenarnya sedikit risih karena mulai datang dia terus memperhatikanku. Biasanya aku tak sendiri, jadi dia tak terlalu fokos padaku. Semua sudah tau kegajenan pria itu. Aku hanya sedikit tersenyum menanggapinya, pandanganku beralih ke Pak Ryan yang sedari tadi juga memperhatikanku. 'Pak, ayo sudah, balik kantor' ucapku dalam hati. Mataku terus menatapnya semoga dia mengerti. Wajah itu sedikit diturunkannya seperti mengangguk, aku membalasnya. "Pak, kami harus kembali ke kantor, maklum akhir bulan kan," pamit Pak Ryan kemudian. Aku segera berdiri, dan ikut berpamitan. "Maaf," ucap Pak Ryan saat kami berada di dalam lift. "Maaf untuk apa?" "Kamu nggak nyaman ya?" "Iya, Pak Rizal biasanya mengajak Friska dan Hani juga. Pak Anzar juga selalu ikut," jawabku. "Bapak seperti orang baru saja, tak mengenal siapa Pak Restu," lanjutku. "Aku memang orang baru, wajar aku tak tau," jawabnya, sudah tak memakai kata saya lagi sebagai panggilan. Pembicaraan kami berhenti saat lift sudah sampai di lobby hotel. Kami keluar dan kembali berjalan bersisian dalam diam. Seperti saat berangkat tak ada sepatah kata pun keluar sampai kami kembali di kantor. "Maaf," ucap Pak Ryan sebelum aku keluar dari mobilnya, aku hanya mengangguk pelan. ~~ Friska memberondongku dengan berbagai pertanyaan. Aku sengaja mengatur mode senyap di ponselku tadi. Mendengar penjelasanku dia malah tertawa ngikik. "Rejeki kamu yank, hahaha," ucap Friska. Aku hanya memanyunkan bibirku. "Eh, ngerasa nggak kalau Pak Bos agak beda sama kamu?" "Beda apanya, yang ada pekerjaanku nambah banyak." "Siapa tau, cuma alasan dia aja mau deket sama kamu," ucap Friska lagi."Wah, Mas Byan ada saingan sekarang." "Apaan." Friska kembali tertawa. "Ya udah, sana! aku banyak kerjaan," ucapku ke Friska, daripada dia terus mengodaku. "Aku tunggu di bawah nanti sepulang kantor," lanjutku. "Siap, sayang," ucap Friska, masih sempat menguyel pipiku sebelum keluar ruanganku. Kupandangi sahabatku itu sampai menghilang dibalik pintu, ada ketakutan menderaku, takut tak ada lagi kebersamaan seperti ini untuk esok hari, takut senyum dan tawa ceria itu memudar, dan aku takut kehilangan sosoknya dari hariku. Ya Tuhan, apalagi Mas Dipta sekarang sudah berani menunjukkan perasaannya padaku. Bagaimana kalau Friska juga tau hal itu, kepalaku sakit sekali. Semua berputar di otakku. Jelas ini akan buruk untuk hubunganku dengan Friska. Kenapa dia harus kembali, dan kenapa kami dipertemukan kembali. Dan kenapa dia harus menyesali semua dan ingin kembali padaku. Akan lebih baik jika dia seperti dulu, tak mencintaiku. Pasti lebih mudah menjelaskan ke Friska. Friska, aku dapat melihat cinta yang begitu besar dari sorot mata indah itu. Dia tak pernah terlihat seperti ini sebelumnya. Kenapa harus dengan Mas Dipta? Apa yang Tuhan rencanakan untukku dibalik ini semua. Aku masih terdiam saat ponselku berpedar, sebuah pesan dari Mas Byan masuk. "Apa Prilly, anaknya Dipta?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD