Chapter 6
Setelah memastikan Ryenata tertidur, barulah Syane bergerak ke luar ruangan. Pria itu merogoh ponsel di kantong celana yang tak hentinya bergetar sejak tadi.
“Astaga akhirnya kau menjawab telfonku. Kau dari mana saja? Apa yang terjadi?” Suara di seberang terdengar cukup panik.
“Aku ada urusan mendadak, tidak bisa ke sana. Sampaikan pada yang lain.”
“Urusan apa yang begitu mendesak? Kau baik-baik saja, kan?”
“Ya, aku baik. Tidak perlu khawatir.”
Orang di seberang menghembuskan napas lega. “Baiklah. Kabari aku kalau ada apa-apa.”
Syane menyimpan kembali ponselnya, lalu bergegas kembali ke ruang inap Ryenata.
“Ada apa? Apa ada yang sakit?” Syane kaget mendapati Ryenata terbangun dan mencoba bangkit.
“Kau butuh apa? Biar aku ambilkan. Jangan bangun sendiri..”
“Aku haus.”
“Sebentar..” Syane menuang air ke gelas dan memberikan pada Ryenata. Pria itu menunggu dengan sangat sabar.
“Pukul berapa?”
“Hampir pukul 2.”
Ryenata terlihat menghela napas dalam. Jika sudah hampir pukul 2 pagi, berarti ia sudah tidak sadar dalam waktu lama. Ryenata bahkan tak tahu kapan ia sampai rumah sakit.
“Ah iya, maaf tadi aku lancang. Maksudku tadi kau tidak sadarkan diri, jadi aku langsung menggendongmu saja. Mungkin efek dari anestesi juga, jadi kau tertidur cukup lama.”
Ryenata mengangguk. “Terima kasih. Maaf sudah merepotkan.”
“Tidak perlu sungkan.” keduanya saling tatap sedikit lama, hingga Syane melempar senyumnya dan membuat Ryenata sedikit salah tingkah.
“Aslinya kau sangat ringan sekali, Nona Ryenata. Aku seperti menggendong kapas.”
“Kau mengejekku karena aku gendut?”
“Tidak, tidak sama sekali. Aku sungguh-sungguh. Kau memang sangat ringan.”
Ryenata memutar bola matanya.
“Apa tulangku patah?”
“Oh, tidak. Lengan dan kakimu terkilir. Dengan istirahat yang cukup dan mengikuti terapi kau akan sembuh. Hanya saja ada beberapa luka karena aku menabrakmu.”
“Ah itu, ya tidak apa-apa.” Ryenata memandangi beberapa bagian tubuhnya yang dibalut perban. Bukannya dia tidak biasa seperti ini. Hmm.
“Tapi sejujurnya aku takjub padamu. Aku pikir setidaknya satu tulangmu akan remuk karena aku menabrakmu cukup kencang. Tapi kau sepertinya punya nyawa berlebih. Dokter saja tidak percaya saat aku katakan kalau aku menabrakmu.”
“Aslinya aku adalah kucing.”
Syane tertawa pelan mendengar respon Ryenata seolah wanita itu mengiyakan guyonannya.
“Maaf sudah merepotkanmu. Aku sudah baik-baik saja jadi kau bisa melanjutkan perjalananmu. Dan tolong tinggalkan nomor rekeningmu. Aku akan transfer biaya rumah sakit.”
Ada kata yang ingin Syane ucapkan, namun tertahan di lidah. Sesaat senyum tipis tercetak di bibirnya. “Hmm, bagaimana kalau berikan nomormu saja? Nanti aku kirimkan nomor rekeningku.” Syane menunjukkan layar ponselnya yang tidak bisa menyala seolah memberitahu Ryenata kalau baterai ponselnya habis.
“Aku akan kirim pesan nanti,” balas Ryenata akhirnya. Ia masih menyimpan kartu nama Syane. Pria itu kembali tersenyum. Syane pamit meninggalkan ruangan.
Ryenata mengambil ponsel dan bergegas mengirim pesan pada Alda.
…
Ryenata tidak berbohong. Ia benar-benar mengirim pesan pada Syane. Pria itu merasa senang begitu mendapat pesan, meski hal itu baru terjadi beberapa hari kemudian.
“Kau terlihat senang. Ada apa?”
“Bukan apa-apa.”
Meski penasaran karena ekspresi wajah Syane begitu terlihat, tapi Gwin tak memaksa Syane bercerita.
“Bukankah itu Nona Yerika, istri Rafael? Apa yang dia lakukan di sini?”
Syane mengikuti arah pandang Gwin. Namun pria itu tak memandangi Yerika lama.
“Wah, dia memang cantik. Tidak heran Rafael begitu mencintainya. Tapi aku pernah dengar rumor tentangnya.” Gwin terus mengoceh. “Ada yang bilang kalau dia itu suka minum darah gadis-gadis muda, itulah kenapa dia bisa terlihat terus awet muda dan cantik.”
Syane memandangi sahabatnya itu dengan ekspresi datar.
“Apa kau percaya rumor semacam itu?”
“Ya siapa yang tahu, kan?”
Xio yang baru datang memandangi kedua sahabatnya dengan ekspresi heran. Pria itu mendaratkan pantatanya di sebelah Syane.
“Kau pikir umurnya berapa? Dia itu memang masih muda. Apa kau pikir usianya jauh di atas kita?”
Gwin langsung sunggingkan cengiran. “Eh iya. Aku hanya mendengar rumor, bukan aku yang mengatakan.”
Syane geleng-geleng. “Kau terlalu banyak mendengar rumor.”
“Kalian membicarakan siapa?”
“Itu,” jawab Gwin sembari menunjuk ke arah meja yang lain, di mana Yerika berada bersama beberapa wanita lainnya.
“Oh..”
“Menurut kalian berapa skor kecantikan untuk Nona Yerika?” tanya Gwin lagi. “Menurutku 10. Dia itu benar-benar cantik.”
“Wanita mana yang tidak kau katakan cantik?” tanya Xio mencibir.
Gwin balas mencibir. “Aku hanya mengagumi ciptaan Tuhan. Tapi cepatlah, Nona Yerika pasti berada jauh di atas rata-rata wanita cantik pada umumnya.”
Xio menaikkan alisnya. “Masih lebih cantik kekasihku.”
Wajah Gwin langsung datar. “Sial.”
Xio terkekeh. Sementara itu Syane sibuk dengan ponselnya. Tiba-tiba raut wajah Syane langsung berubah. Gwin dan Xio mengikuti arah pandang Syane. Tampak seorang gadis cantik berjalan ke arah salah satu meja bersama seorang pria tampan. Keduanya terlihat sangat akrab. Si gadis bahkan tertawa. Selama beberapa menit pandangan Syane tak lepas dari dua orang itu. Sampai sebuah telfon masuk dan Syane meninggalkan restoran.
…
“Sudah berapa hari kau di Loure? Kenapa tidak pulang?”
Kata pulang terdengar sangat asing di telinga Syane. Kata itu jelas bukan kata yang biasa.
Pria itu memilih tak menjawab.
“Pulanglah sesekali saja. Ini juga rumahmu. Kenapa bersikap seperti orang asing?”
“Aku ada pekerjaan?”
“Apa yang lebih penting dari pulang?”
Syane menghela napasnya. Ini akan berlangsung lama.