“Rye, pesan..”
Dahi Ryenata mengerut. Jari-jari lentiknya menerima ponsel yang diulurkan oleh Alda. Sesaat kemudian, helaan napas Ryenata terdengar. Alda memandangi punggung Ryenata yang perlahan menjauh meninggalkan ruangan.
“Iya, Sir, saya mengerti..” Berkali-kali Ryenata mengucapkan kalimat itu seolah sedang mendengarkan arahan dari komandan. Namun jika dilihat dari gerak-gerik Ryenata, ia terlihat kurang nyaman. Kakinya berkali-kali menendang kerikil di bawahnya, sementara satu tangan terlipat di d**a.
“Kau tidak lupa siapa dirimu, kan?”
Mata bulat kecil itu memejam sesaat, lalu ada tarikan cukup kuat di d**a Ryenata.
“Tidak, Sir.” Bagaimana mungkin Ryenata lupa. Jika iya maka dirinya sama dengan kacang yang lupa pada kulitnya.
Alda langsung menoleh tatkala Ryenata kembali. Ia bisa menebak kondisi hati Ryenata, meski ia tak mendengar langsung obrolan di telfon.
“Semua aman?”
“Ya.” Ryenata membereskan barang-barangnya. Ia memeriksa jam yang melingkar di tangan kecilnya. Jam tangan yang tak terlihat baru apalagi modis. Dengan mobil yang Ryenata tunggangi, harusnya tangannya dihiasi oleh jam tangan mewah harga puluhan ribu. Tapi tidak! Jam tangan harga berapa pun tak akan mampu menyaingi jam yang kini Ryenata kenakan.
“Tolong kau periksa tempat ini. Aku ingin tahu semuanya, terutama bagaimana akses masuk ke sana.”
Alda mengangguk. “Kau mau ke mana? Mengirim barang?” tebak pria itu.
Dagu yang terangkat seolah cukup sebagai jawaban. Alda biarkan Ryenata pergi tanpa mengajukan pertanyaan apa pun lagi.
Ryenata melaju mobilnya, tanpa menyadari ada yang mengikutinya dari belakang.
…
7 tahun lalu.
“Anak baru?”
“Ya.” seorang gadis remaja yang duduk sendirian di bawah pohon menjadi pusat perhatian dua orang dewasa di teras rumah. “Dia belum makan apa pun sejak sampai. Sudah 3 hari dan aku tidak tahu bagaimana dia masih bisa bertahan.”
“Anak dari mana?”
“Aku tidak bisa beritahu.”
“Astaga. Bahkan denganku pun kau ingin berahasia. Aku juga bukan orang asing.”
“Kenapa kau ingin tahu tentang dia?”
“Tidak ada, hanya penasaran saja. Sudah lama sekali aku tidak melihat ada gadis remaja masuk ke sini.” wanita itu kemudian bicara lebih pelan. “Bagaimana kalau aku membawanya?”
Wanita lainnya melotot. “Tidak. Mau kau bawa ke mana dia?”
“Lihatlah, dia sangat cantik. Meski terlihat sedikit kurus dan pucat, tapi aku bisa lihat kalau kulitnya itu adalah tipe kulit yang terawat. Pasti akan banyak yang suka.”
“Jangan mengada-ada. Aku tidak akan izinkan.”
“Ayolah. Aku akan berikan kau bagian juga.”
“Tidak. Anak-anak di sini tidak akan aku izinkan untuk ikut denganmu.”
“Ah, kau ini. Untuk apa begitu melindungi mereka? Toh setelah mereka diadopsi dan sukses, mereka juga tak mengingatmu. Lebih baik jadikan mereka mesin pencetak uang.”
“Jika kau masih membicarakan hal itu, aku tidak akan bicara denganmu lagi. Pergilah.”
“Hmm, kau akan menyesal nanti.”
Beberapa anak percaya bahwa tempat yang menaungi mereka adalah tempat yang aman bagi mereka. Pada kenyataannya, banyak tempat berlindung justru menjadi tempat yang paling tidak aman. Dan uang seringkali mengalahkan kemanusiaan.
…
Selesai bertemu kliennya, Ryenata bergegas mengirim pesan. Tugasnya sudah selesai dan ia pun sudah bersiap untuk pergi. Namun saat hendak masuk ke mobil, ia tiba-tiba diserang oleh orang tak dikenal. Untungnya Ryenata sempat mengelak, meski tangannya harus menjadi korban. Gadis itu meringis, berusaha menghindar dari serangan selanjutnya.
“Ah, s*al!” Ryenata mengumpat. Pertarungan yang sama sekali tidak imbang. Seorang wanita dengan 3 orang pria.
“Gadis cantik begini sayang jika dihabisi,” ucap salah satu pria.
“Jangan macam-macam. Bos minta kita bawa dia dalam keadaan hidup.”
“Ya, kita akan bawa dia dalam keadaan hidup seperti yang Bos mau. Dicicipi sedikit tidak akan meninggalkan jejak.”
“Jangan macam-macam kalau kau masih sayang nyawamu!” si pria berbadan paling besar tetap tegas dan teguh pada pendiriannya.
Ryenata melihat peluang itu. Dengan segala tenaga yang ia miliki, Ryenata berlari menjauh.
“Si*l. Jangan kabur kau ja*ang!!” ketiga pria itu mengejar.
Ryenata berusaha menghubungi Alda di tengah pelariannya. Karena tak fokus, gadis itu tak menyadari arah ia berlari. Saat menyeberangi jalan, Ryenata tak melihat ada mobil yang melaju cukup kencang. Silau dari lampu mobil menyadarkan Ryenata, namun terlalu terlambat untuk menghindar. Tubuh Ryenata terhantam bagian depan mobil.
“Ahh sial*n! Dia tertabrak! Kabur saja!” ketiga pria tadi melarikan diri.
Pengemudi mobil sepertinya tak sempat untuk mengalami shock, sebab ia langsung turun beberapa detik setelah mobilnya menabrak Ryenata.
Di tengah gelapnya malam, si pengemudi mencoba memeriksa korbannya.
“Aghh hssshhh..” Ryenata meringis saat lengannya dicengkram kuat.
“Astaga, maaf. Apa kau baik-baik saja?! Nona Ryenata?!”
Dahi Ryenata mengerut, mencoba melihat orang di depannya dengan kepala yang berdenyut hebat. Bisa dikatakan ia beruntung sebab si pengemudi sempat menginjak rem, meski ia tetap tertabrak, tapi setidaknya tidak terlalu kencang.
“Tuan Syane?”
“Benar kau?!” Syane sangat shock. Ia langsung membantu Ryenata bangkit.
“Kau mau bawa aku ke mana?” Ryenata masih sempat bertanya setelah Syane memasukkannya ke dalam mobil.
“Rumah sakit, memang ke mana lagi?!” Syane melaju kencang mobilnya. “Bagaimana kau bisa ada di tengah jalan di tempat sepi begini? Mana kendaraanmu?”
“Parkir di lokasi tak jauh dari tempat tadi.”
Syane sempatkan menoleh, memdangi Ryenata agak lama. Ia mengamati.
“Fokuslah mengemudi atau kau benar-benar akan membunuhku karena menabrak pohon?”
Syane menoleh ke depan. “Itu bukan luka karena tabrakanku, kan?”
“Bukan.”
“Kau ini benar-benar luar biasa Nona Ryenata. Bagaimana bisa kau ada di tempat itu malam-malam begini. Sendirian tanpa teman.”
“Bukankah lebih luar biasa kau yang bisa berada di mana saja? Lama-lama aku benar-benar akan mengira kalau kau mengikutiku.”
Syane menoleh, menatap Ryenata cukup lama.
“Kenapa kau melihatku begitu?”
“Tidak ada, hanya ingin memastikan kalau kau baik-baik saja.” Syane menjeda. “Tapi sepertinya tidak. Wajahmu lecet dan kau banyak terluka. Aku harus bertanggung jawab.”
“Terserah kau saja.” Ryenata kemudian memejamkan mata. Rasa sakit pada tubuhnya semakin terasa. “Bangunkan aku jika sudah sampai rumah sakit. Jangan coba-coba untuk menggendongku, kau mengerti!”
“Hm..” Syane mengangguk.
Ryenata memejamkan mata dan ia tak tahu apa yang terjadi selanjutnya.