Chapter 4
Padahal beberapa menit yang lalu matahari masih bersinar dengan sangat terik. Tapi sekarang awan hitam bertumpuk, layaknya tengah membungkus bumi. Di balkon, Ryenata berdiri di dekat pagar pembatas, menumpu kedua lengannya. Wajah cantiknya tampak sedikit sayu, seperti sedang kelelahan. Tapi entahlah, mungkin ia tidak lelah secara fisik, tapi secara emosional.
“Rye, tidurlah dulu. Sudah hampir pukul 4 sore.”
Tidur? Apa Ryenata bisa tidur pada saat seperti ini? Rasanya waktu terus bergerak dengan cepat, mengejarnya dan tak memberi jeda. Ryenata memang baru beberapa waktu menginjakkan kakinya di Kota Loure. Namun rasanya setiap detik sangat berharga dan terasa sayang dilewatkan tanpa ada progres sedikit pun.
“Kita akan temukan jalan. Kau kelelahan.” Alda menepuk bahu Ryenata. “Istirahatlah dulu. Setidaknya baringkan tubuhmu. Dia butuh istirahat.”
Ryenata menghembuskan napas panjang. Pandangannya terbuang sangat jauh, menembus kelabu yang semakin pekat terlihat.
“Menurutmu Ayah dan Ibuku sedang apa? apa mereka merindukanku?”
“Mereka pasti sangat merindukanmu. Dan juga.. bangga.” Alda menepuk lembut bahu Ryenata. Penuh kasih, penuh sayang dan juga kehangatan. “Puteri kecil mereka telah tumbuh dewasa, cerdas dan bijaksana.”
“Tapi aku masih belum berhasil melakukan apa pun.”
“Kau sudah cukup berhasil, Rye. Semua butuh proses dan itu tidak mudah. Bersemangatlah. Ini tidak seperti Ryenata yang aku kenal.”
Ryenata menoleh ke samping, memandangi Alda cukup lama. Ia lalu tersenyum, membuat Alda bisa menghembuskan napasnya dengan lega.
“Masuklah dan istirahat. Kita masih punya banyak pekerjaan.”
Ryenata mengangguk kemudian berlalu, meninggalkan mendung yang perlahan menurunkan rintik hujan. Selang beberapa saat, hujan deras turun membasahi Kota Loure.
“Halo, Bos,” Alda menempelkan ponsel di telinga. Ia memeriksa ke kamar Ryenata. Gadis itu terlihat sudah berbaring di atas kasur, dengan selimut tebal menutup hampir seluruh tubuhnya. Kamarnya dibiarkan menyala terang. Karena posisinya membelakangi pintu, Alda tak bisa memastikan apa Ryenata benar-benar sudah tidur atau sekedar berbaring saja.
“Iya, Bos. Akan segera saya kirim.” Alda kembali menutup pintu dengan perlahan, kemudian meninggalkan lantai 2.
…
“Ada bunga khusus yang anda inginkan, Tuan?”
Syane memandangi beberapa bunga di depannya. semua terlihat cantik dengan warna dan pesona mereka masing-masing. Syane bukan tipikal pria yang suka membeli bunga, jadi jangan harap ia akan mengerti tentang dunia perbungaan.
“Ini bunga apa?”
“Bunga Calla Lily, Tuan. Bunga ini melambangkan kesucian, keanggunan dan cinta yang tulus.”
Awalnya Syane tak begitu tertarik pada bunga itu, ia hanya iseng bertanya. Tapi setelah mendengar penuturan sang pelayan, Syane merubah pikirannya.
“Saya mau yang ini.”
“Baiklah, Tuan. Ingin berapa tangkai?”
“Terserah. Buatkan buket yang bagus dan besar.”
“Baik, Tuan. Mohon tunggu sebentar.”
Sembari menunggu bunganya selesai dibungkus, Syane sibuk berkutat dengan ponselnya.
“Ini, Tuan. Pembayarannya di sana.”
Syane menerima buketnya, kemudian bergerak ke kasir untuk membayar. Di sisi lain toko, seorang wanita cantik baru saja melangkahkan kakinya memasuki toko, di temani oleh seseorang berpakaian rapi seperti seorang Asisten.
“Hallo Sayang. Aku sedang di toko bunga. Ya, membeli bunga untuk Ibu. Tidak mungkin aku datang dengan tangan kosong. Tenang saja. kau tidak perlu khawatir dan selesaikan saja pekerjaanmu dengan tenang. Ya, baiklah. Aku merindukanmu juga. Aku cinta padamu.”
Syane memutar pandangan ke arah sumber suara.
“Itu Nona Yerika, cepat layani.” Beberapa pelayan bergegas menghampiri Yerika.
“Selamat siang Nona. Ada yang bisa saya bantu?”
“Ini kartunya, Tuan. Terima kasih. Silakan datang kembali.”
Syane menerima kartunya kembali, lalu memasang kaca mata hitamnya dan berlalu meninggalkan toko bunga.
…
Apakah ini memang benar-benar hanya sebuah kebetulan?
Ryenata terdiam sebentar, cukup terkejut melihat sosok tinggi dan besar Syane berdiri hanya 2 meter di depannya. keduanya saling pandang cukup lama, hingga Syane menyapa lebih dulu. Pandangan Ryenata jatuh pada buket bunga di tangan Syane. Sementara Syane tak memandangi yang lain lagi selain gadis cantik di depannya itu. Rasanya sulit untuk mengatakan bahwa Syane tidak tertarik pada Ryenata. Bukankah ia menunjukkannya secara terang-terangan?
“Keluargamu?”
Ryenata enggan menjawab. “Saya rasa Tuan Syane tidak perlu tahu. Urusan saya sudah selesai, saya permisi dulu.” Ryenata bersiap berlalu, namun kali ini Syane menahan langkahnya.
“Bisa kita mengobrol sebentar, Nona Ryenata?”
Ryenata memandangi Syane di balik kaca mata hitamnya. Kemudian pandangnnya tertuju pada batu nisan di samping Syane berdiri.
“Ibumu atau Nenekmu?”
Syane terdiam sesaat sebelum menjawab. “Ibuku.”
Ryenata manggut-manggut. “Kau ke sini ingin menjenguk Ibumu, kan? Sepertinya kau tidak punya waktu untuk mengobrol denganku.” Ryenata sunggingkan senyum tipis kemudian melanjutkan lagi langkahnya. Pada momen-momen sebelumnya, Syane selalu melihat Ryenata dengan balutan pakaian berwarna cerah. Tapi hari ini gadis itu mengenakkan pakaian berwarna hitam legam. Di saat bersamaan, Syane seolah bisa merasakan kegelapan mengelilingi gadis itu.
Ryenata masih di dalam mobilnya, tak bergerak. Bahkan mesin mobilnya belum menyala sama sekali. Ia memandangi kaca spion. Perlahan Syane terlihat di sana, berjalan semakin dekat. Ryenata menghembuskan napas pelan, kemudian menekan tombol hingga kaca mobilnya perlahan turun.
“Menungguku?” tanya Syane tanpa malu.
Ryenata memutar bola matanya. “Boleh aku bertanya, Tuan Syane?”
“Ya, tentu.”
Ryenata diam sebentar.
“Tanyakan saja, tidak usah takut. Aku tidak makan orang.”
Syane sama sekali tidak terlihat seperti seorang pelawak, tapi kenapa dia terus saja melucu?
“Aku masih sangat baru di Kota Loure. Apa kau tahu tempat di mana orang-orang penting di Kota Loure biasanya berkumpul?”
Pertanyaan Ryenata jelas menjurus dan pasti aneh didengar telinga. Namun Syane masih terlihat santai setelah mendengar pertanyaan itu. tangannya bertengger santai di dalam kantong celana. Pakaian serba hitam yang ia kenakan membuat Syane terlihat lebih gagah. Apakah Ryenata sudah mengatakan atau belum? Syane sama sekali tidak terlihat menyeramkan atau mengintimidasi untuk ukuran orang “besar” seperti yang saat itu dikatakan oleh si bartender. Pada umumnya orang-orang penting atau para Tuan Muda dari keluarga kaya pasti akan berpenampilan cukup mengintimidasi. Setidaknya dari tatapan matanya.
“Aku tidak bermaksud apa pun, aku hanya ingin tahu saja karena ada kepentingan. Tapi tidak apa jika kau tidak mau memberitahu.” Ryenata sudah bersiap menaikkan kembali kaca mobilnya. Tapi Syane menahan.
“Aku akan memberitahumu, tenang saja. itu bukan sesuatu yang sulit.” Ada sebuah senyum hangat di sudut bibir Syane. “Tapi sebelum aku memberitahumu, izinkan aku bertanya.”
“Hm.”
“Kau terlihat sedikit pucat. Apa kau baik-baik saja?”
“Ya.”
“Kau yakin?”
Ryenata menghela napas pelan. Basa-basi Syane dirasa tidak perlu.
“Ya. Aku memang punya penyakit kurang darah, jadi tidak perlu heran.”
“Owh. Kau mau aku antar sekarang?”
Dahi Ryenata mengerut.
“Apa maksudmu antar? Kau cukup memberitahuku di mana tempatnya. Aku akan ke sana sendiri. tidak perlu merepotkan Tuan Raveyr.”
“Hm aku tidak yakin kau bisa ke sana tanpaku.”
“Kenapa begitu?”
Syane merendahkan posisinya kemudian bersandar di pintu mobil Ryenata. Senyuman di wajahnya tercetak lebih lebar. Sekarang Syane memang sedikit terlihat seperti seorang pemain wanita.
“Karena tempat itu sangat private dan tidak sembarang orang bisa ke sana. Aku bisa bertahu kau alamatnya tapi kau tidak akan bisa melewati pintu gerbang.”
“Tidak apa, katakan saja alamatnya.”
Usahanya gagal, Syane mengulum senyum. Namun ia tetap memberikan alamat yang diminta oleh Ryenata.
“Terima kasih.”
“Sebentar.” Syane merogoh kantong jas, lalu memberikan sebuah kartu nama pada Ryenata.
Sebelah alis Ryenata terangkat.
“Nomorku, jika kau berubah pikiran dan ingin aku temani ke sana.”
Ryenata mendengus pelan. “Ya, terima kasih. aku pergi dulu.”
Syane melangkah mundur, membiarkan Ryenata berlalu dengan mobilnya. Pria itu menghembuskan napas lebih panjang.
“Memang gadis yang menarik.”