Chapter 06

1654 Words
       08 April 2045.          Distrik 3.         Akhir pekan datang, namun tak semua orang bisa menikmati hari bebas bekerja mereka. Pada hari itu, beberapa tenaga medis dari Sun Flower Hospital tengah melakukan penyuluhan kesehatan secara gratis di tiga yayasan sosial. Termasuk dengan Alexander Lim bersaudara. Mereka mendapatkan tugas di sebuah Panti Jompo yang terletak di pinggiran kota, dekat dengan aliran sungai Green River yang membelah beberapa distrik.     Persiapan dimulai sejak pagi, dan saat siang mereka mengambil waktu istirahat. Beberapa orang tampak berkumpul untuk menikmati makan siang mereka bersama rekan masing-masing. Ada juga yang bercengkrama dengan para penghuni Panti.     Daniel keluar dari salah satu ruangan. Bertepatan saat itu pula Rachel datang dan hendak memasuki ruangan yang akan ditinggalkan oleh Daniel. Keduanya sama-sama kaget dan tertegun untuk beberapa detik.     Pandangan Daniel jatuh pada apa yang saat ini berada di tangan Rachel. Di mana gadis itu membawa beberapa sampel darah milik para penghuni Panti.     "Sudah selesai?" teguran tak terduga datang dari Daniel. Terdengar sangat kaku, dan tanpa ia sadari bahwa telinganya sudah berubah warna menjadi kemerahan.     "Ah … masih ada beberapa orang yang harus diperiksa."     "Maksudku bagian yang pertama."     "Hah?" Rachel tampak gugup. Sangat wajar karena itu adalah kali pertama mereka berbicara. Rachel kemudian berucap, "ah … sudah, sudah selesai."     Daniel kemudian mengambil alih sampel darah dari tangan Rachel dan berucap, "kalau begitu cepatlah makan, biar aku yang mengurus ini."     "Ah … tidak perlu. Kau, kan ingin pergi. Biar aku yang menaruhnya."     "Aku yang akan menaruhnya." Daniel kembali masuk dan menutup pintu dari dalam. Membuat Rachel menatap heran di saat Daniel sendiri tengah menempelkan punggungnya pada pintu.     "Kenapa dia aneh sekali?" gumam Rachel seakan tengah berbicara pada dirinya sendiri. Rachel kemudian mendekat ke pintu, berniat membuka pintu namun sayangnya Daniel menahan pintu tersebut dari dalam.     Dahi Rachel menunjukkan kerutan. Merasa bingung dengan tingkah Daniel. Rachel kemudian berujar dengan pelan, "terima kasih," lantas pergi meninggalkan tempat itu.     Setelah tak mendengar apapun lagi, Daniel lantas membuka pintu. Melihat kondisi lorong dan segera menutup pintu ketika mendapati Rachel yang tengah berjalan pergi menoleh ke arahnya. Membiarkan kembali punggungnya menyentuh pintu, Daniel menghela napas beratnya seakan ia baru saja berada dalam situasi yang sulit.     Sekilas mengusap telinganya, Daniel merasakan sensasi panas pada telinganya. Dia lantas mengeluarkan ponselnya dan mengangkatnya setinggi bahu. Menghidupkan kamera untuk melihat keadaan telinganya. Saat itu bisa dilihat olehnya, telinganya yang memerah. Dan hal itulah yang membuatnya gusar, karena jika dia bertemu dengan Felix, maka ia akan segera menjadi bulan-bulanan oleh kakaknya itu.      Daniel sendiri sebenarnya juga merasa heran dengan dirinya. Bagaimana telinganya berubah warna hanya karena bertemu dengan orang-orang tertentu, dan jujur saja hal itu bisa merusak image dingin yang telah ia buat selama ini jika sampai Felix melihatnya sekarang. Ingin rasanya Daniel mengutuk telinganya sendiri, namun sayangnya itu adalah miliknya sendiri.     Di tempat lain, saat itu Felix memilih menjauh dari keramaian. Berdiri di tepi sungai yang membentang luas membelah distrik. Permukaan air yang begitu tenang dan tak menunjukkan bahwa air itu tengah mengalir ke tempat yang lebih rendah. Angin musim semi berhembus, memberikan sapaannya pada pemuda yang tengah menikmati kesendiriannya itu.     Memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana. Kedua kelopak mata Felix menutup secara perlahan. Membiarkan hanya indra pendengarannya yang bekerja untuk mengenali keadaan di sekitar. Angin yang kembali berhembus, membawa aroma bunga pear blossom yang bermekaran di sekitar sana datang mendekat. Sangat menenangkan, namun saat itu hal lain justru mengusik pikiran Felix.     "Aku dengar Hilton kalah tahun ini. Politikus Alexander Lim lebih unggul dalam pemungutan suara, tapi sayang dia malah tewas sebelum hasilnya diumumkan …" perkataan itu, perkataan yang sempat ia dengar ketika melewati beberapa petugas medis yang diam-diam membicarakan tentang keluarganya di belakangnya.     Bukan hanya itu. Hari itu Felix diberikan kesempatan untuk mengetahui pendapat publik tentang kematian ayahnya. Desas-desus yang tersebar luas di kalangan masyarakat namun ia sendiri tidak tahu tentang desas-desus tersebut. Kedua tangan yang berada di dalam saku tiba-tiba mengepal. Dan ketika angin musim semi kembali untuk ke sekian kalinya, saat itulah kelopak mata yang sempat menutup lantas kembali terbuka.     "Kau tidak makan?" satu teguran dari suara familiar datang dari arah belakang.     Seketika garis wajah yang menunjukkan keseriusan itu berubah menjadi lebih ramah dengan garis senyum yang bisa terangkat kapan saja. Felix memutar kakinya ke samping dan menemukan Daniel yang datang menghampirinya lalu kemudian berdiri di hadapannya. Setelah berhasil mengatasi masalah pada telinganya, Daniel memutuskan untuk mencari keberadaan sang kakak yang tiba-tiba menghilang.     "Apa yang kau lakukan di sini?" teguran kedua Daniel.     Felix menjawab sembari kembali memutar kakinya ke arah sebelumnya, "tidak ada, hanya merasakan angin musim semi di pinggir sungai."     "Apa bagusnya?" acuh Daniel yang kemudian turut menghadap sungai.     Felix kemudian menyahut, "beberapa orang mendapatkan ketenangan setelah melihat air."     Daniel sekilas menatap acuh dan berucap, "kau sedang memiliki masalah?"     "Bukan masalah. Hanya sesuatu yang sedikit mengganggu."     Kali itu Daniel benar-benar memandang sang kakak. "Sesuatu seperti apa?"     Felix menghela napasnya sebelum berucap, "mereka tidak membiarkan orang yang mati beristirahat dengan tenang."     "Bicara yang jelas."     Felix balas memandang. "Aku dengar ayah kita memenangkan hasil pemungutan suara."     Dahi Daniel sedikit mengernyit. "Dari mana kau tahu?"     "Ada begitu banyak mulut yang tidak bisa menyimpan rahasia."     Sebelah alis Daniel terangkat. "Apa saja yang mereka katakan?"     "Hanya itu yang bisa kukatakan padamu."     "Berarti kau mendengar lebih dari itu."     Felix tersenyum lebar. Sekilas menunduk sebelum kembali memandang permukaan air. Dia kemudian berucap, "ada banyak perkataan yang lebih baik jika kau tidak mendengarnya."     "Dan kau percaya pada perkataan mereka?"     Dengan senyum tipis yang tertahan di sudut bibirnya, Felix menjawab, "membutuhkan waktu yang lama untuk mencari pembenaran tentang apa yang mereka katakan."     "Menggelapkan uang negara, apa itu yang kau maksud?"     Garis senyum di wajah Felix menghilang. Segera ia kembalikan pandangannya pada si bungsu. Merasa tak terima dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Daniel.     "Siapa yang menggelapkan uang negara?"     Daniel menggaruk dahinya yang memperlihatkan beberapa kerutan. "Apa aku belum mengatakannya padamu?"     Dahi Felix mengernyit. "Apa?"     "Rumah peninggalan ayah disita Kejaksaan."     Netra Felix melebar. Dengan segera ia menghadap ke arah Daniel. "Ada apa? Kenapa mereka menyitanya?"     "Aku dengar ayah termasuk dalam daftar anggota Dewan yang terlibat penggelapan uang," ucap Daniel dengan santai, seakan ia tak masalah dengan hal itu.     "Siapa yang mengatakan hal semacam itu?" Berbeda dengan Daniel. Felix justru tak terima karena merasa bahwa ayahnya telah difitnah. "Sebentar, kapan mereka menyita rumahnya?"     "Dua hari yang lalu."     Felix menatap tak percaya dan tertegun selama beberapa detik. Tak habis pikir dengan jalan pikiran si bungsu yang justru bersikap seperti tak ada masalah apapun.     "Dan kau baru mengatakannya padaku sekarang?"     "Aku lupa memberitahumu. Lagi pula tidak ada yang bisa kita lakukan selain merelakan seluruh aset peninggalan ayah diambil oleh negara."     Felix tertawa, tampak tak percaya dengan pernyataan Daniel. Semua aset peninggalan ayah mereka disita negara. Menghentikan tawanya, Felix lantas berucap, "ini hal konyol yang pernah kudengar."     "Apakah ayah kita seburuk itu?"     "Jangan asal bicara. Ini hanyalah tipu daya Hilton untuk menghentikan desas-desus tentang hasil pemungutan suara. Meski tidak tinggal bersama, aku percaya bahwa ayah adalah orang yang bersih … inilah kenapa ayah melarang kita memasuki dunia politik."     Daniel mengendikan bahunya, bersikap acuh meski sebenarnya ia juga tak terima jika ayah mereka dituduh menggelapkan uang negara. Daniel tidak masalah dengan semua aset yang diambil negara. Hanya saja, sangat menyaksikan ketika ia harus menyaksikan nama ayahnya buruk di hadapan masyarakat.     Daniel berucap, "kau memiliki rencana?"     "Rencana apa?"     "Membersihkan nama ayah?"     "Membersihkan nama ayah berarti kau harus melawan negara."     "Aku tidak masalah dengan hal itu."     Felix menatap sinis. Dia kemudian menendang bagian samping kaki Daniel sembari berucap, "jangan macam-macam. Jika kau tertangkap, masalah akan semakin besar."     "Aku bukanlah seorang pemula."     "Lalu apa masalahnya? Jangan melakukan hal yang hanya akan mempersulit hidup kita. Ayah sudah pergi, dia tidak akan tahu jika namanya menjadi buruk. Lebih baik jangan melibatkan diri dengan orang-orang itu."     "Kita jatuh miskin sekarang."     "Kau bisa menekan kemiskinan jika tetap bekerja."     "Tapi aku bisa mati jika bekerja dalam keadaan sakit."     "Memangnya kau sakit."     "Sangat sakit."     "Di bagian mana?"     Daniel menepuk bokongnya sendiri sembari berucap, "di sini."     Felix mengeluarkan satu tangannya dari saku hanya untuk memukul Daniel yang menghindar dan tertawa setelah berhasil mempermainkannya.     "Berhenti mempermainkan kakakmu."     "Aku sudah merasa tua untuk bermain-main denganmu."     "Jika sudah tahu, jadi berhentilah."     Daniel mencibir, "tidak tahu diri."     "Kau sudah makan?" tanya Felix kemudian namun tak dijawab oleh Daniel, dan itu artinya belum. Karena memang jika tidak diingatkan, si bungsu itu akan melupakan jam makan dan bahkan mungkin tidak makan seharian.     "Jangan tersenyum seperti itu dan cepat jawab pertanyaanku."     "Aku bukan anak kecil lagi, jangan berlebihan."     Felix memandang ke sekitar sebelum mendekati Daniel dengan gerak-gerik yang mencurigakan. Daniel yang melihat hal itupun menatap heran.     "Apa yang ingin kau lakukan?" selidik Daniel ketika Felix berdiri tepat di hadapannya.     "Aku serius, jangan lakukan apapun," ucap Felix dengan pembawaan yang lebih serius.     "Memangnya apa yang ingin kulakukan?" acuh Daniel.     "Tinggalkan komputermu."     Daniel tersenyum miring, tak bermaksud menyetujui permintaan sang kakak. Sedangkan Felix mulai khawatir pada apa yang saat ini dilakukan oleh Daniel setelah mengetahui fakta bahwa ayah mereka telah dituduh melakukan tindakan yang salah. Kemarin malam Felix sempat bertanya-tanya dalam hati ketika Daniel sibuk dengan komputernya sampai dini hari. Dan setelah pembicaraan mereka kali ini, Felix tahu apa yang tengah dikerjakan oleh si bungsu dengan komputernya dan hal itu benar-benar membuat Felix khawatir.     Felix kembali berucap, "biarkan saja seperti ini. Selama mereka tidak mengusik kita, tetaplah berdiri pada batasanmu."     "Aku hampir mendapatkannya, jangan menghentikanku."     "Jangan keras kepala. Kau seorang dokter, maka dari itu hanya urusi pasien-pasienmu."     Daniel sekilas menggaruk keningnya lalu berucap, "ini tidak ada hubungannya dengan pekerjaanku."     "Tapi jika kau ketahuan. Bukan hanya pekerjaanmu yang menghilang, melainkan juga semua pasienmu."     "Pernahkah kau melihat aku membuat kesalahan fatal?"     "Belum, dan untuk itu jangan lakukan. Tetap berada pada batasanmu dan lupakan masalah ini. Kita memulai hidup baru."     "Kau berlebihan ..."     "Tidak, aku masih dalam batas kewajaran. Jangan melibatkan diri dengan masalah negara."     Daniel memalingkan wajahnya dan sekilas menggaruk kepalanya. Pada akhirnya dia harus kembali mengalah dari sang kakak yang telah ia buat khawatir. Dan hal yang membuat Felix khawatir adalah saat Daniel berusaha untuk meretas komputer negara dan mencuri data-data penting dari sana. Sangat berbahaya dan tentunya hal itu bukanlah hal yang mustahil untuk dilakukan oleh Daniel, karena pemuda genius itu sangat ahli dalam bidang peretasan. Bisa dikatakan bahwa adik dari Felix Alexander Lim itu adalah Hacker terselubung. Daniel menguasai bidang itu sejak duduk di sekolah menengah atas, dan jika dihitung dari saat itu, tentunya bakat yang ia miliki telah berkembang pesat. Bukan hanya swalayan atau perusahaan kecil, bahkan mungkin sekarang ia mampu menerobos sistem keamanan komputer negara. Itulah yang membuat kekhawatiran Felix bertambah semakin besar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD